Kau Ingin Tahu Jawabanku?
(Sepenggal episode tentang POLYGAMI)
“Mengapa
ayah ingin menikah lagi? Tolong jawab, apa
alasannya?” Tanyaku dengan nada
tersendat sesak di dada.
“Uhm,
apa ya… bingung juga kalau ditantang pertanyaan seperti ini...”
“Tidak
usah bingung. Ibu bukan sedang menantang
atau membuat quis berhadiah. Cuma
meminta kejujuran Tapi tolong cari
alasan yang paling tepat. Kenapa jika
pernikahan kita berjalan lancar dan tak ada masalah syar’i apa pun, muncul
niatan untuk mencari wanita lain?”
“Uhm…Ya…
ingin menguji kesabaran ibu saja!” Jawab suamiku spontan setelah merenung beberapa
jenak.
Sret! Serasa ada sebilah belati paling tajam yang
menusuk dadaku. Perih. Menembus batas raga. Tepat di jantung jiwa. Bahkan kalau aku tak malu untuk menangis,
rasanya saat itu juga air mataku tumpah berderai-derai. Tapi eits… sabar! Tahaaaan!
Baru mendengar ungkapan jujur suami bahwa ia ingin menikah lagi saja,
kau sudah nangis bombai! Lebay ah!
Tapi
memang agak keterlaluan juga sih jawaban itu.
Menguji kesabaran? Oh, God! Jika saja rentetan peristiwa dalam rumah
tangga bisa dicatat oleh mesin pencatat kesabaran, entah sudah ratusan bahkan
mungkin ribuan sabar yang telah digelar dalam rangka menghadapi setiap
permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga kita. Kau ingin tahu rinciannya?
Detik
pertama memasuki hari-hari pernikahan. Kau pastinya memahami, betapa aku harus
banyak menata hati menjadi seorang istri dari laki-laki yang hanya 3 kali
bertemu sebelum kita menikah hingga belum banyak yang aku tahu tentangmu, betapa
aku banyak mengucap “oooh”, menyaksikan beberapa perbedaan perilaku kecil yang
tak kusukai. Hal-hal yang sederhana
sebetulnya. Namun andai tak bisa mulut
ini bersabar untuk mengomentari setiap ketaknyamanan yang kurasa, tentu akan
terjadi perdebatan walau ringan.
Mungkin, kau pun mengalami hal yang sama seperti apa yang aku alami. Hingga
akhirnya, tindakan terbaik yang kuambil adalah menyimpan “oooh” itu cukup dalam
sebuah lemari di sudut hatiku.
Hari-hari
berlalu. Detik mengeja menit, jam, hari, pekan, lalu bulan. Memasuki bulan ke 5 pernikahan, betapa
sensitifnya perasaanku saat mulai mengandung anak pertama kita. Rasa mual, tak nyaman, selalu ingin
diperhatikan dan dinomorsatukan, namun sering yang kudapati adalah ketak
mahfumanmu akan hal ini. Karena kau
masih harus bekerja dan kuliah pada malam harinya. Aku tak tega untuk menggugat atau menuntutmu agar
kau lebih memperhatikanku. Hingga
kemudian, aku memutuskan untuk menyimpan kesedihan ini dalam tumpukan lemari
kesabaranku. Dan itu hampir selalu
berulang pada kehamilan berikutnya.
Pun
saat anak-anak kita lahir dan tumbuh.
Banyak moment indah yang seharusnya kau lewati bersama kami. Saat aku harus kecewa, karena kau lebih
disibukkan dengan “dunia”mu. Sementara
anak-anak ingin kau memperhatikan dan memanjakan mereka. Aku bisa rasakan itu dari tatapan dan
perilaku mereka. Karena ada bagian dari
tubuh mereka yang berasal dariku, hingga rasa itu ikut membuatku perih. Aku berharap kau pun bisa merasakan itu. Sayang sekali, hanya sesekali kau penuhi
harapan mereka tentang kehangatan. Walau
itu tak cukup, aku masih syukuri kasih sayang dan perhatian itu. Selebihnya aku simpan kembali dalam lemari
kesabaranku. Karena ternyata di dunia
luar sana masih banyak yang lebih menderita dibandingkan aku dan anak-anak.
Belum
lagi rentetan masalah yang datang mewarnai hari demi hari hingga usia
pernikahan kita memasuki “sweet seventeen”.
Bukan usia yang muda untuk ukuran sebuah pernikahan. Pertengkaran kecil maupun besar. Andai bukan karena masih luasnya tempat untuk
menyimpan kata sabar, tentu kita sudah tak bersama sedari dulu. Namun kenapa, kau masih harus menguji
kesabaran itu dengan sebuah keinginan yang mungkin akan sangat melukai
perasaanku. Yang mungkin akan bisa
menghancurkan Kristal-kristal sabar yang selalu berusaha kujaga dengan segenap
kemampuanku. Karena kalaupun kau
memaksaku untuk bisa menerima keinginanmu “yang satu itu” dengan alasan aku
wanita yang sabar, aku tak akan pernah bisa menjawab dan mengerti perasaanku
sendiri, mengapa setiap kau berbicara tentang wanita lain aku merasa
sakit!
(Bekasi, 18 November 2012, kado kecil untuk
suami dan ayah anak-anakku di hari 17 st anniversary pernikahan kami: untuk dijadikan
sebuah renungan, bahwa menjaga pernikahan bukan hanya sebatas memelihara
kesabaran, namun saling memahami dan empati pada perasaan masing-masing. Untuk kemudian memandu langkah kita, mengawal
takdir yang sudah ditetapkan Sang Pencipta kehidupan dengan suka atau pun terpaksa :))