Thursday 17 March 2011

KITA ADALAH SANG MOTIVATOR!
(Writted by: Titin Supriatin, S.P)

“Bu guru Ja’far nangis bu!” Seorang murid perempuanku mengadu.
“Menangis? Memangnya kenapa Git, tumben Ja’far menangis. Coba kamu ajak dia menemui bu guru di sini.” Segera kukemasi beberapa buku yang baru selesai kunilai. Kureka beberapa kemungkinan yang menyebabkan Ja’far menangis. Kulukis sosok muridku yang berbadan paling kecil itu dalam benakku. Ja’far, berkelahikah? Ah, rasanya tak mungkin, Ja’far anak yang baik, tak punya musuh. Terjatuhkah waktu main benteng di halaman? Tapi tadi dia sempat berkata mau ke perpustakaan mencari buku yang tadi kubacakan di kelas. Ja’far gemar sekali membaca. Atau…
“Nih bu Ja’farnya…” Gita datang menuntun muridku yang baru kelas satu itu.
“Kenapa Far, ada apa nak? Tumben kamu menangis. Baru kali ini ibu melihatmu menangis. Jagoan kok nangis…” Aku merangkul pundaknya. Ja’far semakin menunduk. Bahunya berguncang semakin keras, menahan tangis. Aku semakin mengeratkan rangkulanku. Aku merasa ada sebuah peristiwa yang pasti sangat melukai perasaannya.
“Kenapa sih… Coba cerita sama bu guru.”
“Ja’far malu bu… “ Bisik Ja’far. Kepalanya mendongak ke arahku, kemudian melirik Gita yang masih ada di sampingnya. Oh… yap! Aku paham,
“Ehm, Gita main di luar dulu ya nak. Biar bu guru menyelesaikan masalah ini hanya berdua dengan Ja’far. Trima kasih kamu sudah menolong.” Aku meminta Gita keluar kelas.
Meluncurlah cerita ikhwal menangisnya Ja’far. Walau dengan sedikit terbata, akhirnya aku mengerti. Rupanya kaos kaki Ja’far robek, bolong besar malah. Dan itu yang membuat teman-teman menertawakannya. Sementara ayah Ja’far belum bisa membelikan yang baru, karena uangnya terpakai untuk membeli kebutuhan yang lain. Aku mahfum benar, tidak semua muridku berasal dari keluarga yang mampu. Walau sebetulnya sekolah tempatku mengajar diperuntukkan untuk kalangan menengah-atas, tapi ada beberapa di antara mereka yang masuk karena mendapat keringanan biaya. Jadi, kaos kaki robek bisa menjadi sebuah bahan tertawaan untuk murid-muridku.
“Ja’far, bu guru ingin berbagi cerita sama kamu…maukah kamu mendengarnya?” Sambil menunggu jawaban Ja’far, kucoba mengumpulkan potongan-potongan kisah hidup yang pernah kualami sewaktu kecil dulu, ah ya… Ja’far mengangguk. Aku pun memulai ceritaku.
“Saat ibu seusiamu, ibu pergi ke sekolah tak pernah memakai sepatu. Ibu hanya memakai sandal jepit. Seragam pun tidak. Padahal teman-teman yang lain memakainya. Awalnya ibu malu sekali… hampir-hampir ibu minta berhenti bersekolah. Apalagi setiap ibu bertanya pada orang tua ibu kenapa aku ga dibelikan seragam dan sepatu, mereka bilang belum punya uang. Rasanya sedih sekali… tapi ibu sangat ingin bersekolah. Karena ibu ingin menjadi anak yang pintar. Akhirnya ibu bersama kakak ibu yang laki-laki punya ide berjualan es mambo sepulang sekolah. Kebetulan di belakang rumah ada lapangan bola yang sering dipakai untuk bertanding, jadi kami bisa berjualan di sana. Alhamdulillah… jualan kami selalu laku. Uang keuntungan dari berjualan kami kumpulkan. Akhirnya ibu bisa membeli sepatu dan seragam sendiri, tanpa meminta pada orang tua… yah, walaupun lama terkumpulnya tapi tidak apa-apa…. “
“Ibu tidak malu di sekolah diejek teman-teman ibu?” Ja’far bertanya antusias.
“Ehm… awalnya ibu malu juga kalau ketemu teman saat ibu berjualan es. Tapi lama-lama ibu tidak peduli, ibu mencari uang dengan halal kok, tidak mencuri… yang penting bisa terus bersekolah memakai seragam dan sepatu. Alhamdulillah… ibu selalu masuk 3 besar di sekolah dulu…”
Air mata Ja’far menyurut. Mata bulatnya menatapku penuh takjub. Entah apa yang ada dalam benaknya. Mungkin Ja’far membayangkan bu Titin kecil yang sedang berkeliling lapangan menjajakan es sambil berteriak : “Es… es…” atau membayangkan Bu Titin kecil yang sedang diejek teman-temannya karena ke sekolah tidak memakai seragam dan sepatu. Ah, entahlah. Yang jelas, Ja’far mulai tersenyum malu. Kemudian menyeka hidung dan pipinya yang basah.
“Terima kasih ya Bu Titin. Kalau Ibu bisa seperti itu, aku yakin aku juga bisa seperti itu. Boleh kan aku juga berjualan di sekolah?”
“Oh, tentu saja boleh…!”
Subhanallah… Tak sampai dalam hitungan menit, Ja’far sudah tertawa ceria bersama temannya yang lain. Melupakan kesedihan dan ejekan teman-temannya. Melupakan aku yang duduk termenung sendirian dalam senyum dikulum. Duhai Rabb Yang Maha Sempurna dalam penciptaan… Alangkah sederhananya pekerjaan “menyembuhkan” luka hati seorang anak kecil. Tak butuh energy yang banyak. Tak perlu teriakan amarah. Tak ada uang yang harus dikeluarkan. Yang diperlukan hanyalah telinga untuk mendengar dengan penuh kesabaran. Yang diperlukan hanyalah senyum tulus dan pengakuan. Yang diperlukan hanyalah kalimat-kalimat penuh motivasi dari lubuk hati kasih sayang. Karena kita adalah SANG MOTIVATOR. Motivator ulung bernama GURU. Wallahu ‘alam bissawab. (Bekasi, 10 Maret 2011)