Sunday 13 May 2012

Sebuah kisah... tentang IBU


IBUKU BUKAN MALAIKAT
(Sebuah Cerpen : Titin Supriatin, S.P)
           
Aku benci hari ini!  Berkumpul di ruang yang penuh sesak dengan manusia.  Manusia-manusia yang menurutku sombong dan sok!  Manusia yang dibalut busana tertutup rapat dari ujung rambut hingga kaki.  Indah dan elok memang kelihatan dari luar, tapi aku bisa jamin 500%, hati mereka penuh kemunafikan dan kepura-puraan.  Lihat saja gadis berkerudung pink di barisan depanku, hampir sudah 10 kali kuhitung, selalu menoleh ke arahku dengan pandangan sinis dan curiga.  Trus, gadis bergamis bunga-bunga sakura di sebelahnya, ikut melirik ke arahku.  Lalu, sebagaimana kebiasaan para gadis, mereka berbisik seru sambil sesekali mencuri pandang ke arahku.  Hh…
Andai aku tahu acara macam apa yang aku ikuti ini, tentu akan  aku tolak ajakan Kak Melin.  Kak Melin, yang paling rajin menyambangi rumah singgah kami setiap hari Senin dan Kamis.  Dia begitu baik pada kami.  Padaku lebih-lebih lagi.  Dia mengajarkan kami  membaca dan berhitung.  Kadang membawakan kami begitu banyak buah tangan.  Ada makanan dan minuman, kadang sepatu, alat tulis dan pernah juga baju-baju baru maupun bekas.  Baju bekas yang masih sangat teramat bagus menurutku.  Bagaimana aku bisa menolak ajakan orang sebaik kak Melin?  Apalagi kalimat ajakan Kak Melin begitu halus dan penuh kasih sayang.  Sudah jarang dan semakin langka orang seperti Kak Melin.  Orang baik seperti Kak Melin mungkin jelmaan malaikat dari langit.
Udara di dalam ruangan ini semakin panas saja rasanya .  Padahal aku melihat di setiap sudutnya terpasang AC yang sedari tadi kuperhatikan membuka dan menutup terus sayap-sayapnya, menandakan AC itu berfungsi dengan baik.  Ah, mungkin karena aku tak terbiasa dengan suasana seperti ini saja.  Berkumpul bersama orang-orang kaya.  Cantik dan keren-keren.  Pakaian dan kerudung mereka bagus dan lucu, berwarna cerah dan serasi dengan asesoris yang melengkapi penampilan.  Sedang aku?  Kaos bekas pemberian Kak Melin, bermerk Silk.  Berwarna ungu tua, warna kesukaanku.  Dipadu kerudung warna putih dan celana panjang jin yang sudah pudar warnanya.  Celana dan baju terbaik yang  pernah aku punya.  Tak pernah aku pakai untuk acara lain.  Tapi berada di antara mereka, gadis-gadis cantik yang sombong itu?  Aku merasa jadi wanita terjelek dan termerana di dunia!
Sebetulnya, banyak orang mengatakan aku ini cantik.  Kulitku bersih.  Sepasang mataku bulat memanjang, tajam dan oriental.  Rambutku panjang sepinggang, dengan ujung ikal mayang, bergoyang indah saat angin menghembusnya.  Tapi aku kadang tak percaya omongan mereka.  Karena menurut  ibuku, aku anak yang jelek dan nakal.  Ibu sering mengatakan itu padaku.  Apalagi kalau aku tak membawa uang banyak sepulang mengamen atau berjualan Koran.  Atau kalau aku salah melipat baju para langganan cuci gosok ibuku.  Dengan wajah bengis dan kata-kata pedas beliau tak segan mencubit pahaku yang terduduk patuh di sampingnya.  Bahkan terakhir,  aku pernah tak diberinya makan, karena lalai menjaga adik bungsuku yang sakit.  Memang sih kesalahanku meninggalkan adik sendirian di atas tikar tipis tempat tidurnya.  Padahal badannya sedang demam saat itu.  Aku tergoda mengejar layangan yang kulihat melintas di depan rumah petakku.  Alhasil, pas aku pulang, kulihat ibu tengah memeluk adik sambil menangis memanggil-manggil namanya.  Rupanya adik kejang.  Ibuku marah besar dan aku dihukumnya, begini katanya :
            “Dasar anak tak tahu diuntung!  Ibunya kerja banting tulang, kamu malah enak-enakan main!  Lihat adikmu, sampai kejang begini!  Kamu tega ya… kamu tega!”  Tangan berkuku tajam miliknya menghujam pahaku, yang cuma terbungkus celana pendek, dengan ganasnya.  Aku hanya bisa meringis kesakitan.  Aku tak bisa mengeluarkan suara.  Pasti ibuku akan lebih ganas lagi mencubit andai aku terisak.  Tapi sungguh, perih dan sakit sekali rasanya cubitan itu.  Air mataku tak tahan untuk tidak menetes.  Jatuh bercucuran di antara jemari ibu dan darah dari paha yang tertancap kukunya.
            “Hh… sudah, sana!  Kalau tak bisa jaga adik, pergi sana cari uang yang banyak!  Jangan pulang sampai kamu dapat uang buat beli beras dan obat adikmu.  Kamu harus bertanggung jawab!”  Ibu melepas cengkeraman tangannya, lalu menendang tubuhku menjauh.
Tanpa berkata-kata lagi aku berlari ke luar.  Berlari dan terus berlari.  Berlari menerobos kerumunan anak-anak kecil yang sedang main gundu di gang rumahku yang sempit.  Menerobos barisan ibu-ibu majlis ta’lim yang hendak pergi ke masjid di seberang jalan raya.  Menerobos tatapan heran orang-orang yang sedang berkerumun di warung Bu Haji.  Aku tak peduli!  Lagi pula siapa yang mau peduli padaku, si gadis jelek dan nakal ini?  Siapa?  Ibuku saja, perempuan yang seharusnya menyayangi dan melindungi dengan segenap jiwa raganya malah menendang dan mengusirku pergi?  Lalu aku akan memohon perlindungan pada siapa?
 Pada ayah?  Hhhhh… Apalagi dia!  Sudah 10 tahun aku tak pernah melihat batang hidungnya lagi.  Dia pergi meninggalkan rumah. Di hari pertama seharusnya aku masuk sekolah dasar. Gembira memakai seragam merah putih dan menggendong tas baruku.  Saat itu aku melihat juga kegembiraan dan kebahagiaan ibuku. Kegembiraan terakhir yang pernah aku lihat dari raut wajahnya.  Karena hari itu, bersamaan dengan melangkahnya kakiku dalam gandengan tangan ibu menuju sekolah, seorang perempuan cantik yang perutnya terlihat buncit, mendatangi dan membawa ayah pergi. 
Sejak hari itu, dunia kami meredup.  Seakan mendung hitam kelam melingkupi keluarga kecil kami.  Ayah tak pernah lagi kembali.  Ibu yang biasanya mengurus dan merawat kami dengan riang, berubah menjelma menjadi sesosok hantu yang siap menerkam anaknya sendiri.  Caci, maki, hinaan dan amarah, seakan tak henti ditujukannya padaku.  Kepergian ayah dengan cara seperti itu tidak  hanya telah menghancurkan ibu, tapi juga telah merampas dan menghancurkan indahnya dunia masa kanakku.  Duhai  langit… duhai bumi… tolong jawab aku!  Pada siapa aku harus berlindung?  Aku tak tahan lagi…
Aku terus berlari, sampai batas jembatan layang itu aku tak kuat lagi untuk berlari.  Nafasku terengah dengan detak jantung yang sudah di luar batas normal kukira.  Rasa lelah, kesal, amarah dan kecewa bercampur aduk tak karuan.  Bergumul seru di dada.  Ada sesuatu yang ingin meledak rasanya.  Aghhhr…..! 
Aku benci hidupku.  Aku benci ayah yang tidak mau bertanggung jawab!  Di mana kau ayah, kalau kau memang masih ada di dunia ini?!  Kenapa kau biarkan kami melarat seperti ini.  Hingga aku jadi korban?  Tak pernah kurasakan memakai seragam sekolah atau pergi mengaji di sore hari seperti teman-teman seusiaku?  Tak pernah aku berjalan-jalan atau piknik, seperti yang dilakukan teman-temanku.  Sampai sebesar ini, hidupku hanya susah-sulit  dan susah!  Membantu ibu mencuci dan menyetrika baju langganannya.  Mengamen juga kulakukan.  Bahkan aku masih harus menjadi loper Koran dan menjualnya di perempatan lampu merah.  Aku malu!  Aku malu!  Apalagi ibu sering menghukum dan memukulku.  Rasanya aku sudah berlaku baik dan menurut padanya.  Ini tak adil… Aku benci ibu!!!
Aku memutuskan untuk tak pulang sama sekali.  Biar saja!  Biar ibu bingung mencariku.  Aku benci ibu!  Aku sudah terbiasa hidup di jalan.  Aku bisa tidur di mana pun aku suka.  Aku sudah bisa cari uang sendiri.  Aku juga cukup banyak punya teman di jalanan. Biarlah langit menjadi atap rumahku dan bumi menjadi alas tidurku.  Aku tak peduli…
Mataku mengerjap basah.  Perih dari luka 5 tahun lalu menerbitkan air mataku kembali.  Gelap.  Oh, rupanya ruangan yang tadi terang benderang kini dimatikan lampunya.  Hanya sebuah cahaya terang di depan sana, lampunya menyorot lurus ke arah layar putih yang dipasang merapat ke dinding ruangan.   Apa lagi kini?  Aku bosan dengan ceramah yang tak kumengerti isinya.  Kata Kak Melin ini adalah acara training motivasi.  Ah, apa itu training atau motisapi… aku tidak mengerti .  Atau karena aku memang tak tertarik?  Kulihat teman-teman satu rumah singgahku yang ikut acara ini bisa duduk santai dan mengikuti dengan baik. 
Seorang bayi mungil muncul di layar putih itu.  Tersenyum menatap kami.  Suara music lembut mengiringi kalimat demi kalimat yang diucapkan sang penceramah tadi.  Mataku mulai terfokus penuh kini.  Kepolosan senyum bayi lucu itu seperti sebuah kekuatan yang mampu menyedot perhatianku  .
            “Suatu ketika, seorang bayi hendak dilahirkan ke dunia.  Menjelang diturunkan, dia bertanya kepada Tuhan : “Para malaikat di sini mengatakan bahwa Engkau akan mengirimku ke dunia.  Tetapi bagaimana cara aku  hidup di sana, aku begitu kecil dan lemah”  Kata Si Bayi.

Telingaku menegak.  Ada sesuatu yang menarik mata dan hatiku untuk menatap ke depan dan menyimak lebih jauh…
            “Tuhan menjawab,  “Aku telah memilih satu malaikat untukmu.  Ia akan menjaga dan mengasihimu.”  Lanjut sang penceramah itu.  “Tetapi di surga, apa yang aku lakukan hanyalah bernyanyi dan tertawa.  Ini cukup bagiku untuk bahagia…” Demikian kata si bayi
Aku semakin menajamkan pendengaranku.  Gambar di layar putih itu menyedot rasa ingin tahuku lebih dalam.
            “Tuhan pun menjawab:”Malaikatmu akan bernyanyi dan tersenyum untukmu setiap hari dan kamu akan merasakan kehangatan cintanya dan jadi lebih bahagia…”  Si Bayi pun bertanya kembali, ”Dan apa yang dapat aku lakukan saat aku ingin berbicara kepada-MU”  Sekali lagi Tuhan menjawab, ”Malaikatmu akan mengajarkan bagaimana cara kamu berdoa”.  Si bayi pun masih belum puas, ia bertanya lagi:”Saya mendengar bahwa di bumi banyak orang jahat.  Siapa yang akan melindungi saya?”  Dengan penuh kesabaran Tuhan pun menjawab, ”Malaikatmu akan melindungimu, dengan taruhan jiwanya sekali pun…”
Bayi itu.  Andai aku adalah bayi itu.  Aku bisa berdialog dengan Tuhan.   Tuhan… sudah lama aku tak menyebut nama itu lagi dengan segenap kesadaranku.  Walau Kak Melin dan teman-temannya mengajariku mengaji dan shalat, aku hanya sebatas mengikuti apa yang mereka suruh.  Tuhan, ah… aku tiba-tiba rindu nama Tuhan.  Aku ingin seperti bayi itu, berada dalam surga-NYA, tak ada sedih dan duka…
            Si bayi pun tetap belum puas dan melanjutkan pertanyaannya, “Tapi saya akan bersedih karena tidak melihat Engkau lagi.”  Dan Tuhan pun menjawab , “Malaikatmu akan menceritakan padamu bagaimana agar kamu bisa kembali pada-KU.  Walaupun sesungguhnya aku selalu ada sisimu.”
Malaikat?  Kak Melin pernah bercerita tentang malaikat yang diciptakan dari cahaya dan selalu taat pada Tuhan.  Pasti malaikat itu baik sekali… Ah, aku ingin memiliki seorang malaikat seperti janji Tuhan pada bayi itu…Aku semakin terlena dan terhanyut film di layar putih itu.  Apalagi ekspresi wajah sang penceramah dengan indahnya menuturkan gambaran film itu, dia terus bercerita… Aku semakin terpesona dan penasaran.  Malaikat itu… siapakah?
Seakan mengerti dan hendak menjawab pertanyaan yang tiba-tiba mengusik hatiku, sang penceramah itu kembali meneruskan uraiannya…
            “Saat itu surga begitu tenangnya, sehingga suara dari bumi dapat terdengar dan sang anak dengan suara lirih bertanya, “Tuhanku, jika saya harus pergi sekarang.  Bisakah Engkau memberitahuku, siapa nama malaikat di rumahku nanti? Tuhan pun menjawab : “Kamu dapat memanggil malaikatmu, ibu…”
Ibu?  I-b-u?!  Mataku terpaku lurus ke depan.  Kata itu sungguh mengguncang perasaanku.  Bagai sebuah tombak besar menusuk dadaku secara tiba-tiba.  Sesak.  I-b-u?  Kueja ulang untuk yang ketiga kalinya kata itu.  Jadi malaikat para bayi yang turun ke bumi itu bernama ibu?  Bukankah dulu aku juga bayi yang diturunkan Tuhan ke bumi.  Tak salahkah yang kudengar?  Kalau begitu, bagaimana dengan malaikat yang Tuhan berikan untuk aku?  Ibu kah itu? 
Sungguh berbeda dengan janji Tuhan!  Tuhan bilang, malaikat bernama ibu itu akan menjaga dan mengasihiku.  Tapi ibuku tidak seperti itu.  Aku malah dijadikan sapi perah untuk mencari nafkah bagi keluarga.  Kata Tuhan, malaikat bernama ibu itu akan selalu bernyanyi dan tersenyum untukku, tapi nyatanya?  Omelan, cacian dan amarah adalah nyanyian yang selalu terdengar di telingaku.  Tak ada kalimat lembut atau senyum yang meneduhkan hati saat aku berada di dekatnya.
Kata Tuhan juga, malaikat bernama ibu itu akan mengajarkan bagaimana cara berdoa.  Ibuku?  Tak pernah kudengar ajaran apa pun darinya.  Kecuali cara mencuci, menyetrika atau melipat  baju yang benar.  Tuhan pun berkata, malaikat bernama ibu itu akan melindungi dan menjagaku walau dengan taruhan jiwanya sekalipun.  Tapi ibuku?  Memukulku, mencubit, menendang bahkan mengusirku pergi.  Mengusirku…. Tuhan, ibuku mengusirku… Apakah itu malaikat yang Kau turunkan untukku?
Demi apa pun di dunia ini!  Sungguh ini sebuah ketidakadilan yang nyata!  Aku benci… aku benci… Aku bangkit dan melangkah pergi.  Aku muak mendengar kanan kiriku terdengar suara tangis.  Menyebut lirih kata-kata ibu dengan suara memelas dan penuh haru.  “Ibu… ibu, maafkan aku.” 
Tuhan pasti tidak salah menciptakan malaikat! 100 %  Ini pasti kesalahan ibuku!  Aku harus menuntut balas darinya.  5 tahun hidup dalam penindasan dan kesengsaraan.  5 Tahun berikutnya sengaja membiarkan anak sendiri terlantar dan terlunta-lunta.  Walaupun itu adalah pilihan hidupku sendiri.  Tapi tak pernah kudengar kabar atau kulihat ibu mencari di mana keberadaanku.  Padahal aku sangat ingin dirindukan dan diminta untuk pulang…
Rasa marah dan kecewa memacu langkahku semakin menjauh dari ruang acara.  Suara sedu-sedan tangis ratusan remaja putri itu semakin menyayat bak koor requiemnya Mozart.  Jujur, air mataku pun ikut menderas membasahi pipi. Sakit dan perih.  Ibuku bukan malaikat!  Aku begitu benci padanya!  Tapi hari ini,  tiba-tiba aku merindukannya…
Rumah petak itu semakin kusam.  Kumuh dan tak terawat.   Bertahun lewat tak pernah kusentuh lagi lantai dan kusen jendelanya.  Dulu, hampir setiap hari, aku selalu membersihkan dan mengelapnya.  Walau bukan rumah sendiri, ibu sangat apik menjaga dan merawatnya, lewat tanganku. Ada debu setitik saja, mulut ibu sudah berkicau menyuruhku membersihkannya,
            “Walaupun ini rumah kontrakan, kita harus tetap menjaga kebersihan dan kerapihannya.  Biar pemilik rumah merasa senang dan tidak marah kalau uang sewa terlambat kita bayar.”  Begitu katanya selalu.
Ah, sering sekali alasan itu yang kudengar.  Uang sewa rumah.  Pemilik rumah yang galak.  Bahkan sempat beberapa kali kami terancam diusir dari sana.  Untunglah di ujung-ujung waktu jatuh tempo kami bisa melunasinya.  Hh… masih terpeta dengan jelas, bagaimana aku berjibaku ikut mencari uang untuk membayar sewa rumah petak itu.  Bergantian terbayang juga, wajah gusar dan marah ibu menjemputku di pintu rumah untuk mengetahui apa aku membawa uang banyak untuk membayar sewa rumah.  Caci makinya saat tahu aku tak membawa uang itu masih rapi tersimpan di sini, di hatiku.  Perihnya masih terasa jelas.  Ah, ibu… Aku datang, untuk menuntutmu.  Atas hak-hak yang selama ini kau abaikan.  Sedikitnya aku ingin MARAH!
            “Cari siapa Mbak?”  Seorang anak laki-laki berdiri mematung di depan pintu.  Menatapku tak berkedip.  Tubuhnya tinggi kurus tak terurus.  Garis wajahnya.   Ah, aku masih kenal betul anak laki-laki ini.  Yanto.  Adik bungsuku!
            “Yan… ini Mbak!  Kamu sudah lupa?”  Ragu aku mendekat.  Adikku sudah setinggi ini.  Terakhir saat aku kabur dari rumah, dia sedang tergeletak tak berdaya di tikar tipis itu.  Ah!  Andai saat itu aku tak mengejar layangan… pasti tak akan terjadi semua ini!
            “Mbak Yanti?” adikku tampak terkejut.
“Ibu di mana?” tanyaku bergetar.  Rindu dan sisa-sisa amarah yang masih menggunung.
“Ibu ada di dalam mbak.”  Ragu Yanto mengajakku masuk, sesekali ekor matanya melirikku tak yakin.  “Bu… Mbak Yanti pulang.”  Tak ada nada girang atau rindu seperti yang kubayangkan.  Ah, pastilah begitu.  Aku gadis nakal yang tak bertanggung jawab.  Lari dari rumah tanpa memikirkan A, B, C, dan Z nya akibat dari semua itu.  Lihat saja rumah ini, kumuh tak terurus.  Sempit dan pengab.  Beberapa barang tergeletak tak beraturan bukan pada tempatnya.  Ibu, mana?
Tuk tok tuk tok.  Suara tongkat mengetuk lantai rumah.  Pintu kamar terkuak perlahan.  Bunyi deritnya  mengejutkanku.  Namun sosok yang berjalan tertatih keluar dari kamar itu lebih membuatku terkejut.  Perempuan tua, hampir separuh rambutnya kini memutih.  Keriput di wajahnya lebih cepat tiba dari waktu yang seharusnya.  Langkah kaki yang lima tahun lalu masih tegak dan kokoh, kini harus dibantu tongkat penyanggah.  Ibu…
Tak ada yang berani mulai bersuara.  Hening.  Hanya tatap mata kami beradu dalam rasa yang bercampur tak karuan.  Sudah lebih dari seribu  hari aku tak bertemu ibu.  Wanita yang pernah mengandung dan melindungi aku selama 9 bulan dalam rahimnya.  Membawaku kemana beliau pergi selama itu.  Mengelus, mencium, dan mendekapku dalam kasihnya yang nyata.  Tak pernah sekalipun membentak atau memukulku.  Pujian dan rasa bangganya memilikiku kadang masih terngiang.  Namun badai itu telah begitu teganya merenggut semua hak yang seharusnya aku miliki.
“Ibu… kenapa ibu tak pernah mencariku?”Tersendat suaraku diantara isak yang tak dapat aku tahan.  “Terlalu burukkah aku untukmu?”
Tak ada jawab dari bibir keriput itu.  Namun, aku tahu, ada rindu dari sorot matanya yang memudar.  Perlahan dan tertatih ibu berjalan mendekatku.  Ada butiran air mata mengalir dari pipinya.  Tuhan, aku tak tega.  Sumpah serapah dan segudang kalimat cacian yang ingin aku hamburkan pada ibu mendadak menguap entah ke mana.  Namun aku masih bertahan, tegak berdiri di tempat.  Amarah dan egoku mencegah untuk berlari dan berlutut di kakinya.
“Maafkan ibu, nak…”  Pelan separuh berbisik, kalimat yang aku nantikan ribuan hari yang lalu akhirnya meluncur juga dari bibir yang dulu pernah mencium kening dan pipiku penuh sayang. 
Pertahananku runtuh.  Ego dan amarahku luruh.  Tubuhku ambruk di atas lantai.  Bersamaan dengan sebuah ketukan keras di pintu.
“Dug-dug-dug!  Bu Yanto, buka pintunya!  Jangan ngumpet lagi!  Buka!”  Suara garang dari balik pintu membuat detak jantungku serasa berhenti.  Suara itu dulu sering aku dengar.  Penagih uang kontrak rumah!
“Bu… Tuan Hendra!”  Adikku merapat tubuh ibu.  Pucat merona di wajah kumalnya.  Sepucat wajah ibu yang kemudian terdiam mematung.  Ketegangan jelas tergambar di wajahnya.
“Brak!”  Pintu yang memang tidak terkunci itu ditendang dari luar.  Sesosok tubuh gempal pendek diiringi dua algojo kiri kanan berdiri kokoh di depan pintu.  Wajah ketiga orang itu sungguh menyeramkan. 
“He!  Sudah 5 bulan kamu tidak bisa membayar uang kontrakan ini.  Tidak ada kata maaf lagi!  Kalian harus pergi dari sini.  Sudah berderet  orang yang antri akan mengontrak rumah ini.  Tahu?!”
“Maaf Tuan.  Tolonglah beri saya kesempatan lagi.  Tuan tahu saya sudah tidak bisa bekerja lagi beberapa bulan ini.  Jadi tolong kasihani kami…”
“Halaaah… kasihani kasihani!  Sudah cukup sabar aku mengasihanimu.  Aku bukan dewa penolongmu, heh!”
“Tuan… Jangan, jangan usir ibu dan adik saya.  Beri saya kesempatan untuk mencari uang.”  Sigap aku berdiri dan membungkuk takjim memohon kebaikan Tuan Hendra.  Aku tak ingin ibu dan adikku yang bertahun kutinggalkan jadi gelandangan.  Tak enak rasanya tidur di sembarang tempat.  Kehujanan, kepanasan.
“Heh… siapa kamu?  Emang kamu punya uang apa?”  Tuan Hendra  melunak.  Matanya tiba-tiba menatapku nakal.  “Atau, hem… kamu, boleh juga ya!” 
Pengawal Tuan Hendra terkekeh.  “Wah, benar Gan.  Ambil saja.  Di luaran sudah mahal.  Hutang lima bulan lunas!!  Hihihi…”
Tuan Hendra mendekat tempatku berdiri.  Berjalan memutariku.  Matanya jelalatan mengamati hampir setiap bagian tubuhku.  Ketakutan seketika menyergapku.  Kutatap mata ibu galau.
“Jangan tuan… anak saya baru datang.  Sudah 5 tahun dia tak pulang.  Tolong jangan diganggu.  Jangan diapa-apakan…Tolong tuan.”  Tertatih ibu menghampiriku.  Naluri keibuannya menangkap sinyal tanda bahaya yang mengancam putrinya.  Sungguh, aku melihat wajah ibuku begitu ketakutan.  Terpaku aku pada sorot matanya.  Mata yang dulu teramat melindungiku kini telah kembali. 
“Halah… jangan-jangan apa!  Diam ibu peot.  Harusnya kamu bangga punya anak gadis ayu tenan.  Manfaatkan.  Biar hutang-hutangmu lunas.”  Tangan tuan Hendra menepis tubuh ibuku kasar.  Membuatnya  limbung dan jatuh terjerembab di lantai.  “Din, Sro… bawa si ayu.  Cepat!”  Perintah tuan Hendra pada jongos-jongosnya. 
Secepat itu pula dua laki-laki kekar itu memegangiku kiri kanan.  Tanpa ba bi bu lagi menggiringku keluar pintu.  Separuh memaksa.
Aku meronta.  Ibu menjerit tercekat memanggil namaku.  Adikku hanya bisa menangis di sudut  tembok ruang tengah. 
“Ibu… Ibu, tolong aku… Aku tak mau Bu.  Aku takut.”  Aku berusaha melepaskan diri dengan sekuat tenaga.
“Jangan… jangan  bawa anak saya Tuan.  Tolonglah!”  Merangkak Ibu mengejar.  Dengan sekuat tenaga yang dimiliki.  Aku mencoba untuk menahan kakiku sekuat mungkin.  Namun tangan kekar kedua algojo tuan Hendra semakin mengencangkan cekalan tangan mereka.  Hingga dalam keputusasaan, kuteriakkan nama Tuhan, “Ya Allah… tolonglah!  Aku datang ke sini untuk meminta maaf pada Ibu, untuk memohon ampun atas kelakuanku selama ini.  Kenapa jadi begini nasibku… Tolong Tuhan!”
Lunglai tubuh pada akhirnya.  Pasrah pada ketentuan takdirNYA.  Hingga entah kekuatan dari mana, ibu mampu mengejar.  Dengan panic dan penuh amarah diserangnya tuan Hendra.  Jeritan tertahan melengking membahana bumi.  Sebuah pisau menancap tepat di dadanya.  Darah tak urung mengalir merah segar dari sana.  Membuat cekalan di kedua tanganku melonggar.  Aku terpana dan terpaku dalam ketakjuban.  Ibu….  Dalam detik terakhir keputusasaanku beliau menjelma menjadi dewa penolongnku!
Wahai penduduk langit dan bumi, saksikan!  Ibuku memang bukan malaikat.  Tapi hari ini Beliau membayar lunas hakku:   Mengorbankan jiwa dan raganya, untuk aku, anaknya….@

Bekasi, 25 April 2012


No comments:

Post a Comment