IBUKU BUKAN MALAIKAT
(Sebuah Cerpen : Titin Supriatin, S.P)
Aku benci hari ini!
Berkumpul di ruang yang penuh sesak dengan manusia. Manusia-manusia yang menurutku sombong dan
sok! Manusia yang dibalut busana
tertutup rapat dari ujung rambut hingga kaki.
Indah dan elok memang kelihatan dari luar, tapi aku bisa jamin 500%,
hati mereka penuh kemunafikan dan kepura-puraan. Lihat saja gadis berkerudung pink di barisan
depanku, hampir sudah 10 kali kuhitung, selalu menoleh ke arahku dengan
pandangan sinis dan curiga. Trus, gadis
bergamis bunga-bunga sakura di sebelahnya, ikut melirik ke arahku. Lalu, sebagaimana kebiasaan para gadis,
mereka berbisik seru sambil sesekali mencuri pandang ke arahku. Hh…
Andai aku tahu acara macam apa yang aku ikuti ini, tentu
akan aku tolak ajakan Kak Melin. Kak Melin, yang paling rajin menyambangi
rumah singgah kami setiap hari Senin dan Kamis.
Dia begitu baik pada kami. Padaku
lebih-lebih lagi. Dia mengajarkan
kami membaca dan berhitung. Kadang membawakan kami begitu banyak buah
tangan. Ada makanan dan minuman, kadang
sepatu, alat tulis dan pernah juga baju-baju baru maupun bekas. Baju bekas yang masih sangat teramat bagus
menurutku. Bagaimana aku bisa menolak
ajakan orang sebaik kak Melin? Apalagi
kalimat ajakan Kak Melin begitu halus dan penuh kasih sayang. Sudah jarang dan semakin langka orang seperti
Kak Melin. Orang baik seperti Kak Melin
mungkin jelmaan malaikat dari langit.
Udara di dalam ruangan ini semakin panas saja rasanya
. Padahal aku melihat di setiap sudutnya
terpasang AC yang sedari tadi kuperhatikan membuka dan menutup terus
sayap-sayapnya, menandakan AC itu berfungsi dengan baik. Ah, mungkin karena aku tak terbiasa dengan
suasana seperti ini saja. Berkumpul
bersama orang-orang kaya. Cantik dan
keren-keren. Pakaian dan kerudung mereka
bagus dan lucu, berwarna cerah dan serasi dengan asesoris yang melengkapi
penampilan. Sedang aku? Kaos bekas pemberian Kak Melin, bermerk
Silk. Berwarna ungu tua, warna
kesukaanku. Dipadu kerudung warna putih
dan celana panjang jin yang sudah pudar warnanya. Celana dan baju terbaik yang pernah aku punya. Tak pernah aku pakai untuk acara lain. Tapi berada di antara mereka, gadis-gadis
cantik yang sombong itu? Aku merasa jadi
wanita terjelek dan termerana di dunia!
Sebetulnya, banyak orang mengatakan aku ini
cantik. Kulitku bersih. Sepasang mataku bulat memanjang, tajam dan
oriental. Rambutku panjang sepinggang,
dengan ujung ikal mayang, bergoyang indah saat angin menghembusnya. Tapi aku kadang tak percaya omongan mereka. Karena menurut ibuku, aku anak yang jelek dan nakal. Ibu sering mengatakan itu padaku. Apalagi kalau aku tak membawa uang banyak
sepulang mengamen atau berjualan Koran.
Atau kalau aku salah melipat baju para langganan cuci gosok ibuku. Dengan wajah bengis dan kata-kata pedas
beliau tak segan mencubit pahaku yang terduduk patuh di sampingnya. Bahkan terakhir, aku pernah tak diberinya makan, karena lalai
menjaga adik bungsuku yang sakit. Memang
sih kesalahanku meninggalkan adik sendirian di atas tikar tipis tempat
tidurnya. Padahal badannya sedang demam
saat itu. Aku tergoda mengejar layangan
yang kulihat melintas di depan rumah petakku.
Alhasil, pas aku pulang, kulihat ibu tengah memeluk adik sambil menangis
memanggil-manggil namanya. Rupanya adik
kejang. Ibuku marah besar dan aku
dihukumnya, begini katanya :
“Dasar
anak tak tahu diuntung! Ibunya kerja
banting tulang, kamu malah enak-enakan main!
Lihat adikmu, sampai kejang begini!
Kamu tega ya… kamu tega!” Tangan
berkuku tajam miliknya menghujam pahaku, yang cuma terbungkus celana pendek,
dengan ganasnya. Aku hanya bisa meringis
kesakitan. Aku tak bisa mengeluarkan
suara. Pasti ibuku akan lebih ganas lagi
mencubit andai aku terisak. Tapi
sungguh, perih dan sakit sekali rasanya cubitan itu. Air mataku tak tahan untuk tidak
menetes. Jatuh bercucuran di antara
jemari ibu dan darah dari paha yang tertancap kukunya.
“Hh…
sudah, sana! Kalau tak bisa jaga adik,
pergi sana cari uang yang banyak! Jangan
pulang sampai kamu dapat uang buat beli beras dan obat adikmu. Kamu harus bertanggung jawab!” Ibu melepas cengkeraman tangannya, lalu
menendang tubuhku menjauh.
Tanpa berkata-kata lagi aku berlari ke luar. Berlari dan terus berlari. Berlari menerobos kerumunan anak-anak kecil
yang sedang main gundu di gang rumahku yang sempit. Menerobos barisan ibu-ibu majlis ta’lim yang hendak
pergi ke masjid di seberang jalan raya.
Menerobos tatapan heran orang-orang yang sedang berkerumun di warung Bu
Haji. Aku tak peduli! Lagi pula siapa yang mau peduli padaku, si
gadis jelek dan nakal ini? Siapa? Ibuku saja, perempuan yang seharusnya
menyayangi dan melindungi dengan segenap jiwa raganya malah menendang dan
mengusirku pergi? Lalu aku akan memohon
perlindungan pada siapa?
Pada
ayah? Hhhhh… Apalagi dia! Sudah 10 tahun aku tak pernah melihat batang
hidungnya lagi. Dia pergi meninggalkan
rumah. Di hari pertama seharusnya aku masuk sekolah dasar. Gembira memakai
seragam merah putih dan menggendong tas baruku.
Saat itu aku melihat juga kegembiraan dan kebahagiaan ibuku. Kegembiraan
terakhir yang pernah aku lihat dari raut wajahnya. Karena hari itu, bersamaan dengan
melangkahnya kakiku dalam gandengan tangan ibu menuju sekolah, seorang
perempuan cantik yang perutnya terlihat buncit, mendatangi dan membawa ayah
pergi.
Sejak hari itu, dunia kami meredup. Seakan mendung hitam kelam melingkupi
keluarga kecil kami. Ayah tak pernah
lagi kembali. Ibu yang biasanya mengurus
dan merawat kami dengan riang, berubah menjelma menjadi sesosok hantu yang siap
menerkam anaknya sendiri. Caci, maki,
hinaan dan amarah, seakan tak henti ditujukannya padaku. Kepergian ayah dengan cara seperti itu
tidak hanya telah menghancurkan ibu,
tapi juga telah merampas dan menghancurkan indahnya dunia masa kanakku. Duhai
langit… duhai bumi… tolong jawab aku!
Pada siapa aku harus berlindung?
Aku tak tahan lagi…
Aku terus berlari, sampai batas jembatan layang itu
aku tak kuat lagi untuk berlari. Nafasku
terengah dengan detak jantung yang sudah di luar batas normal kukira. Rasa lelah, kesal, amarah dan kecewa
bercampur aduk tak karuan. Bergumul seru
di dada. Ada sesuatu yang ingin meledak
rasanya. Aghhhr…..!
Aku benci hidupku.
Aku benci ayah yang tidak mau bertanggung jawab! Di mana kau ayah, kalau kau memang masih ada
di dunia ini?! Kenapa kau biarkan kami
melarat seperti ini. Hingga aku jadi
korban? Tak pernah kurasakan memakai
seragam sekolah atau pergi mengaji di sore hari seperti teman-teman
seusiaku? Tak pernah aku berjalan-jalan
atau piknik, seperti yang dilakukan teman-temanku. Sampai sebesar ini, hidupku hanya susah-sulit dan susah!
Membantu ibu mencuci dan menyetrika baju langganannya. Mengamen juga kulakukan. Bahkan aku masih harus menjadi loper Koran
dan menjualnya di perempatan lampu merah.
Aku malu! Aku malu! Apalagi ibu sering menghukum dan
memukulku. Rasanya aku sudah berlaku
baik dan menurut padanya. Ini tak adil…
Aku benci ibu!!!
Aku memutuskan untuk tak pulang sama sekali. Biar saja!
Biar ibu bingung mencariku. Aku
benci ibu! Aku sudah terbiasa hidup di
jalan. Aku bisa tidur di mana pun aku
suka. Aku sudah bisa cari uang
sendiri. Aku juga cukup banyak punya
teman di jalanan. Biarlah langit menjadi atap rumahku dan bumi menjadi alas
tidurku. Aku tak peduli…
Mataku mengerjap basah. Perih dari luka 5 tahun lalu menerbitkan air
mataku kembali. Gelap. Oh, rupanya ruangan yang tadi terang
benderang kini dimatikan lampunya. Hanya
sebuah cahaya terang di depan sana, lampunya menyorot lurus ke arah layar putih
yang dipasang merapat ke dinding ruangan.
Apa lagi kini? Aku bosan dengan
ceramah yang tak kumengerti isinya. Kata
Kak Melin ini adalah acara training motivasi.
Ah, apa itu training atau motisapi… aku tidak mengerti . Atau karena aku memang tak tertarik? Kulihat teman-teman satu rumah singgahku yang
ikut acara ini bisa duduk santai dan mengikuti dengan baik.
Seorang bayi mungil muncul di layar putih itu. Tersenyum menatap kami. Suara music lembut mengiringi kalimat demi
kalimat yang diucapkan sang penceramah tadi.
Mataku mulai terfokus penuh kini.
Kepolosan senyum bayi lucu itu seperti sebuah kekuatan yang mampu
menyedot perhatianku .
“Suatu
ketika, seorang bayi hendak dilahirkan ke dunia. Menjelang diturunkan, dia bertanya kepada Tuhan :
“Para malaikat di sini mengatakan bahwa Engkau akan mengirimku ke dunia. Tetapi bagaimana cara aku hidup di sana, aku begitu kecil dan
lemah” Kata Si Bayi.
Telingaku menegak.
Ada sesuatu yang menarik mata dan hatiku untuk menatap ke depan dan
menyimak lebih jauh…
“Tuhan
menjawab, “Aku telah memilih satu
malaikat untukmu. Ia akan menjaga dan
mengasihimu.” Lanjut sang penceramah
itu. “Tetapi
di surga, apa yang aku lakukan hanyalah bernyanyi dan tertawa. Ini cukup bagiku untuk bahagia…” Demikian
kata si bayi”
Aku semakin menajamkan pendengaranku. Gambar di layar putih itu menyedot rasa ingin
tahuku lebih dalam.
“Tuhan
pun menjawab:”Malaikatmu akan bernyanyi dan tersenyum untukmu setiap hari dan
kamu akan merasakan kehangatan cintanya dan jadi lebih bahagia…” Si
Bayi pun bertanya kembali, ”Dan apa yang dapat aku lakukan saat aku ingin
berbicara kepada-MU” Sekali lagi
Tuhan menjawab, ”Malaikatmu akan mengajarkan bagaimana cara kamu berdoa”. Si bayi
pun masih belum puas, ia bertanya lagi:”Saya mendengar bahwa di bumi banyak
orang jahat. Siapa yang akan melindungi
saya?” Dengan penuh kesabaran Tuhan
pun menjawab, ”Malaikatmu akan melindungimu, dengan taruhan jiwanya sekali
pun…”
Bayi itu.
Andai aku adalah bayi itu. Aku
bisa berdialog dengan Tuhan. Tuhan…
sudah lama aku tak menyebut nama itu lagi dengan segenap kesadaranku. Walau Kak Melin dan teman-temannya
mengajariku mengaji dan shalat, aku hanya sebatas mengikuti apa yang mereka
suruh. Tuhan, ah… aku tiba-tiba rindu
nama Tuhan. Aku ingin seperti bayi itu,
berada dalam surga-NYA, tak ada sedih dan duka…
Si bayi pun tetap belum puas dan melanjutkan
pertanyaannya, “Tapi saya akan bersedih karena tidak melihat Engkau lagi.” Dan Tuhan pun menjawab , “Malaikatmu akan
menceritakan padamu bagaimana agar kamu bisa kembali pada-KU. Walaupun sesungguhnya aku selalu ada sisimu.”
Malaikat? Kak
Melin pernah bercerita tentang malaikat yang diciptakan dari cahaya dan selalu
taat pada Tuhan. Pasti malaikat itu baik
sekali… Ah, aku ingin memiliki seorang malaikat seperti janji Tuhan pada bayi
itu…Aku semakin terlena dan terhanyut film di layar putih itu. Apalagi ekspresi wajah sang penceramah dengan
indahnya menuturkan gambaran film itu, dia terus bercerita… Aku semakin
terpesona dan penasaran. Malaikat itu…
siapakah?
Seakan mengerti dan hendak menjawab pertanyaan yang
tiba-tiba mengusik hatiku, sang penceramah itu kembali meneruskan uraiannya…
“Saat
itu surga begitu tenangnya, sehingga suara dari bumi dapat terdengar dan sang
anak dengan suara lirih bertanya,
“Tuhanku, jika saya harus pergi sekarang.
Bisakah Engkau memberitahuku, siapa nama malaikat di rumahku nanti?”
Tuhan pun menjawab : “Kamu dapat
memanggil malaikatmu, ibu…”
Ibu? I-b-u?! Mataku terpaku lurus ke depan. Kata itu sungguh mengguncang perasaanku. Bagai sebuah tombak besar menusuk dadaku
secara tiba-tiba. Sesak. I-b-u?
Kueja ulang untuk yang ketiga kalinya kata itu. Jadi malaikat para bayi yang turun ke bumi
itu bernama ibu? Bukankah dulu aku juga
bayi yang diturunkan Tuhan ke bumi. Tak
salahkah yang kudengar? Kalau begitu,
bagaimana dengan malaikat yang Tuhan berikan untuk aku? Ibu kah itu?
Sungguh berbeda dengan janji Tuhan! Tuhan bilang, malaikat bernama ibu itu akan
menjaga dan mengasihiku. Tapi ibuku
tidak seperti itu. Aku malah dijadikan
sapi perah untuk mencari nafkah bagi keluarga.
Kata Tuhan, malaikat bernama ibu itu akan selalu bernyanyi dan tersenyum
untukku, tapi nyatanya? Omelan, cacian
dan amarah adalah nyanyian yang selalu terdengar di telingaku. Tak ada kalimat lembut atau senyum yang
meneduhkan hati saat aku berada di dekatnya.
Kata Tuhan juga, malaikat bernama ibu itu akan
mengajarkan bagaimana cara berdoa.
Ibuku? Tak pernah kudengar ajaran
apa pun darinya. Kecuali cara mencuci,
menyetrika atau melipat baju yang
benar. Tuhan pun berkata, malaikat
bernama ibu itu akan melindungi dan menjagaku walau dengan taruhan jiwanya
sekalipun. Tapi ibuku? Memukulku, mencubit, menendang bahkan mengusirku
pergi. Mengusirku…. Tuhan, ibuku
mengusirku… Apakah itu malaikat yang Kau turunkan untukku?
Demi apa pun di dunia ini! Sungguh ini sebuah ketidakadilan yang
nyata! Aku benci… aku benci… Aku bangkit
dan melangkah pergi. Aku muak mendengar
kanan kiriku terdengar suara tangis.
Menyebut lirih kata-kata ibu dengan suara memelas dan penuh haru. “Ibu… ibu, maafkan aku.”
Tuhan pasti tidak salah menciptakan malaikat! 100
% Ini pasti kesalahan ibuku! Aku harus menuntut balas darinya. 5 tahun hidup dalam penindasan dan
kesengsaraan. 5 Tahun berikutnya sengaja
membiarkan anak sendiri terlantar dan terlunta-lunta. Walaupun itu adalah pilihan hidupku
sendiri. Tapi tak pernah kudengar kabar
atau kulihat ibu mencari di mana keberadaanku.
Padahal aku sangat ingin dirindukan dan diminta untuk pulang…
Rasa marah dan kecewa memacu langkahku semakin
menjauh dari ruang acara. Suara
sedu-sedan tangis ratusan remaja putri itu semakin menyayat bak koor requiemnya
Mozart. Jujur, air mataku pun ikut
menderas membasahi pipi. Sakit dan perih.
Ibuku bukan malaikat! Aku begitu
benci padanya! Tapi hari ini, tiba-tiba aku merindukannya…
Rumah petak itu semakin kusam. Kumuh dan tak terawat. Bertahun lewat tak pernah kusentuh lagi
lantai dan kusen jendelanya. Dulu,
hampir setiap hari, aku selalu membersihkan dan mengelapnya. Walau bukan rumah sendiri, ibu sangat apik
menjaga dan merawatnya, lewat tanganku. Ada debu setitik saja, mulut ibu sudah
berkicau menyuruhku membersihkannya,
“Walaupun
ini rumah kontrakan, kita harus tetap menjaga kebersihan dan kerapihannya. Biar pemilik rumah merasa senang dan tidak
marah kalau uang sewa terlambat kita bayar.”
Begitu katanya selalu.
Ah, sering sekali alasan itu yang kudengar. Uang sewa rumah. Pemilik rumah yang galak. Bahkan sempat beberapa kali kami terancam
diusir dari sana. Untunglah di
ujung-ujung waktu jatuh tempo kami bisa melunasinya. Hh… masih terpeta dengan jelas, bagaimana aku
berjibaku ikut mencari uang untuk membayar sewa rumah petak itu. Bergantian terbayang juga, wajah gusar dan
marah ibu menjemputku di pintu rumah untuk mengetahui apa aku membawa uang
banyak untuk membayar sewa rumah. Caci
makinya saat tahu aku tak membawa uang itu masih rapi tersimpan di sini, di
hatiku. Perihnya masih terasa
jelas. Ah, ibu… Aku datang, untuk
menuntutmu. Atas hak-hak yang selama ini
kau abaikan. Sedikitnya aku ingin MARAH!
“Cari
siapa Mbak?” Seorang anak laki-laki
berdiri mematung di depan pintu.
Menatapku tak berkedip. Tubuhnya
tinggi kurus tak terurus. Garis
wajahnya. Ah, aku masih kenal betul
anak laki-laki ini. Yanto. Adik bungsuku!
“Yan…
ini Mbak! Kamu sudah lupa?” Ragu aku mendekat. Adikku sudah setinggi ini. Terakhir saat aku kabur dari rumah, dia
sedang tergeletak tak berdaya di tikar tipis itu. Ah!
Andai saat itu aku tak mengejar layangan… pasti tak akan terjadi semua
ini!
“Mbak
Yanti?” adikku tampak terkejut.
“Ibu di mana?” tanyaku
bergetar. Rindu dan sisa-sisa amarah
yang masih menggunung.
“Ibu ada di dalam
mbak.” Ragu Yanto mengajakku masuk,
sesekali ekor matanya melirikku tak yakin.
“Bu… Mbak Yanti pulang.” Tak ada
nada girang atau rindu seperti yang kubayangkan. Ah, pastilah begitu. Aku gadis nakal yang tak bertanggung
jawab. Lari dari rumah tanpa memikirkan
A, B, C, dan Z nya akibat dari semua itu.
Lihat saja rumah ini, kumuh tak terurus.
Sempit dan pengab. Beberapa
barang tergeletak tak beraturan bukan pada tempatnya. Ibu, mana?
Tuk tok tuk tok. Suara tongkat mengetuk lantai rumah. Pintu kamar terkuak perlahan. Bunyi deritnya mengejutkanku. Namun sosok yang berjalan tertatih keluar
dari kamar itu lebih membuatku terkejut.
Perempuan tua, hampir separuh rambutnya kini memutih. Keriput di wajahnya lebih cepat tiba dari
waktu yang seharusnya. Langkah kaki yang
lima tahun lalu masih tegak dan kokoh, kini harus dibantu tongkat
penyanggah. Ibu…
Tak ada yang berani mulai
bersuara. Hening. Hanya tatap mata kami beradu dalam rasa yang
bercampur tak karuan. Sudah lebih dari
seribu hari aku tak bertemu ibu. Wanita yang pernah mengandung dan melindungi
aku selama 9 bulan dalam rahimnya.
Membawaku kemana beliau pergi selama itu. Mengelus, mencium, dan mendekapku dalam
kasihnya yang nyata. Tak pernah
sekalipun membentak atau memukulku.
Pujian dan rasa bangganya memilikiku kadang masih terngiang. Namun badai itu telah begitu teganya
merenggut semua hak yang seharusnya aku miliki.
“Ibu… kenapa ibu tak
pernah mencariku?”Tersendat suaraku diantara isak yang tak dapat aku
tahan. “Terlalu burukkah aku untukmu?”
Tak ada jawab dari bibir
keriput itu. Namun, aku tahu, ada rindu
dari sorot matanya yang memudar. Perlahan
dan tertatih ibu berjalan mendekatku.
Ada butiran air mata mengalir dari pipinya. Tuhan, aku tak tega. Sumpah serapah dan segudang kalimat cacian
yang ingin aku hamburkan pada ibu mendadak menguap entah ke mana. Namun aku masih bertahan, tegak berdiri di
tempat. Amarah dan egoku mencegah untuk berlari
dan berlutut di kakinya.
“Maafkan ibu, nak…” Pelan separuh berbisik, kalimat yang aku
nantikan ribuan hari yang lalu akhirnya meluncur juga dari bibir yang dulu
pernah mencium kening dan pipiku penuh sayang.
Pertahananku
runtuh. Ego dan amarahku luruh. Tubuhku ambruk di atas lantai. Bersamaan dengan sebuah ketukan keras di
pintu.
“Dug-dug-dug! Bu Yanto, buka pintunya! Jangan ngumpet lagi! Buka!”
Suara garang dari balik pintu membuat detak jantungku serasa
berhenti. Suara itu dulu sering aku
dengar. Penagih uang kontrak rumah!
“Bu… Tuan Hendra!” Adikku merapat tubuh ibu. Pucat merona di wajah kumalnya. Sepucat wajah ibu yang kemudian terdiam
mematung. Ketegangan jelas tergambar di
wajahnya.
“Brak!” Pintu yang memang tidak terkunci itu
ditendang dari luar. Sesosok tubuh
gempal pendek diiringi dua algojo kiri kanan berdiri kokoh di depan pintu. Wajah ketiga orang itu sungguh
menyeramkan.
“He! Sudah 5 bulan kamu tidak bisa membayar uang
kontrakan ini. Tidak ada kata maaf
lagi! Kalian harus pergi dari sini. Sudah berderet orang yang antri akan mengontrak rumah
ini. Tahu?!”
“Maaf Tuan. Tolonglah beri saya kesempatan lagi. Tuan tahu saya sudah tidak bisa bekerja lagi
beberapa bulan ini. Jadi tolong kasihani
kami…”
“Halaaah… kasihani
kasihani! Sudah cukup sabar aku
mengasihanimu. Aku bukan dewa penolongmu,
heh!”
“Tuan… Jangan, jangan
usir ibu dan adik saya. Beri saya
kesempatan untuk mencari uang.” Sigap
aku berdiri dan membungkuk takjim memohon kebaikan Tuan Hendra. Aku tak ingin ibu dan adikku yang bertahun
kutinggalkan jadi gelandangan. Tak enak
rasanya tidur di sembarang tempat.
Kehujanan, kepanasan.
“Heh… siapa kamu? Emang kamu punya uang apa?” Tuan Hendra
melunak. Matanya tiba-tiba
menatapku nakal. “Atau, hem… kamu, boleh
juga ya!”
Pengawal Tuan Hendra
terkekeh. “Wah, benar Gan. Ambil saja.
Di luaran sudah mahal. Hutang
lima bulan lunas!! Hihihi…”
Tuan Hendra mendekat
tempatku berdiri. Berjalan memutariku. Matanya jelalatan mengamati hampir setiap
bagian tubuhku. Ketakutan seketika
menyergapku. Kutatap mata ibu galau.
“Jangan tuan… anak saya
baru datang. Sudah 5 tahun dia tak
pulang. Tolong jangan diganggu. Jangan diapa-apakan…Tolong tuan.” Tertatih ibu menghampiriku. Naluri keibuannya menangkap sinyal tanda
bahaya yang mengancam putrinya. Sungguh,
aku melihat wajah ibuku begitu ketakutan.
Terpaku aku pada sorot matanya.
Mata yang dulu teramat melindungiku kini telah kembali.
“Halah… jangan-jangan
apa! Diam ibu peot. Harusnya kamu bangga punya anak gadis ayu
tenan. Manfaatkan. Biar hutang-hutangmu lunas.” Tangan tuan Hendra menepis tubuh ibuku
kasar. Membuatnya limbung dan jatuh terjerembab di lantai. “Din, Sro… bawa si ayu. Cepat!”
Perintah tuan Hendra pada jongos-jongosnya.
Secepat itu pula dua
laki-laki kekar itu memegangiku kiri kanan.
Tanpa ba bi bu lagi menggiringku keluar pintu. Separuh memaksa.
Aku meronta. Ibu menjerit tercekat memanggil namaku. Adikku hanya bisa menangis di sudut tembok ruang tengah.
“Ibu… Ibu, tolong aku…
Aku tak mau Bu. Aku takut.” Aku berusaha melepaskan diri dengan sekuat
tenaga.
“Jangan… jangan bawa anak saya Tuan. Tolonglah!”
Merangkak Ibu mengejar. Dengan
sekuat tenaga yang dimiliki. Aku mencoba
untuk menahan kakiku sekuat mungkin.
Namun tangan kekar kedua algojo tuan Hendra semakin mengencangkan
cekalan tangan mereka. Hingga dalam
keputusasaan, kuteriakkan nama Tuhan, “Ya Allah… tolonglah! Aku datang ke sini untuk meminta maaf pada
Ibu, untuk memohon ampun atas kelakuanku selama ini. Kenapa jadi begini nasibku… Tolong Tuhan!”
Lunglai tubuh pada
akhirnya. Pasrah pada ketentuan
takdirNYA. Hingga entah kekuatan dari
mana, ibu mampu mengejar. Dengan panic
dan penuh amarah diserangnya tuan Hendra.
Jeritan tertahan melengking membahana bumi. Sebuah pisau menancap tepat di dadanya. Darah tak urung mengalir merah segar dari
sana. Membuat cekalan di kedua tanganku
melonggar. Aku terpana dan terpaku dalam
ketakjuban. Ibu…. Dalam detik terakhir keputusasaanku beliau
menjelma menjadi dewa penolongnku!
Wahai penduduk langit
dan bumi, saksikan! Ibuku memang bukan malaikat. Tapi hari ini Beliau membayar lunas
hakku: Mengorbankan jiwa dan raganya,
untuk aku, anaknya….@
Bekasi, 25 April 2012
No comments:
Post a Comment