Tuesday 15 May 2012

MANG DAAN versus BRIPTU AHMAD


Sahabat,

Aku pernah bercerita tentang Mang Daan di blogku ini beberapa waktu lalu.  Sebagai review, Mang Daan adalah seorang tukang sol sepatu dan tukang gambar.  Beliau hidup pada masa kanak hingga remajaku.  Aku terinspirasi oleh keikhlasan beliau dalam menjalani hidup.  Dalam kesederhanaan dan keterbatasan hidup, Mang Daan masih bisa berbagi pada orang yang membutuhkan.  Terutama pada anak-anak sekolah yang meminta pertolongan atau bantuannya.  Mengesolkan sepatu, menjahitkan tas robek atau sekedar meminta digambarkan sebuah lukisan yang harus dikumpulkan sebagai tugas rumah.

Kalian tahu, apa yang mampu membuat kelopak mataku membasah jika teringatnya?  Mang Daan tak pernah mematok berapa besar uang jasa yang harus kami keluarkan untuk membayar tenaga beliau.  Dengan penuh senyum beliau menerima berapa pun uang yang kami beri.  Bahkan acapkali beliau mengGRATISkan biaya jasa mengesol sepatu atau menggambar saat kami tak punya uang untuk membayar.  Dengan suara halus dan tatap penuh kasih beliau mengatakan:"Sudahlah, tak usah membayar.  Kalau tak punya uang, tak mengapa.  Yang penting kamu bisa berangkat sekolah memakai sepatu, tidak dihukum guru..."

Subhanallah... air mataku menitik, tak dapat membendung haru yang menggunung, jika mengingat sosok sederhana itu kembali.  Berseragam lusuh, bersepatu butut, menyandang tas putus, berjalan menunduk, bukan karena rendah diri.  Sama sekali tidak.  Mang Daan adalah sosok ramah, penuh canda dan tawa, membuat kami (terutama anak-anak dan para remaja) merasa betah berada di dekatnya.  Beliau berjalan menunduk karena mata beliau yang hampir buta.  Namun keterbatasan ekonomi, membuat beliau terus bertahan mecari nafkah dengan apa yang beliau mampu, hingga ajal menjemput sepuluh tahun silam.

Sahabat,

Tentu kau bertanya, apa yang ingin kubagi pada sosok Mang Daan idolaku itu?  Begini...
Beberapa waktu lewat, aku mengalami sebuah pengalaman pahit.  Pengalaman ini sungguh bertolak belakang dengan kisah Mang Daan yang telah aku ceritakan.  Kisah ini tentang seorang polisi bernama Briptu Ahmad.  Seorang polisi lalu lintas yang senja ceria itu tengah bertugas menjaga lalu lintas di pertigaan pintu tol timur Bekasi.  Kawasan itu memang padat pada sore hari.  Sangat padat.  Bahkan sampai macet dan berderet kendaraan beriringan.  Kondisi itu melahirkan sebuah peraturan khusus bahwa di atas pukul 5 sore, angkutan umum serupa bis besar dan truk dilarang melintas di wilayah itu.

Cerita menjadi sebuah jalinan, karena hari itu sekolahku mengadakan acara outbond untuk siswa kelas 1 dan 2.  Dari jadwal kegiatan yang kami rancang, kami sudah bisa pastikan rombongan kami akan melintas di wilayah terlarang ini di atas pukul 5, karena jarak yang cukup jauh dan kemacetan yang terjadi sore itu di jalan tol.  Sebagai antisipasi, jauh-jauh hari kami sudah mempersiapkan segala kemungkinan untuk mengantisipasi masalah yang akan ditimbulkan.  Dari mulai membuat surat ijin ke pihak yang berwenang (polisi) bahkan sampai meminta tolong salah seorang bapak anggota kepolisian yang notabene orang tua murid sekolah kami, untuk mempermudah kami melintasi pintu tol yang tak jauh jaraknya dari lokasi sekolah kami.

Dengan dada berdebar, kami saling berkoordinasi antar PJ bus dan tentu saja aku sebagai bendahara kegiatan.  Loh kok... apa hubungannya dengan bendahara?  Ya untuk jaga-jaga kalau akhirnya "JALAN DAMAI" yang harus kami tempuh... (Sambil nyengir kuda saat menulis ini, prihatin rek...).  Akhirnya drama itu pun dimulai.  Seorang teman sudah mengontak orang tua murid yang polisi itu.  Beliau berjanji untuk mengontak temannya yang sore itu bertugas di lapangan.  Tiba di wilayah terlarang, dua orang guru turun dan mencoba berdialog untuk ijin menyeberang ke lokasi sekolah kami berada.  Sekali lagi, JUST CROSSING loh... karena sekolah kami ada di pinggir jalan tol.  Bayangkan!  Hanya menyeberang!

"Maaf Pak, kami dari SDIT baru pulang dari kegiatan outbond, bisa melintas sebentar ya Pak..." Begitu kira-kira temanku berdialog, didampingi seorang bu guru yang mendapat amanah dari polisi orang tua murid, siapa tahu pesan untuk mengijinkan melintas sudah disampaikan.
"Anda sudah tahu peraturannya, kok masih lewat sini juga!"  Tegur si Briptu Ahmad ini.
"Betul Pak, kami sudah tahu sih, tapi bagaimana lagi ya... kami memang harus melintasi jalan ini.  Kami membawa murid-murid SD kelas 1 dan 2 Pak, kasihan kan...bisa kami ijin?"  Memelas bu guru temanku memperkuat, siapa tahu Briptu Ahmad luluh dengan kecantikan dan kelembutan bu guru
"Maaf, tidak bisa!  Harusnya anda memberitahukan ke kantor"  Si Briptu tambah galak.
"Kami sudah ijin ke kantor kok Pak.  Oh ya... Bapak sudah dapat telepon dari Pak Riko?"
"Siapa itu Pak Riko?  Dari kesatuan mana?  Ngga... saya belum dapat telepon dari siapa pun..."
"Oh, Pak Riko kan polisi juga Pak, katanya teman Bapak.  Anaknya ada dalam bus rombongan ini..."
"Maaf saya tak kenal Pak Riko... "
Dua orang temanku saling memberi isyarat.  Akhirnya,
"Baiklah Pak, mohon terima ini... "  Temanku menyelipkan 2 lembar uang limapuluhribuan ke tangan polisi itu.
"Ya sudah.  Silahkan jalan."

Puih!  Cerita yang menyedihkan ya... Bagiku sungguh menohok hati dan jiwa.  Teramat.  Sangat.  Lebay dikit...  Tapi memang peristiwa itu membuatku termenung dan syok.  Bukan dari sisi nilai uang yang harus kami tukar dengan sebuah ijin sederhana.  Masalahnya begini sahabat...

Pertama, sebagai pengayom dan pelindung masyarakat, polisi seharusnya menjalankan tugasnya dengan hati nurani.  Sekolah adalah lembaga pendidikan.  Mencetak generasi penerus bangsa yang seharusnya didukung segala bentuk kegiatannya.  Bukan malah mengharap imbalan jasa, yang maaf, mirip sebuah pemalakan.

Kedua, jarak dari jalan tol menuju sekolah kami hanya 100 merter.  Sedangkan jarak dari tol menuju jalan kecil seoklahku hanya 50 meter.  Masa dipersulit juga?  Hanya menyeberang sebentar...

Ketiga, sungguh berbeda orientasi polisi sekarang dengan masa ayahku masih hidup.  Beliau tak pernah melakukan hal seperti itu.  Memalak para pengguna jalan.  Malah sebaliknya ayahku saat bertugas menjadi polisi sangat kooperatif.  Tak pernah mau diberi uang lelah.  Beliau selalu mengatakan, ini sudah tugas saya.  Saya sudah mendapat gaji dari negara.  Silahkan Bapak/ibu gunakan uang ini untuk keperluan yang lain.  Ah,  sungguh aku kecewa.  Aku malu...

Bukan hal yang "aneh" mendapati kasus-kasus serupa itu.  Banyak.  Tapi aku berharap, masih ada polisi-polisi lain berhati mulia dan menjalankan tugasnya dengan NURANI yang tulus.  Mengabdi dan melindungi masyarakat dari segala bentuk ketidakamanan.  Bukankah polisi juga manusia, punya orang tua, saudara, istri dan anak?  Andai mereka mengalami hal yang sama...

Sungguh, dua kisah yang bertolak belakang.  Antara Mang Daan tukang sol sepatu sederhana yang  peduli pada anak-anak.  Secara tidak langsung beliau telah berkontribusi pada dunia pendidikan.  Sementara Briptu Ahmad, seorang polisi yang dari sisi kedudukan dan martabat di masyarakat jauh lebih tinggi dan terhormat.  Namun tak menghiraukan bahkan "merecoki" dunia pendidikan dengan ketidakpedulian pada lembaga sekolah yang meminta perlindungan untuk memakai sedikit saja jalan... Bukan jalannya, jalan masyarakat!

Sebagai penutup, aku hanya berharap Briptu Ahmad ikut membaca tulisan ini.  Aku berharap, beliau belajar kepedulian pada Mang Daan yang tukang sol sepatu.  Jabatan dan pangkat mungkin berbeda di dunia.  Jabatan dan pangkat mungkin menjadikan seseorang lebih terhormat dibanding yang lain.  Namun Ingat Briptu Ahmad, semua itu tak ada artinya di mata Allah... 

No comments:

Post a Comment