Saturday 3 April 2010

Untuk temanku tersayang… (sebuah renungan pelembut hati)

Teman-teman tersayang,

Pada kesempatan yang berharga ini, aku ingin sekali mengajak teman-teman, ke dalam sebuah perjalanan indah, yang hanya dapat kita lalui dengan dzikir dan fikir yang tulus. Dengan hati yang bersih dan ikhlas. Jujur. Mengembara pada apa yang pernah kita lakukan dalam kehidupan kita yang telah silam. Saat tangis kita pertama kali memecah bumi. Saat ayah bunda, sanak saudara kita tersenyum dan tertawa bahagia menyambut kedatangan kita. Itulah hari pertama kita menginjakkan kaki di bumi ini. Kali pertama kita mengenal seorang malaikat berhati lembut dan tulus. Malaikat yang telah susah payah membawa kita 9 bulan lamanya dalam rahim di perutnya. Tak pernah mengeluh berat ataupun sakit saat membawa kita kesana ke mari. Tak pernah berkesah saat kaki kita menendang-nendang perutnya. Malah terkadang beliau justru tersenyum bahagia. Sambil mengelus kaki kecil kita yang masih ada dalam rahimnya, beliau akan mengajak kita berbicara. Padahal kita tak pernah menanggapi dan menjawab ocehannya. Beliau akan memamerkan kita pada orang-orang di sekitarnya : "Hey… anakku sudah tumbuh sekarang. Dia menendang-nendang perutku. Dia ada di sini…" Beliau sangat bangga dan bahagia memiliki dan menjaga kita saat itu, merawat dan mengasihi kita dengan sangat teliti dan hati-hati. Bahkan beliau rela menanggung sakit dan pegal karena membawa kita ke manapun beliau pergi saat itu. Walau kadang tak bisa tidur atau bergerak bebas saat kita berada dalam buaian rahimnya yang nyaman dan hangat. Kita merasa terlindungi. Kita merasa aman. Karena beliau adalah seorang malaikat yang telah diturunkan Allah ke bumi, untuk melindungi dan menyayangi kita. Walau nyawa taruhannya sekali pun. Dialah IBU… Manusia mulia yang senantiasa penuh kasih.

Ibu... menyebut namanya, ada kedamaian dan kerinduan yang selalu hadir. Kita selalu ingin ada di dekatnya. Merasakan harum nafas tubuhnya. Merasakan hangat peluk dan dekapannya. Mendengarkan merdu suaranya. Menikmati lezat makanannya. Menikmati tulus-sabar perhatian dan pelayanannya. Walau terkadang ibu marah dan jengkel atas kelakuan kita. Tapi itu tak pernah berlangsung lama. Bahkan hati beliau seperti telaga bening, yang selalu penuh dengan air suci yang akan membersihkan kesalahan-kesalahan kita, lewat ampunan dan do'a-doa yang sering beliau lantunan. Tanpa sepengetahuan kita! Ibu sering menangis sendiri dalam sujudnya. Dengan lirih beliau akan memohon pada Allah, untuk menjaga dan melindungi kita. Saat kita dekat ataupun jauh darinya. Sungguh indah dan tulus doa'nya teman.


"Ya Rahman… hamba titipkan anak-anak hamba dalam penjagaan dan pengawasanMU. Karena hamba hanyalah makhlukMU yang lemah. Tak kuasa menolak takdir yang KAU berikan pada mereka. Jaga mereka untuk hamba Ya Allah. Karena tak kuasa hamba melihat mereka bersedih atau menghadapi sebuah masalah. Sehatkan dan jauhkan mereka dari sakit. Mudahkan mereka dalam menghadapi kesulitan. Bahagiakan mereka dalam menjalani kehidupan…."

Sepenggal doa ibu yang indah ya teman-teman…. Membuat kita rindu … dan selalu rindu padanya…. Cobalah bayangkan sosok tegarnya saat ini. Hadirkan raut wajahnya yang teduh dan senantiasa tersenyum . Rasakan sentuhan dan dekapan kasihnya saat kita jauh darinya … Ibu, ibu …, sungguh, aku rindu padamu….

Teman-teman tersayang…

Sudahkah kau bayangkan wajah ibu sekarang? Kalau sudah, aku ingin mengajak kalian untuk jujur malam ini. Saat ibu tak ada di sisi kita. Saat ibu jauh dari pandangan kita. Saat ibu tak tahu apa yang kita lakukan saat ini. Cobalah kita untuk jujur dan mengakui. Apakah kita sudah berbuat baik dan menyenangkan hati beliau. Apakah kita sudah memenuhi keinginan dan nasehat-nasehatnya? Apakah kita selalu berusaha untuk mengerti perasaannya?

Kalau mau jujur teman-teman… kurasa kita masih belum banyak memenuhi harapan dan doa-doanya. Jauh… masih sangat jauh kita bisa membalas dan mengimbangi pengorbanan yang telah dilakukan ibu. Kita masih sering merajuk. Kita masih suka ngambek. Kita masih sering membantah. Kita masih sering menyakiti perasaannya. Kita masih selalu merepotkannya, dengan urusan-urusan yang seharusnya bukan kewajibannya lagi saat kita sudah dewasa seperti ini. Disadari atau tidak kita sadari...

Teman-teman…

Pernahkah kau mendengar sebuah kisah tentang seorang ibu yang rela memberikan bagian tubuh untuk putranya tercinta? Hanya agar putranya tersebut menjadi seorang yang percaya diri dan berhasil? Seorang ibu yang rela mendonorkan sepasang telinganya (Kuulangi… sepasang telinganya), karena putra semata wayangnya tidak memiliki daun telinga semenjak lahir. Beliau rela, karena tak ingin putranya tumbuh menjadi seorang yang rendah diri, karena sering diejek oleh teman-temannya dengan sebutan "manusia planet". Pengorbanannya berhasil sempurna. Putranya tumbuh menjadi seorang yang percaya diri dan berhasil meraih kesuksesan… Sang putra tak pernah tahu, siapa malaikat yang berhati mulia yang telah mendonorkan telinga untuknya. Karena hal itu selalu dirahasiakan oleh siapa pun. Bahkan sang ayah, selalu menjawab : "Suatu hari kamu akan tahu nak…" Hingga akhirnya, saat ibunya meninggal, barulah sang putra tahu bahwa sang ibulah yang telah merelakan telinga untuknya…

Sebuah kisah lain, ingin kubagikan dengan kalian. Kisah seorang anak yang menuliskan daftar pekerjaan dan mencantumkan berapa rupiah upahnya. Padahal pekerjaan itu ibunya sendiri yang meminta tolong. Sang anak menaruh catatan tersebut di meja dalam kamar sang ibu. Tertulis di sana, mencuci piring = Rp. 5000, membereskan kamar tidur = Rp. 5000. Menyapu dan mengepel lantai = Rp. 10.000. Menjaga dan mengajak adik bermain = Rp. 10000. Total semuanya Rp 30.000. Sepulang sang ibu dari urusan pentingnya, terbacalah catatan tersebut. Tak ada ekspresi marah dalam wajahnya. Seulas senyum mengembang dan kemudian sang ibu menuliskan sesuatu :

Sepuluh bulan mengandungmu dalam perutku, GRATIS. Berjaga sepanjang malam untuk merawatmu dan berdoa ketika kau sakit, GRATIS. Semua do'a yang selalu kupanjatkan, perjuangan dan cucuran air mata karena dirimu, semua GRATIS. Malam-malam panjang yang kuhabiskan untuk mengkhawatirkan dirimu, dan seluruh waktu yang kupakai untuk merawatmu tanpa henti, semuanya GRATIS. Mainan, makanan, pakaian dan bahkan menyeka hidungmu, semuanya GRATIS. Di luar semua itu, cinta sejatiku untukmu, GRATIS. Semua GRATIS. Untukmu anakku tersayang...

kita pasti terharu mendengar kisah ini. Betapa pengorbanan seorang ibu amatlah besar. Bahkan kadang tak sebanding dengan balasan yang diterima dari putra-putrinya. Semuanya beliau lakukan tanpa mengharap imbalan jasa SEPESER pun. Bahkan beliau rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk kita. Tapi apa yang telah kita perbuat sebagai balasan pengorbanan ibu? Mari kita renungkan dengan jujur

Teman-teman tersayang…

Selain ibu, kita juga mempunyai seorang ayah yang sangat mengasihi dan menyayangi kita. Ayah yang tak lelah bekerja mencari nafkah untuk kelangsungan hidup kita. Ayah yang berkerja, tak kenal waktu. Siang dan malam dijalaninya tanpa keluh kesah. Kadang kulitnya terbakar matahari saat bekerja di siang hari. Kadang tubuhnya menggigil saat bertugas di malam hari. Untuk memberi kita makanan yang sehat dan halal, untuk membelikan kita pakaian, untuk membelikan kita buku dan peralatan sekolah, untuk menyediakan kita kendaraan dan rumah yang layak. Dan masih banyak lagi kebutuhan-kebutuhan hidup kita yang menjadi tanggungan seorang ayah. Itu semua dilakukan ayah kita dengan penuh tanggung jawab dan kasih sayang.

Terkadang, ayah juga menggantikan posisi ibu saat ibu tak bisa menemani kita. Bermain, belajar, makan. Bahkan saat kita sakit. Tak jarang ayah ikut bingung dan sedih memikirkan kita. Apalagi saat kita ditimpa persoalan dan masalah. Ayah juga ikut membantu dan menghibur kita.

Teman-teman…

Pada kesempatan yang indah ini juga. Aku ingin mengajak teman-teman menghadirkan bayangan sosok ayah kita. Ayah yang setia mendampingi ibu, dari saat ibu mengandung kita dalam rahimnya. Ayah setia mengantar dan menemani ibu pergi ke dokter. Ayah dengan sabar mendengarkan segala keluhan ibu. Ayah membelikan ibu susu, membelikan makanan kesukaan ibu, bahkan ayah rela menyapu, mengepel, mencuci atau memasak saat itu. Ayah juga akan mengajak kita bercakap-cakap saat kita dalam perut ibu. Walau kita tak pernah membalas ocehan ayah. Tapi ayah tetap gembira melakukannya. Karena ayah tahu dan ingin memperlihatkan pada ibu dan kita, bahwa ayah sangat peduli dan sayang pada kita. Ayah sangat ingin segera melihat kita di bumi ini. Kemudian saat kita dilahirkan ke bumi, ayah akan dengan sangat hati-hati menggendong kita. Membacakan adzan di telinga kita, sebelum beliau membawa dan memperlihatkan kita pada nenek, kakek, paman, bibi dan teman-temannya, dan kemudian berseru dan mengatakan: "Hey… lihatlah ini! Bayiku sangat cantik… bayiku sangat tampan dan lucu…Alhamdulillah…"

Saat itulah air mata haru ayah akan menetes. Kemudian beliau berdoa dengan khusuknya. Memohon pada Allah dengan segala keikhlasan hatinya. Seperti inilah doanya :


 

"Tuhanku,

Bentuklah putraku menjadi manusia yang kuat,

Agar menjadi pemberani manakala dirinya lemah.

Menghadapi dirinya sendiri, manakala dia dalam keadaan takut.

Jadikan dia manusia yang bangga dan teguh dalam kekalahan

Jujur dan rendah hati serta berbudi halus ketika dalam kemenangan.

Bentuklah putraku menjadi manusia yang semangatnya tak pernah mati,

Putra yang selalu mengingat Engkau dan mengenali dirinya.


 

Tuhanku,

Aku mohon agar putraku jangan dipimpin di jalan yang mudah dan lunak,

Tetapi di bawah tekanan dan desakan, kesulitan dan tantangan

Didiklah putraku supaya tetap teguh ditimpa badai

Dan mampu melimpahkan cinta bagi mereka yang gagal.

Bentuklah putraku menjadi manusia yang berhati bening,

Yang cita-citanya tinggi

Putra yang sanggup memimpin dirinya sendiri

sebelum memimpin orang lain.

Putra yang mampu menjangkau masa depan,

Tetapi tidak melupakan masa lalunya ketika dia menggapainya.

Aku juga memohon, jadikan putraku seorang yang jenaka

Agar dalam kesungguhannya dia tetap ceria.


 

Tuhanku,

Berilah juga ia kerendahan hati

Agar selalu ingat kesederhanaan, kearifan, kelembutan, dan kekuatan sejati

Sehingga suatu saat, aku, ayahnya,

Berani berkata :"Hidupku tidaklah sia-sia"


 

Sungguh indah do'a ayah kita ya teman-teman. Do'a yang dilantunkan dengan penuh ketulusan dan harapan. Agar kita, putra-putrinya tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang dewasa dan kuat. Padahal kita sering tak tahu atau menyadarinya. Kita sering berprasangka pada ketegasan ayah. Saat ayah memarahi dan menasehati kita. Kita sering menduga-duga kemisteriusan ayah, saat beliau lebih banyak terdiam suatu hari. Kadang kita jengkel dan marah saat ayah tak peduli pada kita. Saat kita membutuhkannya menemani dan bersama kita. Ayah selalu mengatakan, ayah sibuk nak. Jangan ganggu ayah!

Teman-temanku…

Jangan pernah berprasangka buruk pada ayah kita. Setegas dan sekeras apa pun mereka membimbing dan mendidik kita. Dibalik ketegasan dan kekerasaanya, ayah sebetulnya mempunyai sebuah hati yang lembut dan tulus. Seperti sebuah kisah yang pernah aku dengar dari seorang pemuda yang jauh di seberang sana. Seorang pemuda yang ingin membagi penyesalannya, karena telah menyangka ayahnya tak pernah mempedulikan dan memperhatikannya. Ayahnya selalu disibukkan dengan urusan kerja dan kerja. Beginilah kisahnya:

Teman-teman,

Aku akan menceritakan kisahku pada kalian. Berawal Ketika aku masih kecil, aku suka tersenyum kepada ayahku. Kukira ayah akan balas menatapku, tapi ternyata tidak. Aku suka mengatakan "Aku sayang padamu, ayah…" dan menunggunya untuk mengatakan sesuatu. Kukira ayah mendengarku, tapi ternyata tidak. Bahkan menoleh pun tak dilakukannya. Ayah hanya bergumam :"Ayah sedang sibuk".

Pada saat yang lain, aku mengajak ayah bermain bola di luar. Kukira ayah akan mengikuti keluar. Tapi ternyata tidak. Aku menggambar dan berharap ayahku akan melihatnya. Aku berharap ayahku akan memasang lukisan, tapi ternyata tidak. Aku membuat tempat berkemah di halaman belakang. Kukira ayah akan ikut berkemah denganku satu malam saja, tapi ternyata tidak. Aku mencari cacing untuk umpan memancing. Kukira ayahku akan ikut memancing bersamaku, tapi ternyata tidak. AKu ingin mengajak ayahku berbicara untuk bertukar pikiran. Kukira itu juga yang diinginkan ayahku, tapi ternyata tidak.

Aku memberinya jadwal pertandingan bola yang kumainkan, berharap ayahku akan datang. Kukira ayahku pasti datang, tapi ternyata tidak. Aku ingin berbagi masa kecilku dengan ayah. Kukira itu juga yang diinginkan ayah, tapi ternyata tidak.

Lalu saat aku dewasa, aku masuk ke dinas militer. Tugas Negara memanggilku, dan aku harus ke medan pertempuran untuk berperang melaksanakan tugasku. Saat itulah, ayah memintaku untuk pulang dengan selamat. Tetapi…Aku tidak bisa memenuhi permintaanya. Tak kan pernah bisa. Padahal itu adalah satu-satunya permintaan ayah. Untuk yang pertama dan terakhir. Karena aku tak kan pernah bisa bertemu kembali dengan ayahku. Karena sebuah peluru menembus dadaku. Tuhan kemudian memanggil ruh ku pulang ke alamNYA. Namun aku sempat membaca surat yang dikirimkannya padaku lewat pos. Surat ayah begitu singkat…

    "Maafkan aku nak…

    Aku menyayangimu.

    Aku sayang padamu

    Aku kangen padamu.

    Tetapi meski aku tidak melakukan apa pun yang kau inginkan,

    Seharusnya kau mengabulkan permintaan terakhir ayah…"


 

Begitulah potongan kisah yang dialami seorang pemuda di seberang sana. Dia belum sempat memenuhi keinginan ayah tercintanya. Maut yang tak kenal waktu dan kompromi. Kapan pun jika Allah sudah berkehendak, maka kita bisa dipanggil sesuai takdir yang telah dituliskan untuk kita. Dan kita tak pernah tahu takdir kita...


 

Teman-teman...

Jangan sampai kita mengalami nasib yang sama seperti pemuda tadi. Belum sempat berbakti dan memenuhi harapan serta impian ayah kita. Belum sempat mengabdi dan mempersembahkan sebuah kebanggaan padanya. Karena sesungguhnya, ayah telah menaruh harapan yang besar pada kita anak-anaknya. Untuk membuatnya bangga telah menghadirkan kita ke dunia.


 

Teman-temanku sayang...

Jika ayah telah bangga memiliki kita. Sepatutnyalah kita pun bangga memilikinya. Walau mungkin sosok ayah tak segagah artis yang pernah kita lihat. Walaupun ayah tak sekaya para jutawan. Walaupun pekerjaan ayah kita tak sehebat pekerjaan ayah teman-teman kita. Tapi kita punya seorang ayah. Masih punya seorang ayah! Ayah yang jiwanya hangat, sehangat bara api. Ayah yang sabar dan tak pernah mengeluh setiap menghadapi permasalahan. Ayah yang hebat, yang bisa memperbaiki atap rumah kita yang bocor dan pipa-pia yang tersumbat. Ayah yang menyerupai ksatria berkuda putih, yang akan selalu menjaga dan membimbing keluarga, agar selalu dekat dengannya. Ayah yang rupanya sering terserang penyakit amnesia, karena cepat melupakan masalah dan kepahitan hidup. Ayah yang selalu ada untuk kita. Berdiri melindungi di belakang kita. Tegar, Seperti sebuah gunung yang berdiri kokoh.

Ayah..., tiba-tiba aku rindu padamu. Rindu. Teramat rindu....


 


 


 


 

No comments:

Post a Comment