Sunday 6 June 2010

Monday 12 April 2010

DASTER

(Writed by: Titin Supriatin)


 

    "fida… paket untuk kamu!" Seru Bunda Nurul dari balik pintu kamar 7-4. Fida mendongak, mengalihkan pandangan dari buku kimianya. Beberapa kepala dalam kamar ikut menoleh.

"Wah, enak ya… Fida dapat kiriman lagi." Komentar Fauzia. "Apaan isinya Fid, makanan ya…?" Mata bulatnya mengedip penasaran.

"Paling pesananku, kamus Arab. Eh, tapi entahlah, kaya'nya ada yang lain nih, dipegang kok empuk-empuk gitu…" Fida meraba-raba paket yang terbungkus kertas coklat ditangannya.

"Puding kaleeee…" Celetuk Rifa tanpa menoleh, sibuk dengan PR kimia-nya.

"Puding? Yang bener aja Rif… " Nabila yang asyik baca novel sambil tiduran tersenyum geli. "Dalam paket begini mana mungkin ada puding, udah bonyok dari sononya atuh…berapa sih nilai IPA kamu…"

"Emang, lihat aja… dari kemarin Rifa ngotak-ngatik PR kimia…mlulu." Selly ikut nimbrung. Rifa Cuma bisa nyengir kuda. "Hehehe… iya, remed kimia, jadi botak nih kepala…"

"Makanya neng, kalo Bunda Rina lagi nerangin tuh dengerin, jangan ngitung bulu mata melulu…" Kata Nabila lagi. Ditutupnya buku tebal yang belum selesai dibacanya itu.

"Ngitung bulu mata?" Selly bertanya bingung.

"Tidur neng…" Jawab Nabila. Mata bulatnya semakin membesar, gemas pada Selly yang dianggapnya agak lola. Saat itulah matanya tertaut pada sebuah benda dalam genggaman Fida yang kini sudah duduk bersila di lantai. "Ih… Fida, apaan tuh… lihat doooong!" Nabila bergegas mendekati Fida.

"Apaan Fid, kerudung ya…?" Nabila penasaran. Tangannya ikut memegang kain lembut yang baru saja dipegang Fida. Fida merobek kertas pembungkus paket lebih lebar. Rasa penasaran menggelitik hatinya.

"Tahu nih… tapi warnanya lucu ya…" Fida menarik kain warna warni itu dibantu Nabila. Sehelai baju panjang terbuat dari kain batik. Coraknya lucu bernuansa cerah. Warnanya saling silang merah, biru, kuning dan hijau. Sungguh indah…

"Apaan sih…" Fauzia yang sedari awal sudah penasaran, kini mendekat, diikuti hampir seisi penghuni kamar. Tangannya mengambil alih kain dari pegangan Fida. Kemudian diangkatnya tinggi-tinggi. Meneliti sejenak. Pada detik berikutnya, tawanya langsung meledak. "Ha..ha..ha…ya ampun Fid… ini kan daster!"

Entah karena memang lucu atau karena solidaritas sesama teman sekamar, kini hampir seluruh gadis-gadis berusia 13-14 tahun itu mengikik geli.

"Iya Fid… ini mah daster atuh… " Aufa yang asli Subang menguatkan kata-kata Fauzia. Tangannya separuh menutup mulut menahan tawa.

"Emangnya kenapa sih… daster kan baju perempuan, bagus lagi warnanya…kok kalian tertawa…?" Selly, seperti biasa, terbengong tak mengerti. Boro-boro tertawa, senyum aja nggak, yang ada hanya tatapan polos tanda tak ngeuh…

"Ya ampun Shell, ngga ngikut trend mode ya… " Bitha menyela. Maklumlah, konon khabarnya mama Bitha punya beberapa outlet busana muslim yang tersebar di beberapa kota besar. Pastilah tahu mode-mode busana remaja yang lagi trend. "Daster itu kan…" Lanjut Bitha sambil sudut matanya melirik Fida yang hanya tersenyum kecut. "… maaf ya Fid, daster itu kan… pakaiannya nenek-nenek atau nggak …emak-emak…"

Gerr… Tawa kembali memenuhi ruang. Hembusan angin pegunungan desa Tambak Mekar menerbangkan suara gelak itu ke setiap sudut lain asrama putri Boarding School SMPIT Assyifa. Menggiring berpasang kaki yang berlarian kemudian. Menuju sumber suara tawa berasal.

"Hey… ada apaan sih? Girang betul nampaknya kalian neeeh." Sesosok gadis berkacamata dan berjilbab hijau muda menjulurkan kepalanya di pintu. Beberapa detik berikutnya bermunculan pula kepala-kepala berjilbab aneka warna lainnya.

"Eh, Arin. Sini deh…Masa Fida dapat kiriman daster dari ibunya. Hi…hi…" Bitha melambai ke arah Pintu.

"Ha… daster? Ya ampun Fid… ibu kamu lucu banget sih…Daster mah biasanya dipakai ibu-ibu, malah nenekku hampir setiap hari pake daster kalo di rumah…" Arin ikut terkekeh.

"Tuh kan Fid… betul kata aku…" Berkata Bitha sambil memamerkan daster itu pada teman-teman kamar sebelah yang kini sudah berdiri mengelilingi Fida.

"Oh, begitu ya… ya ampun! Ibu … ibu…" Fida mau tak mau ikut tertawa. Berusaha menyembunyikan perasaan yang sebenarnya.

"Eh, lihat deh… aku cobain ya… " Bitha memakaikan daster itu ke tubuh mungilnya, sambil mematut-matut diri di depan cermin kamar.

"Hik…hik… kamu mirip nenek aku Bith…mirip banget deh. Duh, jadi kangen nenek nih…" Komentar Arin sambil tertawa lepas. Tawanya, juga tawa teman seisi kamar, menyisakan pedih dan kesal di hati Fida. Mengoarkan sejumlah rutukan dalam hati : Ngapain sih ibu ngirim daster? Daster kan tidak ada dalam daftar barang permintaanku. Padahal nama barang-barang yang diminta untuk dikirim hampir selalu diulang saat ibu telepon ke asrama setiap malam Sabtu. Malam yang selalu ditunggu Fida. Karena malam itu Fida bisa menumpahkan rasa rindu dan segala cerita seru, sedih maupun gembira pada ibu. Wanita mulia berhati lembut yang selalu sabar mendengarkan curhatnya. Curhat tentang segala kejadian di sekolah dan asrama, dari A sampai Z dengan detail. Ibu yang selalu membuat Fida rindu rumah. Rindu ceritanya, rindu kelucuannya saat menceritakan ulah murid-muridnya (ibu Fida kan seorang guru kelas 1 SD negri), rindu masakannya, rindu nasehat dan kata-kata bijaknya. Rindu … ah, semuanya! Tapi daster ini… Uuuuh, telah menguapkan rindu itu menjadi buih kecewa dan …. Malu! Malu yang teramat!

Bayangin deh! Ditertawakan seisi kamar. Ditertawakan teman kamar-kamar lain. Belum lagi jadi bahan obrolan hot news penghuni asrama dalam rentang beberapa hari berikutnya. Dari kelas 7 sampai kelas 9. Apalagi kelas 8! Hhhh… Aroma perseteruan yang turun temurun antara kelas 7 dengan kelas 8, dari abad awal sejarah berdirinya asrama sampai kini, semakin memperparah suasana hati Fida. Fida jadi semakin tak nyaman saat berjalan di sepanjang koridor kamar kelas 8. Padahal bangunan asrama kelas 8 adalah jalan terdekat menuju perpustakaan. Mogok beberapa hari nggak ke perpus? Nggak tahaaan! Mendingan nggak makan deh dari pada nggak baca buku! Tapi bisik-bisik tentang daster membuat kupingnya menjadi panas. Terlebih kalau ada kakak kelas yang dengan sengaja bergosip ria saat Fida lewat depan kamar mereka. Menggosipkan apalagi kalau bukan tentang daster. Hh, lagi-lagi daster … Aduh ibu, jadi ingin cepet-cepet curhat nih… Tak sabar rasanya menunggu malam Sabtu tiba. Malam jatah kamar 7-4 untuk bertelepon ria dengan keluarga. *
* *


 

"Bunda, aku pinjem HP nya ya…" Fida menghampiri Bunda Nurul yang tengah duduk manis di kantor asrama. "Mau sms ibu, boleh kan?" Pinta Fida dengan tatap penuh harap.

"Baru juga hari Rabu Fid… ada perlu penting ya?" Bunda Nurul tersenyum lembut. Ditatapnya Fida penuh selidik. Fida mengangguk lesu. Aneh… tumben nih anak, biasanya ceria. "Ada apa sih, kok lesu gitu?"

Fida duduk di kursi sebelah bunda Nurul. Ada keinginan untuk curhat sama beliau. Bunda Nurul kan bunda pendamping kamar 7-4, siapa tahu bisa sedikit mengurangi rasa sedih itu. Tapi… malu ah! Nanti ditertawakan. Masalah sepele seperti ini saja. Loh… loh… udah tahu sepele kok aku pikirin. Tapi masalahnya, tema obrolan tentang daster itu masih belum reda juga… Bikin pusing. Pokoknya harus bilang sama ibu, kalo aku mau balikin tuh daster!

"Ibu telpon aku ya nanti malam… kalo ga bisa, kasih tahu kapan bisanya.." Begitu bunyi sms yang tertera di layar HP. Fida menekan tombol send. Dan melesatlah pesan itu ke hp ibu, hanya dalam hitungan beberapa detik.

"Assalamualaikum teh…" Terdengar suara lembut ibu dari hp bunda Nurul. Raut lesu Fida berubah seketika. Ada rona cerah di sana.

"Waalaikum salam… ini Ibu ya, kok cepet banget langsung telpon, ibu ada di mana? Kok nomornya laen?" Fida memberondong ibu dengan beberapa pertanyaan tanpa jeda.

"Iya, ini ibu. Ibu masih di sekolah, kebetulan ibu lagi ngga punya pulsa, jadi pake telpon sekolah. Ada apa teh…Oh iya, kiriman ibu udah sampe belum?"

"Udah…eh, ibu…ibu yang masukin daster ya?" Fida separuh berbisik, takut terdengar bunda Nurul yang kini tengah sibuk dengan computer di hadapannya.

"Iya… emang kenapa? Bagus kan? Habis, ibu lihat baju tidur kamu udah jelek-jelek. Malu kan dilihat sama temen-temen yang lain? Kebetulan ibu punya sedikit uang, harga daster kan jauh lebih murah dari…"

"Ah ibu… justru itu masalahnya." Fida memotong kalimat ibu, nada suaranya mulai tersendat menahan tangis. "Aku…aku jadi malu…"

"Memangnya kenapa? Ada yang salah ya sama daster kiriman ibu itu?"

"Bukan begitu…" Rengek Fida, "Temen-temen nertawain aku. Malahan hampir seluruh asrama ngomongin aku… " Fida mulai terisak. Kalimatnya terdengar tak jelas di telinga ibu.

"Sst… teh, tenang dong… bicaranya jangan sambil nangis. Ibu nggak jelas nih…Emangnya kenapa dengan daster itu. Ibu pikir daster itu bagus buat kamu. Kan enak sore-sore pake daster, santai… lagi pula praktis dipakai untuk tidur atau untuk sekedar jalan di sekitar asrama…" Ibu coba untuk menenangkan. Gagal. Fida malah semakin tak dapat menahan tangisnya.

"Emang bagus…tapi teman-teman bilang daster itu baju nenek-nenek…aku malu bu… aku malu…" Suara Fida terputus-putus di sela isaknya.

"Cup teh… jangan nangis ah. Ya udah, kalo kamu malu ga usah dipake. Simpen aja ya… sabar ya. Maafin ibu kalo begitu…." Hening mengambang di udara untuk beberapa saat. Ibu menghela nafas panjang dan menghembuskannya pelan. Berharap bisa mengurangi sesak yang tiba-tiba saja sudah menggunung di dada. Sesak membayangkan teteh, panggilan sayang untuk sulungnya, mengalami beban yang cukup berat di sana. Ditertawakan dan diolok-olok teman-temannya? Hampir oleh seluruh teman-temannya, hanya karena sepotong pakaian bernama daster? Ah, anakku…

"Ya udah ya teh…Simpan saja dasternya. Sabar ya… ibu ngga bisa lama-lama…" Klik. Belum sempat terucap salam. Ibu tak tahan. Ibu tak ingin Fida tahu, ada yang menetes di kedua sudut matanya. Dengan pelan disusutnya air mata itu dengan ujung jilbabnya.***


 

Angin pagi itu berhembus pelan dari celah jendela perpustakaan. Menyentuh lembut ujung jilbab Fida yang masih menekuni kumpulan cerpen pengarang kesayangannya. Namun konsentrasinya pecah tak beraturan. Wajah-wajah yang dirindukan, sudah 2 kali kunjungan ini tak nampak di hadapannya. Wajah ibu dan ketiga adiknya: Azzam, Miqdad dan si bungsu Zara. Hanya ayah yang berusaha untuk bisa datang pada kunjungan bulan kemarin. Itu pun naik angkutan umum. Lebih irit katanya. Sedangkan untuk kunjungan kali ini ayah hanya menitipkan sedikit uang tambahan jajan dan setoples kacang bawang buatan ibu, pada teman pengajian ayah.

Sedih rasanya… Melihat teman-teman yang lain bercengkrama bersama keluarga masing-masing. Lebih baik bersembunyi di sini, di perpustakaan. Berselancar menjelajahi dunia lain. Dunia yang diciptakan oleh penulis-penulis buku terkenal. Mengurangi sedikit kesedihan yang berpendar di hati. Untungnya Fida tak pernah bosan untuk membaca dan untungnya pula perpustakaan selalu buka di hari sabtu dan Minggu.

"Sedang apa ya ayah, ibu dan adik-adikku di sana…" Bisik Fida dalam hati, matanya menerawang jauh, melintas kaca jendela dan pilar-pilar tinggi yang berjejer di sepanjang lorong perpustakaan. "Hmmm, pagi-pagi begini biasanya mereka beres-beres rumah. Ayah ngepel, ibu masak makanan yang enak, Azzam dan Miqdad pasti sedang berantem… dan ibu akan teriak-teriak melerai. Ade Zara paling ngintil terus di sisi ibu…" Fida tersenyum sendiri. Bayangan ayah, ibu dan adik-adiknya menari-nari di pelupuk mata. Duh rindunya…Pipi Fida membasah. Air mata sudah berguliran di sana…

"Fida… kenapa?" Seseorang menyentuh bahunya, "kamu nangis ya?"

"O… eh, Arin…" Tergeragap Fida menjawab. Dilihatnya Arin sudah berdiri di sisinya. "Nggak Rin… " Dusta Fida, buru-buru disekanya air mata itu dengan kedua tangannya.

"Jangan bohong… kenapa sih? Karena nggak dijenguk sama orang tua kamu ya?" Tebak Arin. Ditariknya kursi di sebelah Fida, kemudian duduk di sana. "Aku juga nggak dijenguk kok…"

"Oh ya? Emang kenapa?" Fida sedikit terhibur dengan kehadiran Arin. Rasa kecewanya pada Arin yang menertawakan daster kiriman ibu sudah jauh-jauh hari dilupakan.

"Orang tuaku baru bisa jenguk aku pekan depan."

"Enak doong. Nah aku? Entah kapan mereka datang lagi ke sini. Kunjungan terakhir hampir dua bulan lagi, sekalian penjemputan libur kenaikan kelas. Padahal aku tuh udah kangeeeen sama mereka. Terutama sama ibu…apalagi terakhir ibu telpon, kami ngobrol nggak tuntas."

"Eh, kalo kamu mau, ikut aja pulang ke Bekasi bareng aku…"

Bola mata Fida membesar. Ada harapan berpendar di sana. Saat itu juga hatinya bersorak girang. "Ah yang bener? Emang boleh ya? Kapan kamu pulang? Sama siapa?"

"Iya, beneran. Pekan depan bapak mau jemput aku. Tanteku nikah. Jadi aku boleh minta ijin pulang kan?"

"Trus aku gimana, kalo ditanya Bunda Etin kenapa aku pulang, alasannya apa dong?" Fida mulai ragu kembali.

"Bilang aja kangen berat, udah 2 kunjungan ngga ditengok. Lagian kamu belum pernah ambil jatah pesiar kan? Pasti Bunda Etin ngijinin deh…" Arin meyakinkan Fida.

"Eh, iya juga ya…Asyik… Alhamdulillah… Bener ya Rin… pekan depan aku ikut kamu. Nanti aku mau bikin kejutan buat ayah ibuku. Aku turun di tol timur aja ya… habis itu naik angkot ke rumah…Siiip deh!"

Fida bersorak girang. Kegembiraannya melegakan hati Arin. Arin diam-diam ikut sedih melihat Fida menderita. Apalagi sejak kejadian dua pekan lalu, saat Fida mendapat kiriman daster itu. Arin tahu bagaimana perasaan Fida. Arin juga menyesal sudah ikut menertawakan Fida, teman dekatnya waktu di sekolah dasar dulu. ***


 

"Yaph… aku sudah siap Rin!" Teriak Fida dari balik pintu lemarinya. Tangannya menyambar bungkusan plastik berisi daster yang dikirim ibu 2 minggu yang lalu, "Ups, hampir kelupaan… daster ini kan mau kukembalikan. Menuh-menuhin lemari aja… "

"Cepetan dikit Fid… Bapak sudah selesai ngurus surat ijinnya tuh…punya kamu juga udah diurusin." Arin menggamit tangan Fida tak sabar. "Eh, bawa apaan tuh?" tunjuk Arin ke arah kantong plastik dalam genggaman Fida.

"Hehehe…daster yang kemaren kamu ketawain. Mau aku bawa pulang aja." Enteng Fida menjawab. Langkahnya ringan dan gesit. Ingin segera sampai di Bekasi. Kejutan yang menyenangkan buat semua. Pasti ayah dan ibu kaget melihatnya ada di depan pintu dengan tiba-tiba. Hmm… Fida melangkah pasti. Senyuman tak lepas mengembang di bibirnya. Senyum yang terus mengembang sampai tiba di pintu tol dan berpisah dengan Arin,

"Trima kasih ya Rin… Trima kasih ya pak… hati-hati di jalan. Assalamualaikum…" Fida menutup pintu mobil. Melambaikan tangan pada Arin dengan riang. Kemudian berjalan menuju halte di seberang. Sebuah angkot bernomor 19 berhenti di depannya. Fida segera saja melangkah masuk ke dalamnya. Hatinya bersenandung riang di antara penumpang yang sudah penuh sesak. Senandung merdu yang melagukan nyanyian rindu pada ayah dan ibu, juga adik-adiknya.

Mata Fida menelusuri deretan ruko yang berdiri kokoh di tepi jalan. Jalan yang selalu dilewatinya jika hendak pergi ke sekolah dulu. Di ujung ruko sana ada gang. Gang menuju rumah Fida. Fida akan turun di sana. Hatinya semakin riang. Matanya bergerak-gerak meneliti sepanjang ruko. Hmm…siapa tahu ibu atau adik-adik ada di salah satu toko itu.

Ups, hey…tuh… benar kan? Itu, sosok perempuan berjilbab kaos merah marun tua, itu kan ibu. Di sebelahnya? Tak salah lagi! Gadis kecil berjilbab lucu itu kan de Zara? Tangan mungilnya tak lepas dari rok ibu. Ta…tapi, kenapa ibu membawa nampan besar di kepalanya ya? Dan… ibu meneriakkan sesuatu nampaknya. Terlihat dari gerak bibirnya dari kejauhan. Seolah sedang menjajakan sesuatu.

Fida semakin penasaran. Mobil melaju pelan melewati kedua sosok yang teramat dikenalnya itu. Seketika Fida terpana. Ibu meneriakkan kata-kata "Tempe… tempe … "

"Ibu… ibu berjualan tempe?" Desisnya pelan. Teramat pelan. Tak terdengar malah. "Sejak kapan? Kenapa? Bukankah ibu sudah punya gaji dari hasil mengajar? Apakah usaha ayah sedang ada masalah, sampe ibu harus berjualan keliling seperti itu? Ya Allah..." Berbagai pertanyaan berkecamuk di kepala Fida. Membuatnya ingin segera tiba di rumah untuk mendapatkan jawaban.

"Tempe… tempe…" Suara ibu terdengar semakin jelas . Fida semakin terpaku. Ibu… penampilan ibu sangat jauh berbeda kini. Butiran keringat menempel di kening dan sela-sela jilbabnya. Ibu kelihatan kurusan sekarang. Pantas saja kunjungan mereka ke asrama terputus. Pantas saja obrolan di telepon tak bisa selama dulu. Pantas saja ibu hanya bisa membelikannya sepotong daster ketimbang baju tidur lucu seperti punya teman-temannya yang lain. Ah, ibu… Jerit Fida dalam hati. Tak sadar tangannya mendekap ransel berisi daster pemberian ibu yang akan dikembalikannya. Maafkan teteh bu…***


 

Senja di kaki bukit Desa Tambak Mekar. Desiran anginnya yang sejuk mengiringi langkah Fida yang berjalan dengan anggun. Tubuh bongsornya berbalut daster bernuansa cerah, berpadu jilbab senada, menambah kecantikan yang terpancar dari wajah riangnya. Tak peduli beberapa teman yang melihatnya berjalan di lorong asrama terkikik geli. Tak peduli suara-suara sumbang kakak kelas yang meledeknya. Fida tetap melangkah riang. Menuju papan tempat majalah dinding terpasang. Selembar kertas terselip di tangannya. Ditempelnya kertas itu di sana. Dibacanya sekali lagi puisi hasil tulisan tangannya itu. Tulisan yang terukir indah dari lubuk hatinya yang paling dalam. Seulas senyum mengembang di bibirnya.


 

Dasterku,

Tak peduli tampilanku seperti bibi-bibi

Tak peduli gayaku serupa ibu-ibu atau emak-emak

Tak peduli orang menyandingkanku bak nenek-nenek

Tak peduli aku pada semua itu,

Peduliku hanya untuk butiran keringat ibu

Peduliku hanya pada tetesan air mata ibu

Peduliku hanya untuk pengorbanan ayah

Peduliku hanya pada harapan dan doa mereka

Lalu,

Mengapa aku harus gulana dan ragu

Mengenakanmu, bukankah ada tanda untukku

Tanda cinta, kerelaan dan pengorbanan ibu

Yang tersirat indah dalam wujudmu : dasterku…


 


 

Bekasi, 10 April 2010

Untuk sulungku : sabar dan syukur adalah senjata utama dalam hidupmu, nak…


 


 

Saturday 3 April 2010

Untuk temanku tersayang… (sebuah renungan pelembut hati)

Teman-teman tersayang,

Pada kesempatan yang berharga ini, aku ingin sekali mengajak teman-teman, ke dalam sebuah perjalanan indah, yang hanya dapat kita lalui dengan dzikir dan fikir yang tulus. Dengan hati yang bersih dan ikhlas. Jujur. Mengembara pada apa yang pernah kita lakukan dalam kehidupan kita yang telah silam. Saat tangis kita pertama kali memecah bumi. Saat ayah bunda, sanak saudara kita tersenyum dan tertawa bahagia menyambut kedatangan kita. Itulah hari pertama kita menginjakkan kaki di bumi ini. Kali pertama kita mengenal seorang malaikat berhati lembut dan tulus. Malaikat yang telah susah payah membawa kita 9 bulan lamanya dalam rahim di perutnya. Tak pernah mengeluh berat ataupun sakit saat membawa kita kesana ke mari. Tak pernah berkesah saat kaki kita menendang-nendang perutnya. Malah terkadang beliau justru tersenyum bahagia. Sambil mengelus kaki kecil kita yang masih ada dalam rahimnya, beliau akan mengajak kita berbicara. Padahal kita tak pernah menanggapi dan menjawab ocehannya. Beliau akan memamerkan kita pada orang-orang di sekitarnya : "Hey… anakku sudah tumbuh sekarang. Dia menendang-nendang perutku. Dia ada di sini…" Beliau sangat bangga dan bahagia memiliki dan menjaga kita saat itu, merawat dan mengasihi kita dengan sangat teliti dan hati-hati. Bahkan beliau rela menanggung sakit dan pegal karena membawa kita ke manapun beliau pergi saat itu. Walau kadang tak bisa tidur atau bergerak bebas saat kita berada dalam buaian rahimnya yang nyaman dan hangat. Kita merasa terlindungi. Kita merasa aman. Karena beliau adalah seorang malaikat yang telah diturunkan Allah ke bumi, untuk melindungi dan menyayangi kita. Walau nyawa taruhannya sekali pun. Dialah IBU… Manusia mulia yang senantiasa penuh kasih.

Ibu... menyebut namanya, ada kedamaian dan kerinduan yang selalu hadir. Kita selalu ingin ada di dekatnya. Merasakan harum nafas tubuhnya. Merasakan hangat peluk dan dekapannya. Mendengarkan merdu suaranya. Menikmati lezat makanannya. Menikmati tulus-sabar perhatian dan pelayanannya. Walau terkadang ibu marah dan jengkel atas kelakuan kita. Tapi itu tak pernah berlangsung lama. Bahkan hati beliau seperti telaga bening, yang selalu penuh dengan air suci yang akan membersihkan kesalahan-kesalahan kita, lewat ampunan dan do'a-doa yang sering beliau lantunan. Tanpa sepengetahuan kita! Ibu sering menangis sendiri dalam sujudnya. Dengan lirih beliau akan memohon pada Allah, untuk menjaga dan melindungi kita. Saat kita dekat ataupun jauh darinya. Sungguh indah dan tulus doa'nya teman.


"Ya Rahman… hamba titipkan anak-anak hamba dalam penjagaan dan pengawasanMU. Karena hamba hanyalah makhlukMU yang lemah. Tak kuasa menolak takdir yang KAU berikan pada mereka. Jaga mereka untuk hamba Ya Allah. Karena tak kuasa hamba melihat mereka bersedih atau menghadapi sebuah masalah. Sehatkan dan jauhkan mereka dari sakit. Mudahkan mereka dalam menghadapi kesulitan. Bahagiakan mereka dalam menjalani kehidupan…."

Sepenggal doa ibu yang indah ya teman-teman…. Membuat kita rindu … dan selalu rindu padanya…. Cobalah bayangkan sosok tegarnya saat ini. Hadirkan raut wajahnya yang teduh dan senantiasa tersenyum . Rasakan sentuhan dan dekapan kasihnya saat kita jauh darinya … Ibu, ibu …, sungguh, aku rindu padamu….

Teman-teman tersayang…

Sudahkah kau bayangkan wajah ibu sekarang? Kalau sudah, aku ingin mengajak kalian untuk jujur malam ini. Saat ibu tak ada di sisi kita. Saat ibu jauh dari pandangan kita. Saat ibu tak tahu apa yang kita lakukan saat ini. Cobalah kita untuk jujur dan mengakui. Apakah kita sudah berbuat baik dan menyenangkan hati beliau. Apakah kita sudah memenuhi keinginan dan nasehat-nasehatnya? Apakah kita selalu berusaha untuk mengerti perasaannya?

Kalau mau jujur teman-teman… kurasa kita masih belum banyak memenuhi harapan dan doa-doanya. Jauh… masih sangat jauh kita bisa membalas dan mengimbangi pengorbanan yang telah dilakukan ibu. Kita masih sering merajuk. Kita masih suka ngambek. Kita masih sering membantah. Kita masih sering menyakiti perasaannya. Kita masih selalu merepotkannya, dengan urusan-urusan yang seharusnya bukan kewajibannya lagi saat kita sudah dewasa seperti ini. Disadari atau tidak kita sadari...

Teman-teman…

Pernahkah kau mendengar sebuah kisah tentang seorang ibu yang rela memberikan bagian tubuh untuk putranya tercinta? Hanya agar putranya tersebut menjadi seorang yang percaya diri dan berhasil? Seorang ibu yang rela mendonorkan sepasang telinganya (Kuulangi… sepasang telinganya), karena putra semata wayangnya tidak memiliki daun telinga semenjak lahir. Beliau rela, karena tak ingin putranya tumbuh menjadi seorang yang rendah diri, karena sering diejek oleh teman-temannya dengan sebutan "manusia planet". Pengorbanannya berhasil sempurna. Putranya tumbuh menjadi seorang yang percaya diri dan berhasil meraih kesuksesan… Sang putra tak pernah tahu, siapa malaikat yang berhati mulia yang telah mendonorkan telinga untuknya. Karena hal itu selalu dirahasiakan oleh siapa pun. Bahkan sang ayah, selalu menjawab : "Suatu hari kamu akan tahu nak…" Hingga akhirnya, saat ibunya meninggal, barulah sang putra tahu bahwa sang ibulah yang telah merelakan telinga untuknya…

Sebuah kisah lain, ingin kubagikan dengan kalian. Kisah seorang anak yang menuliskan daftar pekerjaan dan mencantumkan berapa rupiah upahnya. Padahal pekerjaan itu ibunya sendiri yang meminta tolong. Sang anak menaruh catatan tersebut di meja dalam kamar sang ibu. Tertulis di sana, mencuci piring = Rp. 5000, membereskan kamar tidur = Rp. 5000. Menyapu dan mengepel lantai = Rp. 10.000. Menjaga dan mengajak adik bermain = Rp. 10000. Total semuanya Rp 30.000. Sepulang sang ibu dari urusan pentingnya, terbacalah catatan tersebut. Tak ada ekspresi marah dalam wajahnya. Seulas senyum mengembang dan kemudian sang ibu menuliskan sesuatu :

Sepuluh bulan mengandungmu dalam perutku, GRATIS. Berjaga sepanjang malam untuk merawatmu dan berdoa ketika kau sakit, GRATIS. Semua do'a yang selalu kupanjatkan, perjuangan dan cucuran air mata karena dirimu, semua GRATIS. Malam-malam panjang yang kuhabiskan untuk mengkhawatirkan dirimu, dan seluruh waktu yang kupakai untuk merawatmu tanpa henti, semuanya GRATIS. Mainan, makanan, pakaian dan bahkan menyeka hidungmu, semuanya GRATIS. Di luar semua itu, cinta sejatiku untukmu, GRATIS. Semua GRATIS. Untukmu anakku tersayang...

kita pasti terharu mendengar kisah ini. Betapa pengorbanan seorang ibu amatlah besar. Bahkan kadang tak sebanding dengan balasan yang diterima dari putra-putrinya. Semuanya beliau lakukan tanpa mengharap imbalan jasa SEPESER pun. Bahkan beliau rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk kita. Tapi apa yang telah kita perbuat sebagai balasan pengorbanan ibu? Mari kita renungkan dengan jujur

Teman-teman tersayang…

Selain ibu, kita juga mempunyai seorang ayah yang sangat mengasihi dan menyayangi kita. Ayah yang tak lelah bekerja mencari nafkah untuk kelangsungan hidup kita. Ayah yang berkerja, tak kenal waktu. Siang dan malam dijalaninya tanpa keluh kesah. Kadang kulitnya terbakar matahari saat bekerja di siang hari. Kadang tubuhnya menggigil saat bertugas di malam hari. Untuk memberi kita makanan yang sehat dan halal, untuk membelikan kita pakaian, untuk membelikan kita buku dan peralatan sekolah, untuk menyediakan kita kendaraan dan rumah yang layak. Dan masih banyak lagi kebutuhan-kebutuhan hidup kita yang menjadi tanggungan seorang ayah. Itu semua dilakukan ayah kita dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang.

Terkadang, ayah juga menggantikan posisi ibu saat ibu tak bisa menemani kita. Bermain, belajar, makan. Bahkan saat kita sakit. Tak jarang ayah ikut bingung dan sedih memikirkan kita. Apalagi saat kita ditimpa persoalan dan masalah. Ayah juga ikut membantu dan menghibur kita.

Teman-teman…

Pada kesempatan yang indah ini juga. Aku ingin mengajak teman-teman menghadirkan bayangan sosok ayah kita. Ayah yang setia mendampingi ibu, dari saat ibu mengandung kita dalam rahimnya. Ayah setia mengantar dan menemani ibu pergi ke dokter. Ayah dengan sabar mendengarkan segala keluhan ibu. Ayah membelikan ibu susu, membelikan makanan kesukaan ibu, bahkan ayah rela menyapu, mengepel, mencuci atau memasak saat itu. Ayah juga akan mengajak kita bercakap-cakap saat kita dalam perut ibu. Walau kita tak pernah membalas ocehan ayah. Tapi ayah tetap gembira melakukannya. Karena ayah tahu dan ingin memperlihatkan pada ibu dan kita, bahwa ayah sangat peduli dan sayang pada kita. Ayah sangat ingin segera melihat kita di bumi ini. Kemudian saat kita dilahirkan ke bumi, ayah akan dengan sangat hati-hati menggendong kita. Membacakan adzan di telinga kita, sebelum beliau membawa dan memperlihatkan kita pada nenek, kakek, paman, bibi dan teman-temannya, dan kemudian berseru dan mengatakan: "Hey… lihatlah ini! Bayiku sangat cantik… bayiku sangat tampan dan lucu…Alhamdulillah…"

Saat itulah air mata haru ayah akan menetes. Kemudian beliau berdoa dengan khusuknya. Memohon pada Allah dengan segala keikhlasan hatinya. Seperti inilah doanya :


 

"Tuhanku,

Bentuklah putraku menjadi manusia yang kuat,

Agar menjadi pemberani manakala dirinya lemah.

Menghadapi dirinya sendiri, manakala dia dalam keadaan takut.

Jadikan dia manusia yang bangga dan teguh dalam kekalahan

Jujur dan rendah hati serta berbudi halus ketika dalam kemenangan.

Bentuklah putraku menjadi manusia yang semangatnya tak pernah mati,

Putra yang selalu mengingat Engkau dan mengenali dirinya.


 

Tuhanku,

Aku mohon agar putraku jangan dipimpin di jalan yang mudah dan lunak,

Tetapi di bawah tekanan dan desakan, kesulitan dan tantangan

Didiklah putraku supaya tetap teguh ditimpa badai

Dan mampu melimpahkan cinta bagi mereka yang gagal.

Bentuklah putraku menjadi manusia yang berhati bening,

Yang cita-citanya tinggi

Putra yang sanggup memimpin dirinya sendiri

sebelum memimpin orang lain.

Putra yang mampu menjangkau masa depan,

Tetapi tidak melupakan masa lalunya ketika dia menggapainya.

Aku juga memohon, jadikan putraku seorang yang jenaka

Agar dalam kesungguhannya dia tetap ceria.


 

Tuhanku,

Berilah juga ia kerendahan hati

Agar selalu ingat kesederhanaan, kearifan, kelembutan, dan kekuatan sejati

Sehingga suatu saat, aku, ayahnya,

Berani berkata :"Hidupku tidaklah sia-sia"


 

Sungguh indah do'a ayah kita ya teman-teman. Do'a yang dilantunkan dengan penuh ketulusan dan harapan. Agar kita, putra-putrinya tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang dewasa dan kuat. Padahal kita sering tak tahu atau menyadarinya. Kita sering berprasangka pada ketegasan ayah. Saat ayah memarahi dan menasehati kita. Kita sering menduga-duga kemisteriusan ayah, saat beliau lebih banyak terdiam suatu hari. Kadang kita jengkel dan marah saat ayah tak peduli pada kita. Saat kita membutuhkannya menemani dan bersama kita. Ayah selalu mengatakan, ayah sibuk nak. Jangan ganggu ayah!

Teman-temanku…

Jangan pernah berprasangka buruk pada ayah kita. Setegas dan sekeras apa pun mereka membimbing dan mendidik kita. Dibalik ketegasan dan kekerasaanya, ayah sebetulnya mempunyai sebuah hati yang lembut dan tulus. Seperti sebuah kisah yang pernah aku dengar dari seorang pemuda yang jauh di seberang sana. Seorang pemuda yang ingin membagi penyesalannya, karena telah menyangka ayahnya tak pernah mempedulikan dan memperhatikannya. Ayahnya selalu disibukkan dengan urusan kerja dan kerja. Beginilah kisahnya:

Teman-teman,

Aku akan menceritakan kisahku pada kalian. Berawal Ketika aku masih kecil, aku suka tersenyum kepada ayahku. Kukira ayah akan balas menatapku, tapi ternyata tidak. Aku suka mengatakan "Aku sayang padamu, ayah…" dan menunggunya untuk mengatakan sesuatu. Kukira ayah mendengarku, tapi ternyata tidak. Bahkan menoleh pun tak dilakukannya. Ayah hanya bergumam :"Ayah sedang sibuk".

Pada saat yang lain, aku mengajak ayah bermain bola di luar. Kukira ayah akan mengikuti keluar. Tapi ternyata tidak. Aku menggambar dan berharap ayahku akan melihatnya. Aku berharap ayahku akan memasang lukisan, tapi ternyata tidak. Aku membuat tempat berkemah di halaman belakang. Kukira ayah akan ikut berkemah denganku satu malam saja, tapi ternyata tidak. Aku mencari cacing untuk umpan memancing. Kukira ayahku akan ikut memancing bersamaku, tapi ternyata tidak. AKu ingin mengajak ayahku berbicara untuk bertukar pikiran. Kukira itu juga yang diinginkan ayahku, tapi ternyata tidak.

Aku memberinya jadwal pertandingan bola yang kumainkan, berharap ayahku akan datang. Kukira ayahku pasti datang, tapi ternyata tidak. Aku ingin berbagi masa kecilku dengan ayah. Kukira itu juga yang diinginkan ayah, tapi ternyata tidak.

Lalu saat aku dewasa, aku masuk ke dinas militer. Tugas Negara memanggilku, dan aku harus ke medan pertempuran untuk berperang melaksanakan tugasku. Saat itulah, ayah memintaku untuk pulang dengan selamat. Tetapi…Aku tidak bisa memenuhi permintaanya. Tak kan pernah bisa. Padahal itu adalah satu-satunya permintaan ayah. Untuk yang pertama dan terakhir. Karena aku tak kan pernah bisa bertemu kembali dengan ayahku. Karena sebuah peluru menembus dadaku. Tuhan kemudian memanggil ruh ku pulang ke alamNYA. Namun aku sempat membaca surat yang dikirimkannya padaku lewat pos. Surat ayah begitu singkat…

    "Maafkan aku nak…

    Aku menyayangimu.

    Aku sayang padamu

    Aku kangen padamu.

    Tetapi meski aku tidak melakukan apa pun yang kau inginkan,

    Seharusnya kau mengabulkan permintaan terakhir ayah…"


 

Begitulah potongan kisah yang dialami seorang pemuda di seberang sana. Dia belum sempat memenuhi keinginan ayah tercintanya. Maut yang tak kenal waktu dan kompromi. Kapan pun jika Allah sudah berkehendak, maka kita bisa dipanggil sesuai takdir yang telah dituliskan untuk kita. Dan kita tak pernah tahu takdir kita...


 

Teman-teman...

Jangan sampai kita mengalami nasib yang sama seperti pemuda tadi. Belum sempat berbakti dan memenuhi harapan serta impian ayah kita. Belum sempat mengabdi dan mempersembahkan sebuah kebanggaan padanya. Karena sesungguhnya, ayah telah menaruh harapan yang besar pada kita anak-anaknya. Untuk membuatnya bangga telah menghadirkan kita ke dunia.


 

Teman-temanku sayang...

Jika ayah telah bangga memiliki kita. Sepatutnyalah kita pun bangga memilikinya. Walau mungkin sosok ayah tak segagah artis yang pernah kita lihat. Walaupun ayah tak sekaya para jutawan. Walaupun pekerjaan ayah kita tak sehebat pekerjaan ayah teman-teman kita. Tapi kita punya seorang ayah. Masih punya seorang ayah! Ayah yang jiwanya hangat, sehangat bara api. Ayah yang sabar dan tak pernah mengeluh setiap menghadapi permasalahan. Ayah yang hebat, yang bisa memperbaiki atap rumah kita yang bocor dan pipa-pia yang tersumbat. Ayah yang menyerupai ksatria berkuda putih, yang akan selalu menjaga dan membimbing keluarga, agar selalu dekat dengannya. Ayah yang rupanya sering terserang penyakit amnesia, karena cepat melupakan masalah dan kepahitan hidup. Ayah yang selalu ada untuk kita. Berdiri melindungi di belakang kita. Tegar, Seperti sebuah gunung yang berdiri kokoh.

Ayah..., tiba-tiba aku rindu padamu. Rindu. Teramat rindu....


 


 


 


 

Wednesday 31 March 2010

AKU PASTI BISA !

    Hari itu adalah hari yang melelahkan bagi Bu Tita. Padahal hari itu Bu Tita, guru kelas 1 sebuah sekolah dasar swasta, sudah mempersiapkan segalanya dengan baik. Jadwal dan rencana kegiatan harian, panduan guru, bahkan alat peraga penunjang kegiatan sudah tersedia. Tapi saat masuk kelas, segala rencana yang sudah terprogram dalam kepala buyar sudah. Apa pasalnya?

    Berawal dari tangisan Zaidan, yang pagi itu datang ke sekolah terlambat. Kelas yang semula tertib, berubah menjadi seramai pasar. Apalagi saat raungan Zaidan membahana kelas, karena tak ingin ditinggal pergi ibunya. Tangan gempalnya memegangi rok ibunya dengan erat. Sementara sang ibu berkeras melepas pegangannya. Bu Tita berusaha memegang badan bongsor Zaidan agar bisa lepas dari ibunya. Akhirnya, Zaidan bisa dipegang dan dikendalikan, setelah memakan waktu 10 menit, dengan segala bujuk rayu dan kata-kata motivasi. Namun baru saja Bu Tita mendudukkan Zaidan di kursinya, terdengar teriakan anak-anak lainnya, "Bu guru… Farel berantem sama Naufal… Farelnya nagis Bu…". Hhh… napas lega Bu Tita pun mengambang di udara. Berganti dengan tumbuhnya 'tanduk' di kepala. Belum lagi di jam berikutnya, air minum Linda yang tumpah membasahi meja dan lantai. Dava yang BAB di celana. Faza yang tidak mau makan. Semakin menambah 'tanduk-tanduk' lain bertumbuhan di kepala. Bahkan 'ekor'!

    Rangkaian masalah itu tidak cukup hanya hari itu. Bisa jadi dalam 1 pekan berulang sampai 3 atau 4 kali! Kadang masalah yang sama, kadang berganti dengan problem yang lain. Tapi tetap intinya:masalah! Membuat pening kepala dan penat tubuh. Yang lebih parah lagi terkadang memunculkan sebuah keputusasaan dan sebuah keinginan untuk berhenti saja menjadi seorang guru. Apalagi jika masalah itu ditambah dengan masalah pribadi, keluarga, orang tua murid yang complain, dan lingkungan kerja yang kurang mendukung. SO… apa yang harus dilakukan?

    Katakan AKU PASTI BISA menghadapi masalah ini! Itulah hal pertama yang sebaiknya dilakukan. Sebuah kalimat sederhana. Terdiri dari 3 kata, yang jika diucapkan seorang balita pun akan mudah dikatakan. Apalagi oleh kita, yang menurut katagori departemen ketenagakerjaan, tergolong ke dalam manusia usia produktif. Produktif dari segi komunikasi maupun produktif dari segi kerja nyata.

Namun pada kenyataannya, tak banyak di antara kita yang mau mengatakan 3 kata sederhana ini dalam kehidupan sehari-hari. Manakala kita dihadapkan pada permasalahan hidup yang sederhana, apalagi permasalahan yang rumit. Bahkan kita cenderung berusaha untuk menghindari masalah, dengan dalih tak mau repot ataupun malas menghadapinya. Padahal terkadang, ketika akhirnya kita terpaksa harus menghadapinya juga, kita bisa menyelesaikan masalah tersebut tanpa kita sadari. Dan tatkala masalah itu berakhir, kita mengatakan: Finally… akhirnya… Dengan sebuah tarikan napas panjang yang lega…

Kalau kita mau jujur, masalah sebenarnya adalah bumbu penyedap dalam kehidupan. Hidup tanpa masalah membuat dinamika kehidupan berjalan stagnan. Pasif. Cenderung membuat seseorang jadi non kreatif, alias tidak cerdas. Karena dengan adanya masalah, seseorang dituntut untuk berusaha menghadapi dan berfikir, bagaimana dia bisa menyelesaikan masalah tersebut. Bahkan lebih dari itu, seorang yang kreatif dan cerdas, akan rindu dan merasa tertantang dengan semakin banyaknya masalah dan rintangan yang ia hadapi. Seperti dituliskan salah seorang tokoh dari 18 tokoh Abad ke-20 yang paling dikagumi,
Helen Keller: "
Bergembiralah! Jangan pikirkan kegagalan hari ini, pikirkanlah kesuksesan yang akan datang esok… Sukses akan diraih jika engkau gigih dan akan engkau temukan kegembiraan dalam menaklukan berbagai rintangan."

Maka hadapilah masalah dengan tenang. Yakinkan hati bahwa kita BISA menanganinya dengan baik. Tentu saja dengan taktik dan metode yang kita kuasai. Trial dan error adalah hal biasa dalam menyelesaian sebuah permasalahan. Bahkan akan memperkaya perbendaharaan metode pendekatan kita dalam menghadapi permasalahan. Dan setelah kita mampu menghadapi setiap masalah, kita pun akan bisa mengatakan dan meyakinkan pada orang lain dan bahkan pada murid-murid kita di kelas : Katakan AKU PASTI BISA! Jangan menyerah apalagi mengatakan AKU TAK BISA!

Ada sebuah pengalaman menarik yang pernah saya alami, yang ingin saya bagi dalam tulisan ini. Pengalaman yang terjadi setahun lalu, saat saya mengajar murid-murid kelas 1 SD. Ketika saya mengajarkan sebuah pelajaran, banyak di antara murid saya mengatakan: "Bu guru… aku TIDAK BISA…" Saat itu saya menjawab : "Jangan pernah mengatakan Aku tak bisa nak… Katakan AKU BISA! AKU PASTI BISA! Karena Allah menciptakan manusia dengan bahan baku yang sama. Kalau teman-teman yang lain bisa, maka kamu pun PASTI BISA!"

Subhanallah… ternyata kekuatan kata AKU PASTI BISA berdampak luar biasa. Sejak saat itu, jika ada seorang murid saya mengatakan Aku tak bisa, maka teman yang lain akan menjawab Katakan AKU PASTI BISA. Maka murid saya itu langsung bersemangat untuk mengerjakan tugasnya dengan baik. Bahkan hati saya sangat tersentuh saat seorang murid perempuan saya menulis sebuah surat yang masih saya simpan sampai saat ini. Surat itu berisi rangkaian kalimat sederhana :

" Bu guru, terima kasih… sekarang aku sudah bisa membaca Al Qur'an. Karena ibu pernah bilang padaku, katakan AKU PASTI BISA. Aku selalu mengingat kata-kata itu. Dan aku bisa membuktikannya sekarang. Ternyata AKU BISA baca Al Qur'an."

Berkaca dari pengalaman tersebut, ayo! Mari kita coba untuk selalu mengatakan AKU PASTI BISA saat menghadapi setiap permasalahan. Dan rasakan sensasi kata-kata itu menjalari otak kita, untuk kemudian otak kita akan memerintahkan bagian tubuh yangn lain bergerak untuk memulai tahapan-tahapan penyelesaian masalah tersebut. Diiringi awalan kata Bismillah, Insya Allah kita akan merasakan dampak yang LUAR BIASA dari kekuatan kata-kata AKU PASTI BISA!!!


 

Bekasi, 13 Desember 2009


 


TEGAR
    "Mohon perhatian kepada nama-nama yang disebutkan berikut ini, diharapkan segera berkumpul di ruang kepala sekolah." Demikian awal bunyi panggilan yang menggema di seantero sekolah pagi itu. Kupingku langsung berdiri, menyimak. "Bapak Yosef Wahyono, Bapak Momon Salamon, Bapak Firman Sumpena, Bapak Oke Haryadi, Bapak Malik Sejahtera, Ibu Sinta, Ibu frita, Ibu …." Sembilan nama yang disebutkan, tak termasuk namaku. Namun sebuah pertanyaan menggantung di hati : Ada apa ya?
    Jawaban kudapat lewat sedikit bisikan dari teman di kantor guru : "TUFUNG…" Sambil matanya agak mendelik sebal, karena namanya pun tak termasuk daftar yang dipanggil tadi. "Oh…" Jawabku acuh. Tapi, Ups!!! Tunggu dulu. Kéheula. Sakedap!!! Kalo 'ga salah TUFUNG itu kan kependekan dari TUNJANGAN FUNGSIONAL? Itu loh, tunjangan financial yang dialirkan pemerintah pusat untuk guru-guru PNS maupun swasta. Oh NO, it's trouble atuh…. Kok namaku dan nama beberapa teman yang lebih sepuh ngga ada ya? Padahal tahun-tahun sebelumnya kita dapat tunjangan tersebut. Wah, ada apa nih. Aya naon yeuh… Yang pasti sih, ini bukan keinginan sekolah, apalagi keinginan kepala sekolah. Beliau pasti menginginkan kesejahteraan bagi seluruh staf-nya. Tapi mau gimana lagi? Mau teriak : "Oi… ini tidak adil!". Bukan karena iri pada teman-teman satu sekolah yang dapat loh, karena Insya Allah, di sekolah kita selalu diterapkan azas ADIL, PEDULI, dan KASIH SAYANG. Tapi ini lebih ditujukan pada orang di atas sana yang telah mengatur ini semua! Atau mau demo ke gedung DPRD yang letaknya tak jauh dari bangunan sekolah? Ini juga bukan kebiasaan kaum kita, yang menganut azas ISTIQOMAH, IKHLAS, QONAAH. Apalagi untuk urusan UANG, yang notabene urusan dunia full. Ngisinkeun ah!. Akhirnya ya sudahlah… Memang hanya orang-orang yang beriman saja yang berhak mendapat … (he…he..he… bercanda sedikit ini mah).
    Gambaran peristiwa di atas memang real, nyata terjadi baru-baru ini. Menambah helaan nafas berat yang memang sudah menjadi bagian dari kehidupan kami, guru-guru swasta yang ada di distrik kota. Bukan karena keTIDAK IKHLASAN kami dalam menjalankan tugas. Tapi lebih pada sebuah HAK, yang memang sudah sepantasnyalah kami dapatkan. Karena kalau mau dirunut dan didata, keTIDAKADILAN itu tidak hanya baru kali ini saja terjadi. Tapi sudah sering. Beberapa contohnya adalah sertifikasi guru dalam jabatan, baru SATU orang yang tembus sertifikasi. (jujur, saya pribadi bukan mengincar tunjangan yang nanti didapat, tapi lebih pada pengakuan institusi pemerintah bahwa guru-guru Thariq Bin Ziyad sudah LAYAK untuk itu, Insya Allah). Honor daerah yang tidak tahu khabar kelanjutannya. THR guru dari Pemda yang masih disunat sana-sini, padahal besarnya tidak lebih dari harga sekarung beras 20 Kg. Astaghfirullah…
    "Memang bikin pusing Bu, kita sih inginnya bermain bersih. Tapi kalau begini kondisinya, terpaksa kita masuk dalam permainan ini.", komentar seseorang yang saya hormati, tapi tak bisa saya tuliskan namanya, menunjukkan kepedulian yang besar terhadap anak-buah beliau dalam mendapatkan hak dan keadilan.
Terlepas dari gunjang-ganjing persoalan HAK guru di level institusi, adalah sebuah NURANI SEHAT yang masih bisa mengendalikan semua itu. Dalam ketidakpastian: hendak kemanakah, lalu bagaimanakah nasib kami selanjutnya?, dunia pengabdian tetaplah bergulir seperti sebuah roda. Jika pengabdian itu terhenti, maka bagaimanalah nasib anak-anak didik kita? Yang pada merekalah tercermin segala obsesi dan idealisme yang tertancap erat saat kita memilih GURU sebagai ladang amalan hidup. Obsesi dan idealisme bahwa suatu saat negeri ini akan berubah. Berubah menjadi lebih baik, dibawah pimpinan yang mungkin, salah satunya, atau bahkan semuanya, adalah murid-murid yang pernah kita bina dan didik. Subhanallah… alangkah indahnya! Sekarang kita mungkin memang BELUM mendapatkan KUE PEMBANGUNAN itu, tapi insya Allah, kita sudah menanamkan pondasi KEJUJURAN, KEADILAN, KESEJAHTERAAN dan KEBERKAHAN untuk generasi masa datang.
    Kisah menarik ini mungkin bisa kita jadikan sebuah renungan. Seorang guru sederhana, dengan pengabdian lebih dari 20 tahun, tak kunjung mendapatkan HAK seperti pada umumnya teman sejawatnya. Tatkala beliau ditanya, bagaimana perasaan bapak menghadapi hal ini, beliau dengan wajah ikhlas penuh senyum berkata: "Saya tak menginginkan apa-apa dalam hidup ini. Tapi kalau boleh saya meminta pada Allah, satu hal saja, yang bahkan saya rela gadaikan seluruh hidup dan pengabdian saya, yaitu semoga murid-murid saya, anak didik saya, berhasil dalam menghadapi hidupnya. Berhasil menjadi orang shaleh dan punya arti bagi kehidupan orang banyak…"
    Ya, tak ada yang lebih indah dari ungkapan cinta dan pengabdian yang mendalam dari seorang GURU, seperti gambaran peran yang diungkapkan seorang teman sejawat dalam facebooknya : "Puisi Aku Seorang Guru. Lihatlah… seharian aku telah diminta menjadi seorang actor, teman, penemu barang hilang, psikologi, pengganti orang tua, penasehat, hakim, pengarah, motivator, dan pembimbing ruhani murid-muridku…"
    Ungkapan cinta dan pengabdian yang tulus, akan berbuah ketulusan dan cinta yang sama dari murid-murid kita. Seperti diungkapkan beberapa di antara mereka kepada guru-gurunya di bawah ini:
"Bu guru, ibulah orang terakhir yang akan saya lupakan di dunia ini…"
"Bu guru, ibu seperti buku dyariku, selalu mau mendengarkan aku saat suka maupun sedih. Aku sayang sama ibu…"
"Pak guru, kalo aku jadi dokter nanti, Bapak berobat sama aku gratis!"
"Kalau aku jadi pilot nanti, aku mau ngajak bu guru dan Pak guru ke Mekkah, untuk ibadah haji…"
    Masih banyak lagi ungkapan cinta dan sayang mereka yang lain. Membuat hati kita menjadi haru, dan tak ingin rasanya melepas status dari seorang GURU. Membuat kita tetap bisa bertahan untuk TEGAR. Sampai kapan pun… Kita harus tetap TEGAR!!! Karena Tegar adalah bukti sebuah CINTA. Cinta pada pengabdian kepada Allah dan Rasul-NYA,
 
    "Bila engkau bekerja dengan cinta
     Itu berarti engkau menenun dengan sutra dari hatim
Seakan kekasihmu sendiri yang mengenakannya
    Itu berarti engkau menabur dalam kelembutan, memetik dengan     sukacita
Seakan kekasihmu sendiri yang menikmatinya di meja perjamuan.
    Kerja adalah cinta yang nyata, kasih yang tampak…" *)
   Bekasi, 6 Desember 2009

                                               


 


 

Kejujuran, masih adakah …? (catatan keresahan sebuah hati)

Ujian akhir SMU dan SMP berakhir dengan menyisakan sebuah tanya besar dalam hati, murnikah perjalanan awal dan akhirnya? Bukan karena imbas dari beberapa kasus korupsi yang saat ini marak diberitakan, tapi lebih pada sebuah keprihatinan melihat dan mengalami sendiri detik demi detik waktu ujian berlangsung. Walau tak langsung aku berada di lapangan, namun rasanya aku turut berjibaku mengingat murid juga keponakan-keponakanku sedang menghadapi saat-saat menegangkan itu. Dan nyatanya… ah!

Tak tegalah rasanya aku merinci dan mengatakan apa yang terjadi di balik layar mereka berlaga. Sehingga memunculkan sejumlah tanya dan keprihatinan : Ya Allah, di mana mereka menaruh iman dan ihsan … Kepercayaan diri, usaha yang gigih, ketergantungan pada Sang Rabb tidak lagi diperhatikan. Yang ada hanyalah sebuah keinginan untuk mencapai nilai tinggi dengan cara yang tidak jujur. Masya Allah… gurita yang bernama KORUPSI itu telah menjangkit parah pada sendi-sendi kehidupan negara ini! Lalu, salah siapakah ini?

Duhai teman institusi dewan kepala sekolah,guru dan jajaran dinas terkait yang terhormat… kemuliaan kita terletak pada ketulusan dan kejujuran kita. Dengan penuh kasih kita tanamkan nilai-nilai kehidupan dalam benih kita yang bernama murid itu. Kita siram dengan nilai Illahiah dan Rabbaniah setiap ilmu yang kita sampaikan pada mereka. Dengan satu harapan penuh: Mereka menjadi manusia yang pandai dan berakhlak mulia. Nilai berupa angka bukanlah satu satunya tujuan. Bukan lagi sebuah rahasia, bahwa keseimbangan emosi dan spiritualah yang menentukan keberhasilan hidup seseorang di masa dewasa mereka. Maka mengapa ini semua bisa terjadi : kecurangan!

Andai masih ada… proses awal dan akhir dilalui dengan wajar dan jujur, adalah mutiara indah di dasar lautan bumi. Aku yakin, mutiara itu masih ada! Ya, masih ada… yaitu pada mereka yang telah berjuang keras mempersiapkan segalanya dengan baik, diiringi permohonan pada Sang Pemilik jagat raya ini, kemudian menyerahkan segala daya upaya itu pada kewenanganNYA untuk menentukan hasil. Yakinilah, bahwasannya bumi ini berjalan sesuai dengan hukum alam yang berlaku: ada sebab, maka ada akibat. Ada aksi, maka ada reaksi. Usaha dan doa yang keras, akan menghasilkan sebuah kesuksesan!

Marilah kita renungkan…                                       

Sunday 7 March 2010


ABDULLAH MIQDAD

Si gagah dan cuek ini kami beri nama Abdullah Miqdad. Lahir di RS Kartika Husada-Tambun, pada tanggal 26 Juni 2007.

Abdullah Azzam Si tengah

Kami menamai putra kedua kami, Abdullah Azzam. Nama yang kami ambil dari seorang tokoh yang kami kagumi, yaitu Dr Abdullah Azzam, yang berjuang dengan segala ilmu dan keberaniannya di bumi para nabi : Palestina. Kami berharap, Abdullah Azzam kami akan mengikuti jejak sang pahlawan: Berjuang sampai titik darah penghabian dalam membela dan menegakkan Islam di muka bumi ini. Allahuakbar!!!

Azzam, demikian kami panggil, dilahirkan dengan penuh perjuangan. Proses kelahirannya termasuk sulit dan menegangkan. Hingga akhirnya berujung di meja operasi jua... Lahir sehari menjelang pergantian tahun, yaitu 29 Desember 2001 di RS Karya Medika Cibitung. Tangis perdananya sangat keras, sekeras kemauannya saat punya keinginan.

Alhamdulillah, Azzam juga punya hobi yang sama dengan ayah-ibu-dan tetehnya : Membaca. Tapi kurang suka menulis. Benci malah... Amat sulit memintanya untuk menulis. Makanya nilai bahasa Indonesia kurang memuaskan. Tak apalah... tiap anak punya keunikan masing-masing. Abdullah Azzam anakku... Walaupun kamu sering membuat ibu menahan tangis dan kesal karena ulahmu yang susah ditebak dan susah diatur, ibu tetap mencintai dan menyayangimu nak... Jadilah seperti yang ayah-ibu pintakan pada Allah : Pahlawan penegak kebenaran...

FIDA AMATULLAH Si Sulung

Sulungku bernama Fida Amatullah. Lahir di RS Jayakarta pada hari Sabtu, 3 Mei 1997. Saat ini Fida sudah duduk di kelas 7 SMPIT ASSYIFA Boarding School di Subang.

Kadang aku rindu pada sulungku, walaupun kalo ada di rumah bawaannya mulut ini menjadi lebih bawel. ngatur ini... ngatur itu... nyuruh ini... nyuruh itu. Tapi itu semua untuk melatih kemandiriannya loh...

Hobi-nya menurun dari aku : membaca dan membuat tulisan. juga ngotak-ngatik komputer. Smoga Allah senantiasa membimbingnya, amien...



Saturday 6 March 2010



ZHAFIRAH ZARA AMATULLAH

Sempat kuragu saat kau mulai tumbuh dalam rahimku. Karena kehamilan ini termasuk beresiko. Tiga kali sudah aku melahirkan lewat operasi. Kali ini... tak terduga Allah menitipkanmu kembali dalam rahimku. Bismillah... Saat amanah itu Allah berikan padaku, aku yakin ini adalah yang rencana terbaik yang Allah berikan dalam hidupku. Minggu demi minggu. Bulan demi bulan kulalui dengan penuh kehati-hatian dan do'a yang penuh. Terbayang beberapa rencana yang sudah terprogram dalam hidup kami, aku dan sayap hidupku, akan sedikit berubah. Ya Allah... tanamkan cinta untuk manusia kecil yang kini ada dalam rahimku. Alhamdulillah... 5 Februari 2010, kau lahir lewat operasi kembali. Sakit yang luar biasa menyerang ulu hatiku terobati saat mendengar tangismu memecah keheningan ruang operasi. Seorang bidadari mungil, berambut tebal, bermata bundar, berkulit kemerahan, disentuhkan ke bibirku yang tergeletak tak berdaya saat itu. Tak terasa butiran air mata ini jatuh di pipi, deras... teramat deras. Subhanallah... Cinta itu tumbuh subur saat itu juga. Ya Rahman, kan kujaga titipanMU yang cantik ini dengan sebaik-baik penjagaan. Jadikan kami, team yang kompak dalam meniti jalan menuju ridhaMU. Selamat datang bidadari kecilku... Kunamai engkau dengan sebaik-baik nama. Ayah memberikan hak penuh pada ibu untuk memberimu sebuah nama. Tidak seperti nama kakak-kakakmu. Ibu merasa tersanjung... Akhirnya, terbersitlah sebuah nama indah untukmu : Zhafirah Zara Amatullah. Keberuntungan seorang putri dari seorang wanita hamba Allah, begitulah makna namamu, nak... Tumbuhlah besar anakku. Jadilah cahaya mata dan hati setiap orang yang memandangmu. Jadilah tauladan hidup orang-orang di sekelilingmu. Agar kami, ayah dan ibumu, akan bangga telah melahirkanmu ke dunia ini...

"Tuliskan rencana kita dengan sebuah pensil tapi berikan penghapusnya pada Tuhan. Izinkan Dia menghapus bagian-bagian yang salah dan menggantikan dengan rencanaNYA yang indah dalam hidup kita." (dikutip dari Dian Syarief)

Monday 1 March 2010

Mimpi itu Gratis

Mtu GRATIS...


 MIMPI  itu GRATIS...

"Apa impian kamu yang kamu anggap sudah tercapai sampai hari ini tien?" Pertanyaan 'sayap hidup'ku yang tiba-tiba itu membuatku agak tercenung, bingung. "Hm... apa ya?"
"Kalo aku, Alhamdulillah... rasanya beberapa bahkan hampir semua mimpi yang pernah aku rajut dalam benak dari selagi aku muda, sudah tercapai. Menikah, punya 4 orang anak, punya rumah di daerah yang kuinginkan, punya mobil, insya Allah naik haji, ya... hampir semua..."
Aku masih terdiam. Hebat betul 'sayap hidupku' ini, batinku. Rencana hidupnya memang bermula dari mimpi-mimpi... Sedangkan aku? Kubiarkan hidup mengalir bagaikan air. Ikuti saja ke mana alirannya akan menuju. Yang penting aku bisa menghadapi batu, karang, sampah atau kotoran yang kuanggap sebagai cobaan hidup, bersama aliran itu.
"Bahkan kini aku punya mimpi untuk 15 atau 20 tahun yang akan datang..." Kembali 'sayap hidupku' berkata. Matanya berbinar cerah menatapku yang masih terbengong, bingung.
"Apa?" Balasku takjub.
"Hm... kamu pasti tertawa..."
"Lho, ngapain tertawa. Bukankah kita sudah sepakat, bahwa: 'apa sih yang tidak mungkin kalo kita meminta pada Allah? Apapun permintaan kita, urusan dunia kek, urusan akhirat kek..." Aku sedikit cemberut. Tertawa itu kan melecehkan... ya ga mungkinlah, wong namanya juga bercerita tentang impian, apa salahnya...
"Hm... aku punya mimpi menjadi bupati."
Ups! Eit... bener kan! Hik..hik... hik... akhirnya aku tak tahan untuk tidak tertawa.
"Tuh, kan..."
"Eh, sory, bukan begitu. Hanya mimpi yang aneh kurasa... Kok bisa mimpi jadi bupati. Jauh dari basic aja gitu. Kamu sekarang menekuni dunia perdagangan. Cenderung menjauh dari dunia perpolitikan karena sedang dikecewakan. Kok bisa..."
"Eit... ingat: tak ada yang tak mungkin kalo kita memintanya pada Allah... Lagi pula, aku sih hanya ingin membuktikan bahwa sebenarnya aku juga bisa kok untuk berprestasi. Aku prihatin melihat kondisi kepemimpinan sekarang ini. Aku ingin bisa menjadi Umar bin Abdul Aziz, atau Said bin Amir al-Jumhi, yang bisa meredam ego keduniawiannya saat mereka menjadi pemimpin. Bupati kita sekarang aja, 15 tahun yang lalu tuh bukan siapa-siapa..."
"Ya deh... amien... Kalo aku sih ga muluk-muluk. Aku punya impian jadi orang kaya. Dengan kekayaanku itu aku bisa bikin perpustakaan dan sekolah untuk anak-anak yatim-piatu dan du'afa. Aku ingin... sangat ingin menjadi sahabat mereka. Sahabat terdekat mereka. Sungguh... Aku teramat ingin.... " Kalimatku mulai terbata pada akhirnya. Ya, aku selalu terbawa perasaan saat membayangkan impianku itu.
"Bagus, sebuah impian yang bagus. Yakinlah, tak ada yang tak mungkin bila kita memintanya pada Allah!"
"Kalo begitu, ade ingin punya mimpi jadi mentri pendidikan deh... Biar sekolah ade gratis!" Celetuk buah hatiku, si nomor dua Azzam.
"Oh... ga apa-apa... siapa pun boleh bermimpi. Mimpi itu gratis kok..."
Ya, ayo kita rajut mimpi-mimpi kita. Andai mimpi itu sudah tercapai, buatlah kembali mimpi yang baru!