Wednesday 21 November 2012

Untuk Para Suami...


Kau Ingin Tahu Jawabanku?
(Sepenggal episode tentang POLYGAMI)

      “Mengapa ayah ingin menikah lagi?  Tolong jawab, apa alasannya?”  Tanyaku dengan nada tersendat sesak di dada.
      “Uhm, apa ya… bingung juga kalau ditantang pertanyaan seperti ini...”
      “Tidak usah bingung.  Ibu bukan sedang menantang atau membuat quis berhadiah.  Cuma meminta kejujuran   Tapi tolong cari alasan yang paling tepat.  Kenapa jika pernikahan kita berjalan lancar dan tak ada masalah syar’i apa pun, muncul niatan untuk mencari wanita lain?”
      “Uhm…Ya… ingin menguji kesabaran ibu saja!” Jawab suamiku spontan setelah merenung beberapa jenak.
      Sret!  Serasa ada sebilah belati paling tajam yang menusuk dadaku.  Perih.  Menembus batas raga.  Tepat di jantung jiwa.  Bahkan kalau aku tak malu untuk menangis, rasanya saat itu juga air mataku tumpah berderai-derai.  Tapi eits… sabar!  Tahaaaan!  Baru mendengar ungkapan jujur suami bahwa ia ingin menikah lagi saja, kau sudah nangis bombai!  Lebay ah!
      Tapi memang agak keterlaluan juga sih jawaban itu.  Menguji kesabaran?  Oh, God!  Jika saja rentetan peristiwa dalam rumah tangga bisa dicatat oleh mesin pencatat kesabaran, entah sudah ratusan bahkan mungkin ribuan sabar yang telah digelar dalam rangka menghadapi setiap permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga kita.  Kau ingin tahu rinciannya?
      Detik pertama memasuki hari-hari pernikahan. Kau pastinya memahami, betapa aku harus banyak menata hati menjadi seorang istri dari laki-laki yang hanya 3 kali bertemu sebelum kita menikah hingga belum banyak yang aku tahu tentangmu, betapa aku banyak mengucap “oooh”, menyaksikan beberapa perbedaan perilaku kecil yang tak kusukai.  Hal-hal yang sederhana sebetulnya.  Namun andai tak bisa mulut ini bersabar untuk mengomentari setiap ketaknyamanan yang kurasa, tentu akan terjadi perdebatan walau ringan.  Mungkin, kau pun mengalami hal yang sama seperti apa yang aku alami. Hingga akhirnya, tindakan terbaik yang kuambil adalah menyimpan “oooh” itu cukup dalam sebuah lemari di sudut hatiku.
      Hari-hari berlalu. Detik mengeja menit, jam, hari, pekan, lalu bulan.  Memasuki bulan ke 5 pernikahan, betapa sensitifnya perasaanku saat mulai mengandung anak pertama kita.  Rasa mual, tak nyaman, selalu ingin diperhatikan dan dinomorsatukan, namun sering yang kudapati adalah ketak mahfumanmu akan hal ini.  Karena kau masih harus bekerja dan kuliah pada malam harinya.  Aku tak tega untuk menggugat atau menuntutmu agar kau lebih memperhatikanku.  Hingga kemudian, aku memutuskan untuk menyimpan kesedihan ini dalam tumpukan lemari kesabaranku.  Dan itu hampir selalu berulang pada kehamilan berikutnya.
      Pun saat anak-anak kita lahir dan tumbuh.  Banyak moment indah yang seharusnya kau lewati bersama kami.  Saat aku harus kecewa, karena kau lebih disibukkan dengan “dunia”mu.  Sementara anak-anak ingin kau memperhatikan dan memanjakan mereka.  Aku bisa rasakan itu dari tatapan dan perilaku mereka.  Karena ada bagian dari tubuh mereka yang berasal dariku, hingga rasa itu ikut membuatku perih.  Aku berharap kau pun bisa merasakan itu.  Sayang sekali, hanya sesekali kau penuhi harapan mereka tentang kehangatan.  Walau itu tak cukup, aku masih syukuri kasih sayang dan perhatian itu.  Selebihnya aku simpan kembali dalam lemari kesabaranku.  Karena ternyata di dunia luar sana masih banyak yang lebih menderita dibandingkan aku dan anak-anak.
      Belum lagi rentetan masalah yang datang mewarnai hari demi hari hingga usia pernikahan kita memasuki “sweet seventeen”.  Bukan usia yang muda untuk ukuran sebuah pernikahan.  Pertengkaran kecil maupun besar.  Andai bukan karena masih luasnya tempat untuk menyimpan kata sabar, tentu kita sudah tak bersama sedari dulu.  Namun kenapa, kau masih harus menguji kesabaran itu dengan sebuah keinginan yang mungkin akan sangat melukai perasaanku.  Yang mungkin akan bisa menghancurkan Kristal-kristal sabar yang selalu berusaha kujaga dengan segenap kemampuanku.  Karena kalaupun kau memaksaku untuk bisa menerima keinginanmu “yang satu itu” dengan alasan aku wanita yang sabar, aku tak akan pernah bisa menjawab dan mengerti perasaanku sendiri, mengapa setiap kau berbicara tentang wanita lain aku merasa sakit!  

 (Bekasi, 18 November 2012, kado kecil untuk suami dan ayah anak-anakku di hari 17 st anniversary pernikahan kami: untuk dijadikan sebuah renungan, bahwa menjaga pernikahan bukan hanya sebatas memelihara kesabaran, namun saling memahami dan empati pada perasaan masing-masing.  Untuk kemudian memandu langkah kita, mengawal takdir yang sudah ditetapkan Sang Pencipta kehidupan  dengan suka atau pun terpaksa :))