Sunday 20 February 2011

Saat anakku berkata: Orang Tua Pintar VS Orang Tua Hebat
(oleh : Titin Supriatin, S.P)

“Sekarang aku tahu. Ternyata ada Orang tua PINTAR dan orang tua HEBAT di jaman sekarang ini.” Begitu kalimat yang diucapkan anakku Azzam pada suatu malam. Telingaku sejenak berdiri tegak. Aku tertarik mendengarnya. Wah, siap-siap aku dikritik nih, bisikku was-was.
“Oh ya? Apa tuh ciri-cirinya? Coba jelaskan dong pada ibu.” Aku semakin penasaran. Aku masuk kategori mana nih dalam pandangan si kritikus ini?
“Ciri orang tua pintar lebih banyak memberikan perhatian pada anaknya dengan cara memenuhi segala kebutuhan materinya saja. Uang, barang-barang, kemewahan. Pokoknya, apa yang diminta anak, pasti akan dipenuhi. Kalo orang tua hebat cirinya, lebih banyak membimbing dan mengarahkan kehidupan anaknya sesuai kebutuhan.”
“Kalo begitu, ibu sama ayah masuk golongan yang mana?” Kejarku makin antusias.
“Orang tua hebat.” Jawab anakku tanpa ekspresi, menandakan dia memang serius dan tak berniat untuk menyanjung atau ada keinginan di balik jawabannya itu.
Alhamdulillah, bisikku dalam hati sambil bernapas lega. Aku jadi penasaran, siapa atau dari mana anakku tahu tentang orang tua pintar dan hebat ini?
“Kamu tahu dari mana tentang itu?”
“Dari Pak guru.”
“Oh… begitu ya?”
Subhanallah! Aku jadi terharu. Bukan karena anakku mengatakan kami orang tua hebat. Tapi lebih pada begitu besarnya peran guru dalam menyampaikan informasi positif dan membangun karakter anak didiknya.
Aku jadi teringat bagaimana anak-anakku tumbuh dewasa setelah mendapat pendidikan, hatta mereka masih duduk di bangku TK. Terkadang aku surprise mendapati hal-hal baru yang mampu dilakukan anak-anakku, karena aku merasa ada beberapa bagian yang tidak kuajarkan pada mereka. Seperti bisa cebok sendiri, memakai sepatu atau baju sendiri, membaca do’a harian, menulis dan membaca, dan banyak hal lain lagi yang membuat aku selalu harus mengucap subhanallah dan Alhamdulillah.
Seperti yang kudapati pula di sebuah sore saat pulang dari tempat bekerja. Terdengar ramai dari sebuah TPA, suara anak-anak membaca do’a untuk orang tua “Rabbighfirli waliwalidayya, warhamhuma, kamaa robbayaani shoghiroo. Ya Allah, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku, sayangilah mereka, sebagaimana mereka mengasihi dan menyayangiku di waktu kecil.”
Mendengar alunan do’a itu, ada air mata haru yang menetes di pipiku. Aku membayangkan wajah tulus para guru yang sedang mengajar dengan penuh semangat. Tak peduli anak didiknya ribut atau berperilaku menjengkelkan. Dengan sabar mereka menghadapinya. Semakin banyak masalah yang dihadapi, semakin semangat mereka menaklukannya. Terima kasih guru anak-anakku, telah kau ajarkan begitu banyak hal baru pada anak-anak kami. Telah kau ajarkan do’a yang begitu indah untuk kami para ayah dan ibu. Dari keikhlasan bapak dan ibu guru pulalah anak-anak bisa membaca do’a itu dengan lancar. Kami tahu, do’a anak yang shaleh akan terus mengalirkan pahala bagi kami hingga tiba di yaumil hisab nanti. Semoga pahala dan keberkahan senantiasa terus mengalir atas amal yang Bapak dan Ibu guru lakukan pada putra dan putri kami. Amin Ya Rabb… (Bekasi, 3 Februari 2011)

pengalaman spiritual

Siapa Bilang Nggak Mungkin?
(Oleh :Titin Supriatin, S.P)

Kalimat itu yang pertama terucap, saat rangkaian ibadah haji yang saya jalani usai. Kalimat yang terucap dengan penuh kebahagiaan dan kesyukuran atas terwujudnya mimpi yang sedari dulu tertanam di hati, yaitu mimpi untuk pergi ke baitullah di negeri para nabi. Bagaimana tidak bersyukur dan bahagia? Karena mendapati kenyataan, bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk pergi ke sana ternyata cukup besar untuk ukuran saya yang cuma seorang guru SD ini. Apalagi guru SD swasta di pinggiran kota Jakarta, gajinya kalau dihitung, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder saja. 35 juta! Bayangkan! Dari mana saya bisa mengumpulkan uang sebanyak itu? Kalaupun bisa dikalkulasikan, paling-paling kemungkinannya adalah harus menabung dalam jangka waktu yang cukup lama. Padahal trend ONH dari tahun ke tahun selalu mengalami kenaikan. Maka semakin lengkaplah pembenaran sebuah statemen yang mengatakan bahwa rukun Islam yang kelima itu kan NAIK HAJI JIKA MAMPU. Ah, Jika mampu ini kok… kalau nggak mampu? Ya sudahlah!
“Guru SD, bisa naik haji? Ah, mana mungkin…?” “Dapat warisan kali, atau dapat tunjangan sertifikasi?” “Barangkali ada yang ngehajiin.” Yang lebih santun mungkin “Subhanallah (dalam hati berbisik, masa iya sih)” adalah kalimat tak terucap yang saya tangkap dari sorot wajah teman-teman dan yang mereka ucapkan saat mendengar berita tentang akan pergi hajinya saya waktu itu. Dengan segala rasa hormat dan keyakinan, saya jawab: Siapa bilang nggak mungkin? Saya telah membuktikannya! Pergi haji dengan uang yang saya kumpulkan rupiah demi rupiah. Uang gaji saya sendiri. Gaji seorang guru SD! Maka dalam kesempatan ini, saya ingin berbagi kiat dan pengalaman bagaimana akhirnya bisa menunaikan rukun Islam yang kelima itu.
Pertama sekali yang harus ditanamkan adalah niat yang ikhlas. Kerinduan yang terus menerus. Azzam yang kuat bahwasannya ibadah haji ini adalah salah satu rukun Islam yang jika kita belum memenuhinya, maka belum sempurna ke-Islaman kita. Mohon maaf apabila pandangan ini keliru, tapi begitulah pandangan pribadi saya. Pandangan seperti itu pula lah yang memacu tekad agar saya harus bisa melaksanakan perintah Allah ini dengan segera, karena kita tak tahu, apakah besok Allah masih memberikan kita waktu untuk hidup. Saya ingin menghadap Allah, dalam keadaan sempurna rukun Islam saya.
Setelah menanamkan keyakinan itu, mulailah untuk melakukan aksi. Aksi pertama adalah MENABUNG. Masih ingat lagu jaman kita kecil dulu? Bang bing bung yok, kita nabung. Tang ting tung yok, jangan dihitung. Tahu tahu nanti kita dapat untung. Berapa pun uang yang kita punya, setelah setoran awal tabungan tentunya, kita bisa menyisihkannya untuk pergi haji. Jangan pernah dihitung atau dipikirkan. Biarkan saja mengalir apa adanya. Bolehlah sesekali dihitung dan diterawang, duh… kok lama banget ya nggak ngumpul-ngumpul uangnya. Tapi itu bisa jadi menambah semangat kita untuk terus menabung dan berusaha.
Putuskan mengumpulkan biaya untuk naik haji sebagai prioritas utama. So, kebutuhan-kebutuhan lain yang sekiranya tidak penting-penting amat tundalah terlebih dahulu. Semisal ingin beli mobil, pasang AC, beli baju baru, HP baru, de-el-el. Fokuskan untuk satu tujuan itu: Naik haji! Terkadang memang sedih ketika dihadapkan pada pilihan sulit antara memenuhi kebutuhan sesuai keinginan hati yang memang penting juga, atau menabung agar cepat terkumpul biaya untuk pergi ibadah haji. Maka, hiburlah hati dengan kalimat : “Ya Allah, hanya ini yang bisa aku lakukan untuk memenuhi kewajibanku atas syariatMU. Kurelakan menepikan hasrat dan inginku yang lain demi mendapat cinta dan ridho MU. Maka mudahkanlah ya Rabb…”
Terakhir adalah perbanyak doa dan rendahkan hati. Karena banyak cerita yang membuktikan bahwa pergi ke tanah suci memang benar-benar panggilan dan undangan dari Allah. Banyak orang kaya dan mampu pergi, tapi hatinya belum tergerak untuk ke sana. Ada orang yang sudah siap berangkat, tak jadi pergi karena satu dua alasan atau peristiwa yang membuatnya batal pergi. Tapi bukanlah pula dijadikan alasan belum pergi haji karena belum dapat panggilan dari Allah. Bukankah sudah jelas dikatakan dalam Al Qur’an QS Ali Imran : 97 “.…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah… “ Wahyu Allah itu lah adanya sebuah bukti, bahwa Allah sebetulnya telah memberi perintah dan memanggil kita untuk segera memenuhinya. Selagi kita bisa untuk penuhi panggilan NYA, maka segeralah penuhi panggilan itu dengan berlari!
Tunggu apa lagi? JUST DO IT! Segera lakukan langkah awal untuk membuktikan kesungguhan bahwa kita benar-benar ingin menunaikan rukun Islam yang kelima ini. Karena saya yakin, setiap kita pasti sangat ingin pergi haji. Mulailah menabung. Buktikan bahwa jika kita bersungguh-sungguh, maka tak ada lagi kalimat Mana mungkin? Man jadda wa jadda! Keajaiban itu akan datang tanpa diduga. Allah berikan Kemudahan pada kita dalam proses awal maupun akhir perjalanan ibadah haji kita. Di sana pun banyak kebahagiaan dan kedamaian yang kita temui. Kita dapat berdiri tepat di hadapan kiblat shalat kita : Ka’bah. Serasa tak ada hijab antara kita dengan Sang Pencipta. Kita bisa rasakan kehadiran Rasulullah, karena di sanalah jejak-jejak kehidupan Beliau pernah ada. Kita bisa melipatgandakan pahala sampai ratusan ribu pahala ibadah di sana. Kita bisa bertemu, mengenal dan merasakan indahnya persaudaraan Islam dengan umat muslim dari berbagai negara di seluruh penjuru dunia. Tak pandang warna kulit dan bahasa. Subhanallah… sungguh, pergi haji adalah hadiah terindah yang Allah berikan pada saya di sepanjang usia kehidupan saya. Wallahu ‘alam bi sawwab. (Bekasi, 28 Januari 2011: Jazakillah pada keluarga besar Thariq Bin Ziyad atas do’a dan dukungannya)