Thursday 19 February 2009

Peduli

Jum'at, 20 Februari 2009

Lalu lintas merambat pelan di pintu kereta api, masih untung lah ya... dibanding macet total. Motorku pun merayap pelan di antara ratusan motor, mobil, sepeda dan pejalan kaki.
Di antara kerumunan yang menyemut, kudapati sesosok lelaki bertongkat putih, menandakan seorang tuna netra, berjalan tertatih. Hampir saja kendaraan di samping kiri kanan atau depan belakang menyentuh tubuhnya. Aku tahu pasti (ck...ck...) bapak itu kebingungan dalam gelap penglihatannya. Seperti biasa... aku langsung trenyuh. Andai aku seorang laki-laki, pasti langsung kugamit tangannya untuk melangkah.

Alhamdulillah... seorang remaja berseragam SMA menarik tangannya, menepi. Membawa bapak itu berjalan di pinggir dan lebih aman kurasa. Sejenak tangan bertongkat itu terdiam, kurasa beliau menduga dan menebak, siapa malaikat berhati emas yang pagi itu menolongnya. Tapi dalam detik berikutnya, dia menggenggam erat tangan itu. Bahkan semakin erat kurasa. Senyumnya mengembang girang.

Aku terpaku ta'jub melihat adegan itu. Aku jadi teringat sebuah cerita yang serupa dengan kejadian barusan. Kisah seorang anak yang hendak menonton pertunjukkan sirkus bersama ayahnya. Mereka sudah merencanakan menonton sirkus itu jauh-jauh hari. Rencana tersebut baru terlaksana hari itu karena uang untuk membeli tiket baru terkumpul. Maklum lah... mereka hanya sebuah keluarga petani yang sederhana.

Saat tiba di tempat pertunjukkan, anak tersebut melihat sepasang suami istri yang membawa 8 anak sedang mengantri di loket karcis. Wajah kedelapan anak tersebut sangat ceria, membuatnya juga ikut ceria. Dari celoteh mereka, sang anak pengamat ini bisa merasakan, betapa kedelapan anak ini sangat menginginkan pertunjukkan sirkus tersebut. Demikian pula kegembiraan yang sama ditunjukkan oleh ayah dan ibu mereka. "Wah, kita bersyukur sekali bisa mengajak anak-anak nonton sirkus ya Pa...setelah hampir setahun mengumpulkan uang untuk bisa membeli tiket."

Saat tiba di loket karcis, alangkah kagetnya sang ayah, ketika penjaga karcis menyebutkan sejumlah uang yang dibutuhkan untuk membayar tiket 10 orang. Karena uang yang dibawa ternyata tak cukup. Wajah Sang ayah berubah cemas dan sedih. "Tolonglah pak, saya sudah bersusah payah mengumpulkan uang ini untuk mengajak anak istri saya bergembira... kasihan anak-anak jika mereka tak jadi menonton pertunjukkan sirkus ini."

Ayah sang anak pengamat ikut menyaksikan kejadian itu. Dengan kesigapan yang cukup bijak, sang ayah menghampiri Laki-laki itu dan menjatuhkan uang. "Wah, sepertinya uang anda terjatuh Pak...".
Alangkah kaget dan malunya laki-laki itu. Tapi pertolongan itu sangat tepat waktu. Akhirnya dia mengambil uang itu dan berterima kasih.

Sang anak pengamat tak menyesali perbuatan ayahnya, walaupun mereka tak jadi menonton sirkus. Bahkan dengan bangganya dia memuji ayahnya :"Aku tak menyesali kejadian hari ini. Bahkan aku bangga melihat kemuliaan hati para ayah hari ini..."
So how with us... Bisakah kita peduli seperti mereka?...

Tuesday 17 February 2009

Jika Tlah tiba Saatnya

Senin, 16 Februari 2009

Aku tiba di sana di bawah iringan rintik hujan gerimis. Sebagian ada wajah duka, sebagian ada wajah biasa-biasa saja. Yang berwajah duka, karena merasa sedih dengan perubahan ada menjadi tiada, sedangkan yang berwajah biasa-biasa saja mungkin karena anggapan, bahwa "ah... toh sudah waktunya untuk meninggal. Usia udah tua kok..."

Tapi tidak denganku. Jujur... ada dua alasan yang menyebabkan aku sedih datang ke pemakaman kakak dari ibuku tersebut (beliau kupanggil uwa). Alasan pertama adalah menyadari bahwa ibuku kini sebatang kara dalam silsilah keluarganya. Saudara-saudara beliau, dari adik atau kakak, semuanya sudah dipanggil yang Maha Kuasa. Alasan kedua adalah betapa setiap nyawa akan kembali kepada Sang Pencipta, yaitu Allah SWT.

Ya Allah... mungkin besok, atau lusa, atau mungkin beberapa detik lagi... Engkau akan mengutus malaikatMu kepadaku. Kemudian aku terbaring sepi di tanah itu. Bersama cacing, semut, sepi, dingin, dan terutama... bersama amalanku. Yang menjadi masalah adalah, amalan berwajah apakah yang akan menemaniku? Baikkah? Atau Burukkah?...
Wallahu'alam...

Yang kumau... betapa aku ingin kepergianku dari dunia, semata-mata hanya karena ingin berjumpa dengan kekasihku: Rasulullah dan Dirimu Ya Allah...Tapi sudikah Engkau menemuiku nanti?!...