Tuesday 11 December 2012

sekedar untuk direnungkan


Generasi Gangnam Style…
(Bunda Zara, orang tua murid SMAIT Thariq Bin Ziyad)

“Teteh… tolong bantu Ibu dong…” Panggilku pada si sulung dengan suara separuh berteriak.  Ini panggilan yang ketiga dan masih belum ada jawaban maupun reaksi dari yang dipanggil.  Herggg… ngapain sih  tuh anak?  Ibunya sedang repot malah enak-enakkan di kamar. Dengan ‘tanduk’ yang sudah mulai numbuh di kepala dan gigi yang mulai ‘bertaring’  aku terpaksa menyibak tirai kamar.  Oalaaa… si teteh sedang asik baca buku.  Telinganya tersumpal earphone.  Kepalanya ikut bergoyang.  Pasti lagi asik dengerin music deh!  Pantas saja tidak menyahut panggilanku.
          Akhirnya aku dan suami memutuskan untuk membuat aturan buat si sulung yaitu tidak diperkenankan mendengarkan music lewat earphone.  Dua alasan utamanya adalah supaya kami tahu music atau apa saja yang anak kami dengar dan kalau dipanggil dia bersegera menyahut.  Untunglah anakku patuh dengan aturan itu, sehingga kami bisa memantau apa saja yang dia dengar.  Masalah berikutnya adalah, giliran kami yang geleng-geleng kepala.  Bukan karena ikut menikmati alunan music yang didengarkan anakku, Namun karena merasa prihatin dengan selera dia yang sangat jauh dari yang kami harapkan.
          Lucu saja rasanya!  Satu sisi dia cukup rajin membaca, menghafal dan mengulang hafalan Al Qur’annya.  Namun di sisi yang lain, hobby barunya pada music, seperti gambaran langit dan bumi.  Karena music yang disukainya bukan sejenis nasyid seperti kebanyakan para santri atau siswa sekolah Islam.  Anakku malah penyuka berat penyanyi dan musisi dari negeri Korea.  Sederet lagu dari penyanyi dan grup negeri yang sebagian besar penduduknya  bermata sipit itu dikoleksinya dengan hampir lengkap, semisal SUJU, Arashi, Taecyon, UKiss, 2 NE1, 4 Minutes, Big Bang, BEAST, SEAMO, Shine, dan masih banyak lagi yang lainnya.  Terakhir SPY yang meledak lewat  Gangnam Style nya.
          Prihatin dan miris melihat anakku, yang notabene bisa mewakili generasi muda negeri, yang dalam keseharian insya Allah beres dan tak ada masalah, ternyata lebih menyukai seni dan lagu-lagu orang luar dibanding seni dan lagu dari negeri sendiri.  Even Nasyid gitu loh!  Padahal kalau dibandingkan dari beberapa aspek, rasanya kok ya masih lebih baikan seni dan lagu negeri kita.  Sebutlah music dangdut dengan raja dangdutnya yang terkenal, Bang Haji Rhoma Irama, music pop dengan sederet penyanyi dan grup band nya yang sudah kondang sampai negeri seberang, jazz, rapp dan jenis music modern lainnya. Suara dan aransemen lagunya cukup enak didengar kok…
          Berbagi rasa prihatin, aku mencoba curhat tanpa sengaja dengan orang tua yang mempunyai anak seumuran sulungku. Bersekolah di boarding pula.  Jawabannya membuatku sedikit syok.  Ternyata lagu-lagu Korea memang sedang trend di kalangan anak remaja sekarang yang tentu saja digemari juga oleh  anak temanku ini.  Bahkan tidak hanya music dan lagunya saja, drama dan sinetronnya pun sudah menjadi semacam “Virus” tersendiri di kalangan remaja dan wanita Indonesia.  WOW!!! So… Aku harus bilang “Amboiiii” gitu???
          Terlepas dari rasa prihatin, sebagai orang tua tentu kita tidak bisa tinggal diam menghadapi persoalan yang bukan remeh temeh ini.  Tiwasgas adalah hal paling penting untuk menjaga jangan sampai buah hati kita terbawa jauh arus “globalisasi”.  Namun bukan berarti kita “streng” juga melarang mereka mendengarkan music kesukaannya.  Bermain tarik ulur sebagaimana memainkan layang-layang adalah salah satu cara.  Kita harus tahu, kapan bisa mengulur dan kapan harus menarik tali kendali pada anak-anak kita.  Asalkan kegemaran ini tidak sampai mengganggu atau merusak pribadi dan tugas utama yang lain.  Berilah mereka kelonggaran.  Jangan sampai mereka akhirnya menyembunyikan hal-hal berbahaya di belakang kita.  Karena biar bagaimana pun, music masih jauh lebih baik dibanding pergaulan bebas maupun narkoba.
“Tenang Bu… biar aku suka music Korea dan segala hal tentangnya, aku masih bisa control diri kok…”  Jawaban  sulungku yang diucapkan dengan mantap itu membuatku lega.  Alhamdulillah… bisikku.  @
Satu pagi, usai berbaris di depan kelas, murid kecilku Rizki, berjalan menuju tempat duduknya.  Mulutnya bersenandung sambil bergoyang  menirukan gerakan yang sedang trend itu… U uuh.. oppa gangnam style…Oppa gangnam style!!!
Terpaksa kali ini aku harus bilang  WOW lagi !!! Ternyata PR ku masih belum tuntas!!!  (Bekasi, 10 Desember 2012)

Wednesday 21 November 2012

Untuk Para Suami...


Kau Ingin Tahu Jawabanku?
(Sepenggal episode tentang POLYGAMI)

      “Mengapa ayah ingin menikah lagi?  Tolong jawab, apa alasannya?”  Tanyaku dengan nada tersendat sesak di dada.
      “Uhm, apa ya… bingung juga kalau ditantang pertanyaan seperti ini...”
      “Tidak usah bingung.  Ibu bukan sedang menantang atau membuat quis berhadiah.  Cuma meminta kejujuran   Tapi tolong cari alasan yang paling tepat.  Kenapa jika pernikahan kita berjalan lancar dan tak ada masalah syar’i apa pun, muncul niatan untuk mencari wanita lain?”
      “Uhm…Ya… ingin menguji kesabaran ibu saja!” Jawab suamiku spontan setelah merenung beberapa jenak.
      Sret!  Serasa ada sebilah belati paling tajam yang menusuk dadaku.  Perih.  Menembus batas raga.  Tepat di jantung jiwa.  Bahkan kalau aku tak malu untuk menangis, rasanya saat itu juga air mataku tumpah berderai-derai.  Tapi eits… sabar!  Tahaaaan!  Baru mendengar ungkapan jujur suami bahwa ia ingin menikah lagi saja, kau sudah nangis bombai!  Lebay ah!
      Tapi memang agak keterlaluan juga sih jawaban itu.  Menguji kesabaran?  Oh, God!  Jika saja rentetan peristiwa dalam rumah tangga bisa dicatat oleh mesin pencatat kesabaran, entah sudah ratusan bahkan mungkin ribuan sabar yang telah digelar dalam rangka menghadapi setiap permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga kita.  Kau ingin tahu rinciannya?
      Detik pertama memasuki hari-hari pernikahan. Kau pastinya memahami, betapa aku harus banyak menata hati menjadi seorang istri dari laki-laki yang hanya 3 kali bertemu sebelum kita menikah hingga belum banyak yang aku tahu tentangmu, betapa aku banyak mengucap “oooh”, menyaksikan beberapa perbedaan perilaku kecil yang tak kusukai.  Hal-hal yang sederhana sebetulnya.  Namun andai tak bisa mulut ini bersabar untuk mengomentari setiap ketaknyamanan yang kurasa, tentu akan terjadi perdebatan walau ringan.  Mungkin, kau pun mengalami hal yang sama seperti apa yang aku alami. Hingga akhirnya, tindakan terbaik yang kuambil adalah menyimpan “oooh” itu cukup dalam sebuah lemari di sudut hatiku.
      Hari-hari berlalu. Detik mengeja menit, jam, hari, pekan, lalu bulan.  Memasuki bulan ke 5 pernikahan, betapa sensitifnya perasaanku saat mulai mengandung anak pertama kita.  Rasa mual, tak nyaman, selalu ingin diperhatikan dan dinomorsatukan, namun sering yang kudapati adalah ketak mahfumanmu akan hal ini.  Karena kau masih harus bekerja dan kuliah pada malam harinya.  Aku tak tega untuk menggugat atau menuntutmu agar kau lebih memperhatikanku.  Hingga kemudian, aku memutuskan untuk menyimpan kesedihan ini dalam tumpukan lemari kesabaranku.  Dan itu hampir selalu berulang pada kehamilan berikutnya.
      Pun saat anak-anak kita lahir dan tumbuh.  Banyak moment indah yang seharusnya kau lewati bersama kami.  Saat aku harus kecewa, karena kau lebih disibukkan dengan “dunia”mu.  Sementara anak-anak ingin kau memperhatikan dan memanjakan mereka.  Aku bisa rasakan itu dari tatapan dan perilaku mereka.  Karena ada bagian dari tubuh mereka yang berasal dariku, hingga rasa itu ikut membuatku perih.  Aku berharap kau pun bisa merasakan itu.  Sayang sekali, hanya sesekali kau penuhi harapan mereka tentang kehangatan.  Walau itu tak cukup, aku masih syukuri kasih sayang dan perhatian itu.  Selebihnya aku simpan kembali dalam lemari kesabaranku.  Karena ternyata di dunia luar sana masih banyak yang lebih menderita dibandingkan aku dan anak-anak.
      Belum lagi rentetan masalah yang datang mewarnai hari demi hari hingga usia pernikahan kita memasuki “sweet seventeen”.  Bukan usia yang muda untuk ukuran sebuah pernikahan.  Pertengkaran kecil maupun besar.  Andai bukan karena masih luasnya tempat untuk menyimpan kata sabar, tentu kita sudah tak bersama sedari dulu.  Namun kenapa, kau masih harus menguji kesabaran itu dengan sebuah keinginan yang mungkin akan sangat melukai perasaanku.  Yang mungkin akan bisa menghancurkan Kristal-kristal sabar yang selalu berusaha kujaga dengan segenap kemampuanku.  Karena kalaupun kau memaksaku untuk bisa menerima keinginanmu “yang satu itu” dengan alasan aku wanita yang sabar, aku tak akan pernah bisa menjawab dan mengerti perasaanku sendiri, mengapa setiap kau berbicara tentang wanita lain aku merasa sakit!  

 (Bekasi, 18 November 2012, kado kecil untuk suami dan ayah anak-anakku di hari 17 st anniversary pernikahan kami: untuk dijadikan sebuah renungan, bahwa menjaga pernikahan bukan hanya sebatas memelihara kesabaran, namun saling memahami dan empati pada perasaan masing-masing.  Untuk kemudian memandu langkah kita, mengawal takdir yang sudah ditetapkan Sang Pencipta kehidupan  dengan suka atau pun terpaksa :))
     

Tuesday 23 October 2012


Akulah Penjagamu…
Writted by : Titin Supriatin, SP
       Istirahat siang itu agak tak biasa.  Beberapa teman guru di ruang kantor sedang seru membicarakan sebuah kasus siswa.  Sebuah nama terdengar jelas di telingaku.  Hei, itu kan nama murid kelasku dulu?  Muridku yang terkenal sering memukul atau marah tak terkendali di kelas.  Perilaku apalagi yang  dia perbuat?
       “Dia marah besar.  Teman-teman yang ada di sekelilingnya diamuk.  Ada yang kena tendangannya, pukulannya.  Malah dia banting galon di kelas sampai airnya tumpah membanjiri lantai.”  Begitu wali kelasnya mengurai cerita.  Aku tekun menyimak.  Ada kesedihan yang merambati hatiku.  Anakku, ternyata kau masih belum pulih benar dari perilaku burukmu.
       Namanya Riko.  Saat duduk di kelas 1 SD ayahnya meninggal dunia akibat gagal jantung.  Otomatis, dia menjadi yatim kini.  Perilakunya sebenarnya baik, hanya saja saat dia marah atau tersinggung, dia sering tak bisa mengendalikan diri.  Teman-teman sekelas sering jadi korban amarahnya.  Aku jadi teringat bagaimana dulu aku selalu berusaha untuk menjaga agar emosi muridku itu tidak sampai menimbulkan bahaya buat teman sekelasnya.  Menasihatinya, memberi pengertian pada teman-temannya, bahkan sempat menegur keras saat ia tak terkendali.  Namun sesudahnya aku dinginkan kembali hatinya dengan kata-kata yang lembut dan penuh motivasi.
       Aku pun jadi teringat kembali hari itu.  Selasa, tanggal 20 Desember tahun 2011.  Hari terakhir anak-anak masuk sekolah di semester 1.  Sebelum mereka berlibur, kami para guru memberi tugas pada anak-anak untuk membuat sebuah kartu ucapan selamat hari ibu yang akan mereka berikan pada ibu mereka. 
Setelah mereka selesai, aku baca dan periksa terlebih dahulu, seperti apa ungkapan kasih sayang mereka pada ibu masing-masing. Lucu-lucu dan mengharukan.  Ada yang mengatakan, “Mama… aku sayang mama.  Selamat hari Ibu… semoga mama bahagia”  Ada juga yang menulis, “Bunda… aku sayang Bunda karena Allah…” (Aih, mengharukannya). Kalimat yang lain misalnya, “Mom, You are my everything in the world!” (Keren nya!  Pake bahasa Inggris pula).  
Yang lucu dan aneh pun ada.  Semisal, “Selamat hari Ibu Ma… jangan suka marahin aku lagi dooong…”  Haha…  Atau “Mamaku paling baiiiik di dunia.  Aku sayang Mamaku.  Tapi jangan lupa janji beliin PSP ya!”  Aha!  Kalimat yang ujungnya membuat keningku berkerut dan senyumku melebar.  Apalagi sang mama yang bakal menerima kartu itu.  Kubayangkan, pasti senyumnya hanya berbentuk garis bibir sedikit melengkung, kurang dari 5 centi.  Ah, semoga tidak ya Ma…
Sampai pada sebuah kartu sederhana.  Teramat sederhana malah.  Hiasannya biasa saja.  Polos.  Hanya ada sedikit tambahan gambar hati di  sudut kertasnya.  Tulisannya pun seperti sekumpulan huruf yang sedang menari, meliuk ke kanan dan kiri.  Namun kalimat yang dituliskannya mampu membuatku  tertegun dalam haru yang dalam.  Seperti ini untaian kalimatnya…
       “Akulah penjagamu,
       Akulah pelindungmu,
       Akulah pendampingmu,
       Di setiap langkah-langkahmu…
Ibu….”
Kalimat sederhana, yang kutau betul adalah jiplakan dari syair lagu “11 January” nya GIGI.  Bukan karya murni yang dibuat sang creator kartu itu.  Namun syair yang dijiplaknya itu bisa membuat mata orang yang membacanya menjadi berembun karena haru.  Betapa tidak?  Karena dia menuliskannya tidak lama setelah kepergian ayahnya menghadap Illahi untuk selamanya.  Namun, hari ini aku mendapati berita tak nyaman tentangnya yang kembali berlaku kasar dan tak mampu mengendalikan diri.  Ah anakku… pasti ibumu akan sangat sedih mendengar berita tentang perilakumu.
Keprihatinan dan rasa tanggung jawab membawaku padanya beberapa hari kemudian.  Aku ingat bagaimana raut wajahnya saat kunasehati dulu.  Menunduk takjim dan penuh sesal.  Aku selalu katakan padanya, “Buatlah ibumu bahagia dan bangga, buatlah ibumu tersenyum karena kebaikan sikapmu.  Buatlah ibumu yakin bahwa kamu bisa dijadikan tumpuan harapan setelah ayahmu pergi menghadap Illahi.  Buatlah ibumu yakin bahwa kamulah yang akan menjaga dan melipur hatinya saat duka dan sepi.”  
kini, aku ingin menemuinya kembali untuk mengingatkan janji kami dulu.
“Anakku, walaupun bu guru sudah bukan wali kelasmu lagi, tapi bu guru masih akan terus menyayangi dan memperhatikanmu.  Bu guru sedih mendengar perilakumu kembali kasar.”  Kataku padanya.  Tak ada jawaban sepatah pun yang keluar dari bibirnya.  Hanya pandangan mata sedih tergambar jelas dari balik kaca matanya yang berbingkai tebal.  
“Nak, berjanjilah untuk ibumu dan bu guru.  Jangan ulangi lagi tindakan seperti itu.  “Kamu ingat Nak, kamu pernah menulis sebuah kartu untuk ibumu pada hari ibu setahun yang lalu? Kamu tuliskan Akulah penjagamu, akulah pendampingmu, akulah pelindungmu, di setiap langkah-langkahmu, Ibu…”  Sambungku dengan suara bergetar. “Bu guru selalu ingat itu.  Hari ini ibu ingatkan kembali janjimu.  Tolonglah, jangan buat hati ibumu terluka.  Kamu harus bisa membuatnya bangga.  Ibumu pasti sedih jika mendengarmu kembali bersikap kasar pada teman….”
Dia mengangguk.  Kami saling menatap dengan mata berkaca-kaca.  Hatiku bergetar menahan tangis. “Ibu yakin, kamu pasti bisa anakku… ibu akan berdoa untukmu!”  Tak banyak kalimat lain sesudahnya.  Aku hanya memeluk pundaknya hangat. Karena aku yakin, dia tahu betapa aku ingin memeluknya, menunjukkan kasih sayangku sebagai seorang guru, menunjukkan bahwa aku masih peduli padanya.  Aku yakin, sentuhan kasih sayang bisa mewakili ribuan kata yang tak terucap.  Aku yakin, kelembutan bisa mengalahkan kekasaran dan amarah.  Dan aku yakin marah bukanlah solusi terbaik menangani anak-anak bermasalah.  Kasih sayang dan perhatian yang tulus bisa menyentuh hati seseorang untuk bisa mengubah diri dan perilakunya.  Wallahu ‘alam bissawab.  (Bekasi, 22 Oktober 2012 catatan special untuk murid kecilku.)

Saturday 8 September 2012


Ibu, Aku Ingin Pacaran.

(By : Bunda Zara, orang tua murid SMAIT Thariq Bin Ziyad)
          
            Sebuah sore yang manis.  Dengan secangkir teh yang manis pula.  Angin sejuk menerpa lembut melalui pintu rumah yang terbuka.  Membawa semilir harum melati yang beberapa kuntumnya sudah mulai bermekaran.  Langit senja yang berwarna jingga menambah rasa syukurku hari itu.  Rasa syukur karena masih bisa duduk manis menikmati istirahat sejenak dari aktivitas rutin sebagai seorang ibu. 
            Saat hatiku menyenandungkan rasa syukur padaNYA, sulungku mendekat dengan roman sumringah.  Lalu duduk bersimpuh di sisi kakiku.  Mata bulatnya terlihat ragu menatapku.
            “Kenapa Teh, ada yang bisa Ibu bantu?”  Sapaku lembut.  Aku sudah tahu betul gesture tubuh anak-anakku.  Saat kapan mereka marah, sedih, gembira, atau butuh bantuan.
            “Uhm, boleh ngga aku nanya Bu?”  Ragu tergambar jelas dalam pertanyaannya.
            “Boleh, tentu saja boleh.  Mau nanya apa?”
            “Uhm… aduh, gimana ya… tapi ibu jangan marah ya…” Rajuk sulungku, matanya bergantian menatapku dan rumpun melati yang bergoyang di luar sana.
            “Kenapa mesti marah?  Memang ada masalah apa sih… Bicara saja.  Selama ini jarang-jarang kan Ibu marah?”  Hatiku mulai kebat-kebit.  Wah, ada apa nih si teteh.  Tumben-tumbenan seperti ini.  Biasanya dia cuek saja bicara tentang banyak hal.
            “Uhm… Aku lagi galau nih Bu.”  Katanya, semakin membuat rasa penasaranku sebagai ibu!
            “Galau, memangnya kenapa, ada apa sih?”  Tanyaku penuh selidik.
            “Itu Bu… Aku kok ingin pacaran ya…”
            Ups!  Gubrak deh!
 Akhirnya, tiba juga masa pertanyaan itu.  Masa-masa pubertas anakku yang memang sudah kuperkirakan jauh-jauh hari.  Tapi, pertanyaan itu mau tak mau membuatku kaget mendekati syok!  Mau tak mau aku harus berfikir keras, cerdas dan cermat dalam waktu sepersekian menit agar bisa menjawab pertanyaan  anakku sebijak mungkin, tanpa membuat lubang duka di hatinya.
Bisa dibayangkan, tak ada kamus pacaran dalam Islam!  Karena kalau dilihat dari definisi pacaran, yaitu hubungan antara dua lawan jenis dalam sebuah ikatan yang dibuat sendiri oleh mereka.  Tak terikat secara hukum sebetulnya, dengan berbagai contoh aktifitas para pelakunya, yang masya Allah… kadang membuat orang yang beradab merasa risih melihatnya.  Dan yang paling mengerikan (Maaf, sengaja bahasanya dibuat dasyat), bisa menyebabkan pelakunya terjerumus ke dalam jurang kenistaan.  Naudzubillah…
Sebagai orang tua, tentu saja aku tak ingin anakku, buah hatiku yang kukandung, kulahirkan dan kurawat serta kudidik sampai sebesar dan setinggi sekarang ini, akan terjerumus ke dalam dosa besar!  Tapi, hari ini, dia justru meminta hal yang musykil itu.  Tak. 
“Apa anakku?  Ingin pacaran?  Kamu sudah mulai suka sama seseorang ya…”  Godaku dengan senyum bijak.  Kutepis keinginan kuat untuk segera mengatakan TIDAK, No Way!
“Nggak sih.  Belum kok.  Aku belum suka sama seseorang.”
“Trus, kenapa kamu tiba-tiba ingin pacaran?  Atau… Uhm, pasti ada cowok yang suka sama kamu ya?  Kamu sudah ditembak?”  Tanyaku kembali menggodanya.  Sengaja kugunakan istilah “menembak” yang sedang kondang di dunia remaja, agar anakku merasa nyaman mengungkapkan isi hatinya.  Padahal, sungguh, dadaku semakin kebat kebit rasanya.  Full of khawatir.  Tapi, tenanglah  duhai ibu…
“Iiih, Ibu!  Belum ada yang suka sama aku kok!”  Rajuknya.  Pipinya menyemburatkan rona merah yang kentara.  Aha, Virus merah jambu sudah mulai merambah hatinya!
“Trus kenapa dong, apa alasan kamu tiba-tiba ingin pacaran kalo bukan karena ada seorang cowok yang mulai kirimin kamu SMS.”
“Uhm, habisnya teman-temanku banyak yang sudah punya pacar.  Jadi kadang ada  perasaan ingin nyobain seperti mereka.”
Ups yang kedua!  Inilah resiko yang harus kami tanggung, saat memutuskan mengembalikan sulungku dari pendidikan ala boarding school.  Akan ada yang berubah dalam pola pergaulan anakku dengan lawan jenis.  Beda masa saat ia bersekolah di asrama.  Pemisahan sekolah dan asrama antara putra dan putri berhasil meminimasir pergaulan antara mereka.
“Teteh, kalau hanya sekedar ingin seperti kebanyakan teman, itu bukan alasan yang harus kamu turuti.”  Jawabku sambil mencoba mengatur nafas.  Berfikir dan memilah sekaligus mengenang kembali perjalanan hidup masa remajaku dulu.    “Kamu tahu, dulu waktu Ibu remaja,  Ibu paling tidak suka mengikuti trend yang ada.  Ibu selalu ingin menjadi orang yang berbeda dengan teman-teman yang lain.  Makanya, ketika teman-teman menikmati masa remaja mereka yang kebanyakan hura-huranya.  Begadang di malam minggu, jalan-jalan ke mall atau bahkan pacaran, ibu justru sebaliknya.  Ibu ingin berbuat sesuatu yang berbeda.  Yang positip tentunya.  Saat teman-teman bersuka cita di luar rumah, ibu lebih suka belajar atau membaca buku.  Memang sih kadang menyedihkan dan kesepian.  Tapi itu yang bisa ibu lakukan untuk membuat obsesi ibu menjadi nyata, membahagiakan  kakek dan nenek lewat prestasi yang membanggakan.  Apalagi kalau harus mencontoh teman-teman yang sudah mulai pacaran.  Nggak deh…”  Panjang lebar aku uraikan penolakan halusku.
“Iya juga sih…”  Anakku menunduk sedih.  Entah apa yang ada di benaknya saat itu.
“Kamu tahu arti pacaran?”
“Uhm… ya gitu deh, jadian sama cowo.  Trus boleh SMS an boleh ngobrol, jalan berdua…”
“Tuh, kan… memangnya dibolehkan seperti itu dalam Islam?  Lagi pula Teh,  usia kamu masih muda.  Kalau sekarang kamu sudah mulai bergaul erat sama cowok yang kamu suka, kamu akan hilang kesempatan untuk memilih cowok yang lebih hebat, lebih keren dari cowok kamu.  Karena kalau kamu pacaran, pastinya ada komitmen untuk tidak bergaul dengan teman cowok yang lain kan?  Padahal Waktu kamu masih panjang  untuk bisa memilih dan mendapatkan jodoh yang terbaik.”
“Benar juga ya.”  Rona sumringah mulai berpendar di wajah anakku.
“Kalau kamu menyukai seseorang, untuk saat ini keep silent sajalah.  Cukup sekedar simpan dulu dalam hatimu.  Cinta seperti itu justru lebih abadi.  Ibu juga dulu seperti itu.  Tak apa kok kamu menyukai seseorang.  Karena memang itu sudah fitrah (bawaan) manusia. “
“Hihi… Benar juga kata Ibu.”  Anakku mulai tertawa kecil sekarang.
“Ibu tahu kok rasanya jatuh cinta.  Seru ya… Serasa di sekeliling kita ada bunga-bunga warna warni, kupu-kupu beterbangan, ada pelangi di atas kepala kita.  Wah, pokoknya rasa indah itu memang ada.  Subhanallah, harusnya kita bersyukur pada Allah, karena diberikan anugrah untuk mencintai seseorang.  Hanya saja, rassa syukur itu harus kita tunjukkan dengan hal yang positip.”
“Haha… si Ibu.  Bener banget.  Indah sekali rasa kalau lagi suka sama seseorang.  Iya deh, aku nggak akan pacaran.  Aku janji.  Aku akan bahagiakan ayah sama ibu.  Doain aku biar kuat berada di tengah-tengah duniaku sekarang ya Bu…  Kalau dulu di asrama, aku kan jarang banget ketemu teman cowok.  Eh, sekarang… sungguh menggoda!”
“Eits!  Jaga pandangan.  Jangan membuat ayah dan ibu khawatir melepasmu di luaran sana.  Haha… Ibu yakin kamu mampu Teh.  Pokoknya, jangan malu untuk menjadi seseorang yang berbeda dari yang lain.  Asal beda itu karena keyakinan akan sebuah kebenaran….”
Kututup obrolan seru itu dengan nafas lega.  Kukecup lembut kening anakku dengan kasih sayang usai kami shalat magrib berjamaah.  Seraya kubisikan doa untuknya.  Doa khusyu penuh harap pada Rabb, sang pencipta dan pemberi amanah anak-anakku.
“Duhai Rabb, lindungi anak-anak hamba dari mara bahaya dan godaan syetan yang mengintai.  Saat hamba dekat maupun jauh dari mereka.  Karena Engkaulah sebaik-baik penjaga dan penolong…”  Selarik air mata jatuh di pipiku.  Menghantarkan doa dan harap yang amat tulus padaNYA, semoga aku bisa menjadi ibu yang baik untuk mereka, anak-anakku….