Ahad, 31 Mei 2009
Pagi yang cerah,
Seperti biasa kuawali hari dengan "basmallah".
Kukayuh motor tua-ku dengan sejuta asa,
Bertemu murid-murid kecilku yang lucu dan penuh semangat
Terbayang dalam pelupuk mata
Keceriaan dan senyum sapa hangat mereka yang bersahutan
"Bu titin datang...bu titin datang...
Subhanallah... tak ada kebahagiaan yang bisa terlukiskan
Semudah Allah melukiskannya lewat sesuatu yang teramat sangat sederhana:
Anak-anak yang polos itu...
Maka, nikmat Tuhanmu manakah yang hendak engkau dustakan?!
Sepanjang jalan,
Tak henti bibir dan hati ini bertasbih
Mata dan telinga ini membaca
Tertangkap mataku pada seorang bapak tua
dengan tumor di mata yang besarnya menutupi hampir separuh wajah
Menarik gerobak yang sama tuanya
Bibirnya pelan berdesah : Abu gosok... abu gosok...
Ya Rabb... hati ini berdesir iba
Tertangkap mataku pada seorang lelaki paruh baya
Mengayuh sepeda tua dengan hanya satu tangan
Separuh tangan yang lain entah kemana...
Berat membawa beban di belakang sepedanya,
Ya Rabb... hati ini berdesir iba
Tertangkap mataku kembali pada seorang nenek tua
Tertatih meminta-minta,
Wajah memelas penuh harap
Hatiku berdesir kembali...
Ya Rabb...akan seperti apa aku suatu hari nanti,
Akan seperti mereka kah...
Kupandangi diri dalam spion...
Aku masih muda... masih ada waktu untuk beramal dan berkarya
Maka: Nikmat Tuhanmu manakah yang hendak engkau dustakan...
Ya Illahi... semoga aku bisa menjadi seorang yang pandai mensyukuri
Segala nikmat yang tlah Engkau berikan
Dan dapat mengisi nikmat itu sesuai dengan tuntunan MU
Saat Kau merasa Tak ada tempat untukmu bicara, melepas keluh kesah atau berbagi cerita indah, lucu dan seru, Di sinilah kau bisa temukan arti berbagi...Selalu ada teman untukmu bicara...
Sunday 31 May 2009
Wednesday 22 April 2009
Memory of Rafting on Citarik
Sabtu, 18 April 2009
Kebersamaan itu memang indah. Apalagi jika ditambahkan dengan kegiatan yang menantang dan seru. Seperti yang aku dan teman2 lakukan di sungai Citarik. Rafting dan arung jeram yang sungguh luar biasa heboh...
Thanks God... I can do what I want to and dream several years ago...
Kebersamaan itu memang indah. Apalagi jika ditambahkan dengan kegiatan yang menantang dan seru. Seperti yang aku dan teman2 lakukan di sungai Citarik. Rafting dan arung jeram yang sungguh luar biasa heboh...
Thanks God... I can do what I want to and dream several years ago...
Saturday 28 February 2009
Wajah calon Legislatif kita
Ahad, 1 Maret 2009
Sudah hampir tiga bulan terakhir ada hiburan tersendiri saat aku berkendaraan. Karena hampir di sepanjang tepi jalan, baik jalan raya atau gang kecil, kudapati ratusan poster "calonbintang" yang bertengger menghiasi batang pohon atau tiang yang berdiri di situ. Ada yang tersenyum santun, ada yang senyum menggoda, ada yang bergaya mirip aktor/artis/ foto model, bahkan ada yang sengaja mengajak orang penting dalam poster fotonya tersebut. Ck...ck...ck... hebat ya kawan!
Ada 2 persfektif yang ingin kubagi dengan kalian tentang fenomena yang terjadi tiap lima tahunan ini. Pertama persfektif positip, dan kedua, tentu saja persfektif negatif.
positifnya, pemilih jadi lebih tahu seperti apa sih wajah calon wakilnya di DPR nanti, ya minimal ganteng atau cantik nya lah...Walaupun foto itu kan kadang bisa direkayasa dikit lah, biar kelihatan agak beda dari biasa...
Nilai Positif lainnya, ini bagi para caleg loh ya..., kalau nanti tidak terpilih dalam pemilu, siapa tahu ada agen iklan atau bintang film yang melihat dan kebetulan lagi nyari orang buat iklan atau filmnya, kan lumayan tuh... bisa balik modal...
Sisi negatifnya, jalanan jadi kotor... sumpek... banyak bendera yang ga karuan. Coba deh kita hitung, hampir setiap 1 langkah kaki, pasti ada poster mereka. Coba kalau kita kalkulasikan dengan nilai uang. Andai sebuah poster dinilai 100 ribu, kali 100 lembar tiap caleg= 10.000.000
dikali 100 orang caleg = 1000.000.000!!! Sebuah nilai yang lumayan besar, kawan... Andai uang itu kita bagi untuk orang yang tak mampu, atau membangun sebuah sekolah, wah... lebih asyik manfaatnya kurasa!
Wallahu 'alam deh... yang kuingin sih, pemilu tahun ini bisa MENGHASILKAN SESUATUYANG JAUUUUUH LEDIH BAIK. Walaupun aku sedikit pesimis menyaksikan realita yang ada. Tapi pepatah bijak bilang "Berharaplah...kala kau masih punya nafas dan doa, karena tanpa harapan, kita tak akan bisa HIDUP." Ya! Aku akan terus berharap dan yakin, karena memang, HARAPAN ITU MASIH ADA.
Sudah hampir tiga bulan terakhir ada hiburan tersendiri saat aku berkendaraan. Karena hampir di sepanjang tepi jalan, baik jalan raya atau gang kecil, kudapati ratusan poster "calonbintang" yang bertengger menghiasi batang pohon atau tiang yang berdiri di situ. Ada yang tersenyum santun, ada yang senyum menggoda, ada yang bergaya mirip aktor/artis/ foto model, bahkan ada yang sengaja mengajak orang penting dalam poster fotonya tersebut. Ck...ck...ck... hebat ya kawan!
Ada 2 persfektif yang ingin kubagi dengan kalian tentang fenomena yang terjadi tiap lima tahunan ini. Pertama persfektif positip, dan kedua, tentu saja persfektif negatif.
positifnya, pemilih jadi lebih tahu seperti apa sih wajah calon wakilnya di DPR nanti, ya minimal ganteng atau cantik nya lah...Walaupun foto itu kan kadang bisa direkayasa dikit lah, biar kelihatan agak beda dari biasa...
Nilai Positif lainnya, ini bagi para caleg loh ya..., kalau nanti tidak terpilih dalam pemilu, siapa tahu ada agen iklan atau bintang film yang melihat dan kebetulan lagi nyari orang buat iklan atau filmnya, kan lumayan tuh... bisa balik modal...
Sisi negatifnya, jalanan jadi kotor... sumpek... banyak bendera yang ga karuan. Coba deh kita hitung, hampir setiap 1 langkah kaki, pasti ada poster mereka. Coba kalau kita kalkulasikan dengan nilai uang. Andai sebuah poster dinilai 100 ribu, kali 100 lembar tiap caleg= 10.000.000
dikali 100 orang caleg = 1000.000.000!!! Sebuah nilai yang lumayan besar, kawan... Andai uang itu kita bagi untuk orang yang tak mampu, atau membangun sebuah sekolah, wah... lebih asyik manfaatnya kurasa!
Wallahu 'alam deh... yang kuingin sih, pemilu tahun ini bisa MENGHASILKAN SESUATUYANG JAUUUUUH LEDIH BAIK. Walaupun aku sedikit pesimis menyaksikan realita yang ada. Tapi pepatah bijak bilang "Berharaplah...kala kau masih punya nafas dan doa, karena tanpa harapan, kita tak akan bisa HIDUP." Ya! Aku akan terus berharap dan yakin, karena memang, HARAPAN ITU MASIH ADA.
Monday 23 February 2009
Bapak Polisi itu di suatu pagi...
Senin, 23 Februari 2009
Seperti biasa, pagi itu aku meluncur di jalan raya. Motor bututku agak terseok di antara ratusan kendaraan yang lain. Ditambah lalu lintas yang tidak seperti biasanya di sepanjang Kali Malang. Biasanya lancar dan menyenangkan. Tapi kali ini cukup padat dan macet. Mungkin karena semalam hujan turun cukup deras.
Seperti hari-hari sebelumnya juga... Pagi itu, aku melihat Pak Polisi itu. Tak kukenal siapa nama beliau. Karena tak kubaca label nama yang menempel di dada kirinya. Yang kutau, beliau sangat gesit dan tegas. Ramah pula. Sosoknya tegap, seperti postur tubuh para polisi pada umumnya. Warna kulitnya coklat tua, terbakar matahari kurasa. Sorot matanya tajam mengamati setiap pengemudi dan pengguna jalan tempatnya bertugas.
Yang menarik adalah, saat terjadi sebuah pelanggaran yang dilakukan oleh seorang pengendara BMW pagi itu. Mobil mewah itu "ngotot" berbalik arah dalam lalu lintas yang padat itu. Pak polisi sudah mengarahkan untuk terus maju, karena berbalik arah akan menambah kekacauan lalu lintas. Entah karena egois dan merasa diri "kaya", sang pengendara tak mengacuhkan. Maka emosilah pak polisi ini. Digiringnya sang mobil (tentu saja bareng sopirnya) ke tepi jalan. Hampir semua mata pengguna jalan mengamati kejadian tersebut, termasuk aku yang berada persis di belakang BMW itu.
"Ah, paling juga peace... damai!" Batinku. Padahal aku tuh ikut kheki dengan kelakuan si "sombong" BMW tersebut. Hampir saja tebakanku jitu, saat kulihat si pengendara hanya melongokan kepala dan menyodorkan selembar 20.000 an. Tapi ups...! Tunggu dulu! Ada yang ajaib kurasa.
Ternyata, dengan sopan dan tegas, Pak Polisi itu berkata: "Maaf Pak. Saya sedang menjalankan tugas. Bapak telah melanggar peraturan, saya tidak butuh uang ini... saya sudah punya gaji dari negara. Silahkan berikan SIM atau STNK Bapak..."
Mak nyes.... rasanya adem banget mendengar kalimat itu. Aku terharu sekali. Tak terasa mataku berkaca-kaca. Subhanallah... semoga ini bukan mimpi. Andai setiap polisi seperti Bapak itu...
Karena bukan satu dua kali aku mendengar komentar miring tentang polisi. Sampai aku pernah melihat dengan mata kepalaku sendiri, polisi yang menerima suap di jalan raya...
Seperti biasa, pagi itu aku meluncur di jalan raya. Motor bututku agak terseok di antara ratusan kendaraan yang lain. Ditambah lalu lintas yang tidak seperti biasanya di sepanjang Kali Malang. Biasanya lancar dan menyenangkan. Tapi kali ini cukup padat dan macet. Mungkin karena semalam hujan turun cukup deras.
Seperti hari-hari sebelumnya juga... Pagi itu, aku melihat Pak Polisi itu. Tak kukenal siapa nama beliau. Karena tak kubaca label nama yang menempel di dada kirinya. Yang kutau, beliau sangat gesit dan tegas. Ramah pula. Sosoknya tegap, seperti postur tubuh para polisi pada umumnya. Warna kulitnya coklat tua, terbakar matahari kurasa. Sorot matanya tajam mengamati setiap pengemudi dan pengguna jalan tempatnya bertugas.
Yang menarik adalah, saat terjadi sebuah pelanggaran yang dilakukan oleh seorang pengendara BMW pagi itu. Mobil mewah itu "ngotot" berbalik arah dalam lalu lintas yang padat itu. Pak polisi sudah mengarahkan untuk terus maju, karena berbalik arah akan menambah kekacauan lalu lintas. Entah karena egois dan merasa diri "kaya", sang pengendara tak mengacuhkan. Maka emosilah pak polisi ini. Digiringnya sang mobil (tentu saja bareng sopirnya) ke tepi jalan. Hampir semua mata pengguna jalan mengamati kejadian tersebut, termasuk aku yang berada persis di belakang BMW itu.
"Ah, paling juga peace... damai!" Batinku. Padahal aku tuh ikut kheki dengan kelakuan si "sombong" BMW tersebut. Hampir saja tebakanku jitu, saat kulihat si pengendara hanya melongokan kepala dan menyodorkan selembar 20.000 an. Tapi ups...! Tunggu dulu! Ada yang ajaib kurasa.
Ternyata, dengan sopan dan tegas, Pak Polisi itu berkata: "Maaf Pak. Saya sedang menjalankan tugas. Bapak telah melanggar peraturan, saya tidak butuh uang ini... saya sudah punya gaji dari negara. Silahkan berikan SIM atau STNK Bapak..."
Mak nyes.... rasanya adem banget mendengar kalimat itu. Aku terharu sekali. Tak terasa mataku berkaca-kaca. Subhanallah... semoga ini bukan mimpi. Andai setiap polisi seperti Bapak itu...
Karena bukan satu dua kali aku mendengar komentar miring tentang polisi. Sampai aku pernah melihat dengan mata kepalaku sendiri, polisi yang menerima suap di jalan raya...
Thursday 19 February 2009
Peduli
Jum'at, 20 Februari 2009
Lalu lintas merambat pelan di pintu kereta api, masih untung lah ya... dibanding macet total. Motorku pun merayap pelan di antara ratusan motor, mobil, sepeda dan pejalan kaki.
Di antara kerumunan yang menyemut, kudapati sesosok lelaki bertongkat putih, menandakan seorang tuna netra, berjalan tertatih. Hampir saja kendaraan di samping kiri kanan atau depan belakang menyentuh tubuhnya. Aku tahu pasti (ck...ck...) bapak itu kebingungan dalam gelap penglihatannya. Seperti biasa... aku langsung trenyuh. Andai aku seorang laki-laki, pasti langsung kugamit tangannya untuk melangkah.
Alhamdulillah... seorang remaja berseragam SMA menarik tangannya, menepi. Membawa bapak itu berjalan di pinggir dan lebih aman kurasa. Sejenak tangan bertongkat itu terdiam, kurasa beliau menduga dan menebak, siapa malaikat berhati emas yang pagi itu menolongnya. Tapi dalam detik berikutnya, dia menggenggam erat tangan itu. Bahkan semakin erat kurasa. Senyumnya mengembang girang.
Aku terpaku ta'jub melihat adegan itu. Aku jadi teringat sebuah cerita yang serupa dengan kejadian barusan. Kisah seorang anak yang hendak menonton pertunjukkan sirkus bersama ayahnya. Mereka sudah merencanakan menonton sirkus itu jauh-jauh hari. Rencana tersebut baru terlaksana hari itu karena uang untuk membeli tiket baru terkumpul. Maklum lah... mereka hanya sebuah keluarga petani yang sederhana.
Saat tiba di tempat pertunjukkan, anak tersebut melihat sepasang suami istri yang membawa 8 anak sedang mengantri di loket karcis. Wajah kedelapan anak tersebut sangat ceria, membuatnya juga ikut ceria. Dari celoteh mereka, sang anak pengamat ini bisa merasakan, betapa kedelapan anak ini sangat menginginkan pertunjukkan sirkus tersebut. Demikian pula kegembiraan yang sama ditunjukkan oleh ayah dan ibu mereka. "Wah, kita bersyukur sekali bisa mengajak anak-anak nonton sirkus ya Pa...setelah hampir setahun mengumpulkan uang untuk bisa membeli tiket."
Saat tiba di loket karcis, alangkah kagetnya sang ayah, ketika penjaga karcis menyebutkan sejumlah uang yang dibutuhkan untuk membayar tiket 10 orang. Karena uang yang dibawa ternyata tak cukup. Wajah Sang ayah berubah cemas dan sedih. "Tolonglah pak, saya sudah bersusah payah mengumpulkan uang ini untuk mengajak anak istri saya bergembira... kasihan anak-anak jika mereka tak jadi menonton pertunjukkan sirkus ini."
Ayah sang anak pengamat ikut menyaksikan kejadian itu. Dengan kesigapan yang cukup bijak, sang ayah menghampiri Laki-laki itu dan menjatuhkan uang. "Wah, sepertinya uang anda terjatuh Pak...".
Alangkah kaget dan malunya laki-laki itu. Tapi pertolongan itu sangat tepat waktu. Akhirnya dia mengambil uang itu dan berterima kasih.
Sang anak pengamat tak menyesali perbuatan ayahnya, walaupun mereka tak jadi menonton sirkus. Bahkan dengan bangganya dia memuji ayahnya :"Aku tak menyesali kejadian hari ini. Bahkan aku bangga melihat kemuliaan hati para ayah hari ini..."
So how with us... Bisakah kita peduli seperti mereka?...
Lalu lintas merambat pelan di pintu kereta api, masih untung lah ya... dibanding macet total. Motorku pun merayap pelan di antara ratusan motor, mobil, sepeda dan pejalan kaki.
Di antara kerumunan yang menyemut, kudapati sesosok lelaki bertongkat putih, menandakan seorang tuna netra, berjalan tertatih. Hampir saja kendaraan di samping kiri kanan atau depan belakang menyentuh tubuhnya. Aku tahu pasti (ck...ck...) bapak itu kebingungan dalam gelap penglihatannya. Seperti biasa... aku langsung trenyuh. Andai aku seorang laki-laki, pasti langsung kugamit tangannya untuk melangkah.
Alhamdulillah... seorang remaja berseragam SMA menarik tangannya, menepi. Membawa bapak itu berjalan di pinggir dan lebih aman kurasa. Sejenak tangan bertongkat itu terdiam, kurasa beliau menduga dan menebak, siapa malaikat berhati emas yang pagi itu menolongnya. Tapi dalam detik berikutnya, dia menggenggam erat tangan itu. Bahkan semakin erat kurasa. Senyumnya mengembang girang.
Aku terpaku ta'jub melihat adegan itu. Aku jadi teringat sebuah cerita yang serupa dengan kejadian barusan. Kisah seorang anak yang hendak menonton pertunjukkan sirkus bersama ayahnya. Mereka sudah merencanakan menonton sirkus itu jauh-jauh hari. Rencana tersebut baru terlaksana hari itu karena uang untuk membeli tiket baru terkumpul. Maklum lah... mereka hanya sebuah keluarga petani yang sederhana.
Saat tiba di tempat pertunjukkan, anak tersebut melihat sepasang suami istri yang membawa 8 anak sedang mengantri di loket karcis. Wajah kedelapan anak tersebut sangat ceria, membuatnya juga ikut ceria. Dari celoteh mereka, sang anak pengamat ini bisa merasakan, betapa kedelapan anak ini sangat menginginkan pertunjukkan sirkus tersebut. Demikian pula kegembiraan yang sama ditunjukkan oleh ayah dan ibu mereka. "Wah, kita bersyukur sekali bisa mengajak anak-anak nonton sirkus ya Pa...setelah hampir setahun mengumpulkan uang untuk bisa membeli tiket."
Saat tiba di loket karcis, alangkah kagetnya sang ayah, ketika penjaga karcis menyebutkan sejumlah uang yang dibutuhkan untuk membayar tiket 10 orang. Karena uang yang dibawa ternyata tak cukup. Wajah Sang ayah berubah cemas dan sedih. "Tolonglah pak, saya sudah bersusah payah mengumpulkan uang ini untuk mengajak anak istri saya bergembira... kasihan anak-anak jika mereka tak jadi menonton pertunjukkan sirkus ini."
Ayah sang anak pengamat ikut menyaksikan kejadian itu. Dengan kesigapan yang cukup bijak, sang ayah menghampiri Laki-laki itu dan menjatuhkan uang. "Wah, sepertinya uang anda terjatuh Pak...".
Alangkah kaget dan malunya laki-laki itu. Tapi pertolongan itu sangat tepat waktu. Akhirnya dia mengambil uang itu dan berterima kasih.
Sang anak pengamat tak menyesali perbuatan ayahnya, walaupun mereka tak jadi menonton sirkus. Bahkan dengan bangganya dia memuji ayahnya :"Aku tak menyesali kejadian hari ini. Bahkan aku bangga melihat kemuliaan hati para ayah hari ini..."
So how with us... Bisakah kita peduli seperti mereka?...
Tuesday 17 February 2009
Jika Tlah tiba Saatnya
Senin, 16 Februari 2009
Aku tiba di sana di bawah iringan rintik hujan gerimis. Sebagian ada wajah duka, sebagian ada wajah biasa-biasa saja. Yang berwajah duka, karena merasa sedih dengan perubahan ada menjadi tiada, sedangkan yang berwajah biasa-biasa saja mungkin karena anggapan, bahwa "ah... toh sudah waktunya untuk meninggal. Usia udah tua kok..."
Tapi tidak denganku. Jujur... ada dua alasan yang menyebabkan aku sedih datang ke pemakaman kakak dari ibuku tersebut (beliau kupanggil uwa). Alasan pertama adalah menyadari bahwa ibuku kini sebatang kara dalam silsilah keluarganya. Saudara-saudara beliau, dari adik atau kakak, semuanya sudah dipanggil yang Maha Kuasa. Alasan kedua adalah betapa setiap nyawa akan kembali kepada Sang Pencipta, yaitu Allah SWT.
Ya Allah... mungkin besok, atau lusa, atau mungkin beberapa detik lagi... Engkau akan mengutus malaikatMu kepadaku. Kemudian aku terbaring sepi di tanah itu. Bersama cacing, semut, sepi, dingin, dan terutama... bersama amalanku. Yang menjadi masalah adalah, amalan berwajah apakah yang akan menemaniku? Baikkah? Atau Burukkah?...
Wallahu'alam...
Yang kumau... betapa aku ingin kepergianku dari dunia, semata-mata hanya karena ingin berjumpa dengan kekasihku: Rasulullah dan Dirimu Ya Allah...Tapi sudikah Engkau menemuiku nanti?!...
Aku tiba di sana di bawah iringan rintik hujan gerimis. Sebagian ada wajah duka, sebagian ada wajah biasa-biasa saja. Yang berwajah duka, karena merasa sedih dengan perubahan ada menjadi tiada, sedangkan yang berwajah biasa-biasa saja mungkin karena anggapan, bahwa "ah... toh sudah waktunya untuk meninggal. Usia udah tua kok..."
Tapi tidak denganku. Jujur... ada dua alasan yang menyebabkan aku sedih datang ke pemakaman kakak dari ibuku tersebut (beliau kupanggil uwa). Alasan pertama adalah menyadari bahwa ibuku kini sebatang kara dalam silsilah keluarganya. Saudara-saudara beliau, dari adik atau kakak, semuanya sudah dipanggil yang Maha Kuasa. Alasan kedua adalah betapa setiap nyawa akan kembali kepada Sang Pencipta, yaitu Allah SWT.
Ya Allah... mungkin besok, atau lusa, atau mungkin beberapa detik lagi... Engkau akan mengutus malaikatMu kepadaku. Kemudian aku terbaring sepi di tanah itu. Bersama cacing, semut, sepi, dingin, dan terutama... bersama amalanku. Yang menjadi masalah adalah, amalan berwajah apakah yang akan menemaniku? Baikkah? Atau Burukkah?...
Wallahu'alam...
Yang kumau... betapa aku ingin kepergianku dari dunia, semata-mata hanya karena ingin berjumpa dengan kekasihku: Rasulullah dan Dirimu Ya Allah...Tapi sudikah Engkau menemuiku nanti?!...
Subscribe to:
Posts (Atom)