Sunday 11 December 2011

Just Wanna Share With U

Metamorfosa Cinta

oleh Titin Supriatin pada 9 Desember 2011 pukul 21:02
Cinta ternyata  mengenal juga istilah metamorfosa.  Kupikir, itu serupa pertumbuhan dan perkembangan kupu-kupu yang mengalami berbagai jenis perubahan ekstrim pada dirinya.  Dari sebutir telur, kemudian berubah menjadi seekor ulat jelek dan menjijikkan, lantas berganti rupa menjadi kepompong yang tidak jelas bentuknya, dan finally... dia berubah wujud menjadi seekor kupu-kupu cantik yang bersayap dan bisa terbang!

Mungkin begitu juga dengan perjalanan cinta seseorang.  Cinta, ada seseorang yang mengatakan, adalah juga makhluk ciptaan Allah.  Cinta bisa hidup, tumbuh dan berkembang di hati setiap insan.  Cinta adalah perasaan indah yang jika kau menemukannya akan kau dapati energi positif lebih dari biasanya.  Energi yang bisa kau sebar dan kau bagi dengan segenap rasa.  Energi positip itu bernama motivasi dan inspirasi.

Lalu apa hubungannya dengan metamorfosa?  Tentu saja itu hanyalah pemisalan.  Cinta memang hanyalah makhluk ciptaan Allah yang berwujud rasa.  Cinta adalah emosi jiwa serupa amarah, sedih, resah.  Cinta tersimpan rapi di tempat yang tersembunyi dalam dada.  Benda penyimpan cinta itu bernama hati.  Dan kau tahu kan... hati itu mudah dibolak-balik dan diombang-ambing.  Maka cinta pun akan mengikuti bagaimana suasana hati saat itu.

Cinta dapat tumbuh dan berkembang.  Tergantung bagaimana kau merawat dan menjaganya.  Bahkan cinta itu akan mengalami sebuah perubahan wujud, dari cinta karena ketertarikan ragawi di awalnya , berkembang menjadi cinta yang lebih dewasa seiring waktu.  Saling memberi semangat dan membangun kedewasaan itu sendiri.  Tak ada kebencian dan penyesalan, walau secara raga cinta itu tak bisa disatukan.  Maka tetap jagalah... Kau tak perlu memiliki seseorang yang kau cintai.  Justru perbanyaklah cintamu untuk sesiapa... sebarkan energi positip untuk mereka yang kau cinta.  Saling mendukung dan menyayangi...  Bukankah itu cara paling sederhana untuk mewujudkan dunia menjadi indah dan damai?


Teringat sebuah cuplikan syair lagu :
Cinta kan membawamu...
Kembali di sini...
Mendulang rindu
Membasuh pedih
Bawa serta dirimu...
Dirimu yang dulu
Mencintaiku, apa adanya...

Sunday 12 June 2011

proyekku...

The Big News (cerbung tertunda…)

“Wow…” Saski berseru takjub. Mata bulatnya menatap penuh antusias Koran di tangannya. “Keren ya, kelompok band jalanan aja bisa berbuat kaya gini. Membantu para korban bencana Tasikmalaya sebesar 25 juta rupiah. Ckckck…”
“Apaan sih Ki, lo dari tadi bergumam wow, uh, ups…ada berita apaan yang tumben-tumbenan bisa bikin lo mau baca?” Gadis mendongak dari bangkunya duduk, “Biasanya pagi-pagi gini lo kan udah sibuk bebenah dandanan…”
“Idiiih nuduh bener sih Dis. Emang gue kan hobi baca. Apalagi baca berita infotainment model ginian.”
“Iya deh… tapi jangan lo kunyah sendiri dong. Pake komentar wah, uh, ups, de-es-be yang bikin gue penasaran. Band jalanan apaan?”
“Itu loh Dis, kelompok band baru, yang lagi heboh… Misterious Band.”
“Wah, itu band kesayangan gue Ki. Mana coba gue baca…” Gadis mendadak sontak berdiri dan menghampiri Saski yang semakin sibuk menelusuri kalimat demi kalimat berita yang tertulis pada halaman depan.
MISTERIOUS BAND KEMBALI BIKIN HEBOH!!! Begitu judul berita yang pertama dilihat Gadis. Judul yang ditulis dalam huruf balok capital yang mencolok mata, pun bagi mereka yang berkaca mata tebal macam Pak Jajang, guru kimia di kelas 11.
“Misterius band kembali bikin ulah. Tapi ulah yang mereka buat sungguh positip dan menggugah inpirasi kaum muda di bumi Indonesia tercinta ini. Apa pasal? Band yang keseluruhan personilnya bercadar seperti pasukan ninja ini mengadakan pertunjukkan amal di jalan-jalan untuk mengumpulkan dana bagi korban bencana alam Tasikmalaya yang terjadi pekan kemarin. Dalam waktu yang cukup singkat, Cuma 5 hari ngamen di jalanan beberapa tempat pusat keramaian, mereka berhasil mengumpulkan dana sebesar 25 juta rupiah. Angka yang sungguh pantastic untuk ukuran sebuah band jalanan. Ruarrr biasa…” Gadis membaca berita itu dengan volume suara cukup keras. Terbukti berpasang mata menatapnya penuh antusias. Bahkan beberapa di antaranya ikut berkerumun mengitari Koran yang berukuran hanya cukup untuk dikelilingi 3-4 orang saja.
“Misterius Band ya? Wah bener tuh, gue kemaren ikut nonton pertunjukkan mereka. Asik loh musiknya. Suaranya enak didenger. Yah walaupun lagu yang mereka nyanyiin lagu penyanyi-penyanyi lain… tapi gue suka banget. Suara vokalisnya itu loh. Gimanaaaa gitu ya! Enak, merdu… kaya ngandung daya magnet yang bikin orang jadi hanyut. Apalagi kalo udah nyanyiin lagu mellow. Wah…” Dani si pembual nomor wahid di kelas berkomentar penuh semangat. Semakin menambah pesona aura kelompok Misterius Band, yang memang akhir-akhir ini sering dibicarakan tidak hanya oleh penggemar music kawula muda, tapi hampir oleh seluruh level tingkatan manusia yang menghuni kota Cirebon.
“Betul-betul-betul…kalo gue mah udah ngeliat show mereka dari jaman mereka masih ngamen di kereta dan di mal-mal. Emang oke tampilan dan suaranya. Gue sampe gimana… gitu ya. Yah kurang lebih samalah seperti yang dirasa si Dani, ya nggak Dan?” Pino, si new Upin-Ipin SMA Samudra Kehidupan urun pendapat juga.
“Gue sepakat sama elo pada…” Sambung Fhani si burung merak kelas 11-IPA1. “Mereka perfect untuk ukuran grup band jalanan. Cuma yang gue heran, personilnya itu kok pake cadar semua ya… padahal, kaloband pada umumnya, yah katakanlah selebritis gitu, ingin sosok dan tampangnya dikenal para penggemar, biar kesohor. Kan enak jadi orang terkenal. Tapi mereka malah menutupi identitas diri. Kenapa ya?”
“Iya juga. Udah gitu, setahu gue, mereka ngamen untuk tujuan amal. Panti asuhan, bakti tuna netra, peduli oma-opa, dan terakhir bencana alam. Aneh…Gue jadi penasaran deh. Siapa nama gitarisnya, drumernya, semuanya… dan vokalisnya. Suaranya itu enak banget deh, pasti dia seorang gadis yang manis…Hmmm” Sambung Pino lagi.
“Loh kok bisa sih?” Si pendiam Jeni angkat bicara, penasaran. “Mestinya kalian Tanya dong saat mereka tampil, apa susahnya?”
“Justru itu uniknya Jen… Lu sih ga pernah liat kalo mereka lagi ngamen. Susah tau… Kalo habis ngamen mereka langsung kabur gitu. Ga mau buka penutup kepala dan muka. Yang keliatan Cuma matanya doang. Makanya mereka dikenal dengan nama Misterius Band. Begitu neng…”
“Wow, ajiib bener! Baru tahu gue kalo ada band yang model begini. Jadi penasaran pengen liat.”
“Itu juga jadi masalah neng. Mereka ngamen suka-suka deh kaya’nya. Ga bisa ditebak kapan maennya. Yah, mungkin Cuma iseng doang. Padahal kalo mereka mau, bisa loh masuk TV. Ga kalah kualitasnya sama band-band yang ada sekarang.”
Obrolan pagi yang semakin hangat dan seru di kelas 11-IPA1 SMA Samudra Kehidupan. Obrolan yang diam-diam disimak betul oleh seorang gadis manis yang duduk di pojok, persis di samping jendela kelas. Kedua tangannya bertumpu pada meja, menopang kedua belah pipi yang sering menampakkan lesung pipit saat tersenyum. Sesekali jarinya memilin ujung jilbabnya yang berwarna putih bersih.
“Hm, berita menarik! Dede, Dave, Anto dan Chepy pasti udah tahu juga berita besar di Koran pagi ini.” Batinnya dalam senyum dikulum. Benar-benar heboh! Spontan diambilnya handphone dari dalam tas. Ditekannya tombol kontak dan sebuah nama, lalu…
“Assalamualaikum, dave… udah baca berita hari ini? Heboh banget Misterious Band loh!” Lara, gadis berlesung pipit itu, membuka obrolan dengan suara separuh berbisik tepat di horn HPnya.
“Kamu udah tahu juga Ra? Nggak nyangka ya… di kelas temen-temen lagi ngebahas misterius Band. Ck…ck…bener juga prediksi kamu Ra.” Terdengar balasan suara dari seberang dengan nada yang antusias.
“He..he..he, terang dong Dav. Siapa dulu. Eit, takabur lagi deh, astaghfirullah…”
“Eh Ra, bisa ngga nanti sore ngumpul? Ada hal penting yang kudu kita diskusikan.” Mendadak Suara Dave terdengar serius. Seperti mengingatkannya tentang sesuatu.
“Jam berapa? Pulang sekolah aku bisa. On time tapinya!”
“Oke, pulang sekolah. Kalo on timenya aku ngga bisa janjiin. Kamu tahu sendiri kan… Anto dan Chepy ada di kelas Kimia. Pak Jajang suka korupsi waktu sampe setengah jam lebih…jadi”
“Wah, sory kalo gitu Dav. Aku ada jadwal liqo bada’ ashar. On time!”
“Bisa ijin dulu ga Ra? Pentiiiing banget! Please…”
“Oke, aku usahain. Lihat aja nanti ya!” Teeeeet… teeeet… Suara bel masuk memutuskan pembicaraan mereka. Lara menekan tombol akhiri di HPnya, masih sempat terdengar suara dari sana,
“Jangan ga datang Ra… Ini masalah kita. Masalah Dede!”
Ups! Lara menegang. Nama itu membuat dadanya berdetak lebih kencang. Ada apa dengan Dede? Terlambat! HP sudah dioff, Pak Bahar sudah ada di depan pintu kelas. Tak ada kesempatan lagi untuk mencari jawaban kenapa. Yang muncul dalam benak adalah bayangan selembar kertas merah muda yang ditemukannya dalam buku catatan Biologinya. Kertas merah muda itu bertuliskan tangan rapi milik seseorang. Seseorang itu bernama Dede. Di sana tertulis sebuah kalimat yang telah membuat dadanya bergetar hebat: Aku sayang kamu Ra…
  

curhatan seseorang (2)

SAAT UJIAN UNTUKKU TIBA…

Sampai detik ini, aku tak pernah percaya pada sebuah perubahan. Bagaimana proses mencinta itu bisa tumbuh pada diri seseorang amatlah tak bisa kupahami. Mungkin karena aku yang tak menemui ladang yang tepat untuk mencinta atau karena aku yang teramat sulit untuk mencinta? Sampai aku tiba pada sebuah keputusasaan, Ya Rabb… sampai kapan aku bisa menemui dan merasakan sebuah cinta yang benar-benar tulus. Cinta seorang perempuan kepada laki-laki. Yang konon katanya jika aku bisa menemukannya atau mendapatkannya, serasa aku berada di syurga…
Syurga? Seperti apakah itu? Apakah seperti aku merasa ingin tersenyum atau tertawa selalu. Apakah serupa dengan alam sekitar kita berdiri serasa aneka warna. Banyak bunga bertebaran di sana. Apakah rasanya seperti ada taman bunga di hati kita, burung-burung berkicau merdu dan riang, langit serasa senantiasa berpelangi? Kalau seperti itu, rasanya aku pernah menemukan situasi seperti itu. Tapi itu dulu… dulu sekali… Saat aku masih duduk di bangku SMP, SMA atau di kampus. Kalau aku merasakannya lagi saat ini, apakah itu masih pantas?
Tapi, aku terkadang merasakannya akhir-akhir ini. Persis… persis seperti yang aku rasakan dulu. Subhanallah, memang indah sekali. Tapi, sekali lagi aku Tanya padamu, apa ini pantas untukku? Aku yakin kamu akan jawab dengan jawaban yang KLISE : tergantung pada siapa kamu merasakan itu…
Terkadang, jujur ya, aku benci dengan situasi ini. Benci! Satu sisi aku merasa ada gairah indah dalam menjalani hari-hariku, tapi sisi lain tentu saja akan berteriak : oh noooo! Andai saja ini terjadi sejak dulu… dulu sekali sebelum aku menikah. Pasti ini menyenangkan!

Aih... curhatan yang lucu ya?! Eit! Jangan tertawa dulu! Siapa tahu kamu juga mengalami hal yang sama...!

Curhat seseorang...

Cinta Karena-MU
(Episode : Aku tak dapat memilih)
Aku masih mencarimu sampai detik terakhir aku bernapas. Walau mungkin bukan pencarian seperti dulu lagi. Sebatas aku merindukan saat-saat pertemuan terakhir denganmu dalam bayang kenangan reuni SMP kita dulu. Aku ingat betul malam sebelumnya. Aku bermimpi dipatuk ular tepat di keningku, tapi aku tak terlalu menghiraukan patukan ular tersebut. Dalam mimpiku itu, aku hanya tersenyum. Padahal aku sangat takut pada binatang berbisa tersebut, walau sekadar membayangkannya. Herannya, saat aku hampir terjaga dari tidur, tiba-tiba aku merasakan sesal yang sangat… entah kenapa. Walau rasa sesal itu terus berlanjut sampai beberapa saat di hari itu, aku tak berpikir apa-apa lagi untuk waktu berikutnya. Ah, just stupid dream!
Sampai saat langkahku memasuki pintu gerbang aula itu, segalanya berubah drastis detik itu juga. Detik di mana kakiku menginjak batas pintu dan detik di mana mata ini menangkap sosok tubuhmu yang semakin jangkung dan gagah.
“Hai… apa khabar, kumaha damang?” Sapaku ceria saat itu. Tanpa prasangka dan tanpa embel-embel rasa lain di hatiku. Bersih…
“Alhamdulillah, baik. Kamu sendiri gimana? Betah di Bogor ?” Jawabmu dalam wajah yang bersemu sipu. Aih… manisnya. Mengingatkanku pada sosok aktor sinetron idolaku.
“yah… biasa-biasa saja. Kapan lulus? Kudengar kamu mau merantau ke pedalaman Irian yah? Wah hebat ya… bisa dapat jodoh orang sana doooong!” Candaku dengan benak dipenuhi bayangan sosok wanita berambut keriting kecil dan berkulit gelap.
“Yah kalau Allah sudah menakdirkan, mau apa lagi? Kok kamu tahu berita itu?” Ada nada terkejut dalam intonasi kalimatmu. Yang kuterjemahkan ‘kecewa’ atas komentarku tentang jodohmu. Sayang sekali, terjemah itu amat sangat terlambat kusadari. Padahal saat detik-detik terakhir pertemuan di acara reuni itu, tatap mata kita sempat bertaut lama tanpa sengaja. Tatap mata yang kemudian aku rasakan sebagai awal adanya sinyal hati yang terikat satu dengan lain, menjalin sebuah ikatan indah yang tiba-tiba saja membelit erat hatiku. Begitu eratnya… Sampai sesal itu harus ada, karena kesadaran yang datang tiba-tiba. Ya Tuhan… aku punya rindu! Rindu untukmu… Rindu yang begitu menyakitkan! Karena rindu itu kusadari saat engkau telah pergi. Kemana pergimu? Entahlah… Mungkin benar ke pedalaman Irian sana. Mungkin juga ke sebuah tempat lain. Aku tak tahu…
Aku terlalu tinggi hati untuk bertanya tentang keberadaanmu, walau sebenarnya hati ini teramat begitu ingin menemuimu. Berada di dekatmu. Merasakan kembali desiran indah yang menyejukkan saat berdiri di sisimu. Ah, di mana kamu? Apa kamu punya rasa yang sama dengan yang aku rasa? Rasa indah itu… Mungkinkah itu cinta?
Sampai detik ini pun aku masih suka berpikir tentang kamu. Di mana kamu, apa aktivitasmu, siapa pasangan hidupmu, masih ingatkah kamu sama aku? Yah, begitulah… Bayangan kamu sesekali masih suka mewarnai hari-hariku. Terutama saat aku berada dalam situasi gamang tentang pernikahanku. Karena jujur, dalam kehidupan rumah tanggaku, ada kalanya aku merasa tertekan dan suka menyalahkan keadaan. Mengapa aku harus menikah dengan seseorang yang tak pernah kukenal, hatta bertemu barang sejenak di masa laluku. Mengapa aku menurut saja pada apa yang terjadi, saat seorang teman menawarkan biodata seorang laki-laki yang tak pernah kutahu sebelumnya. Mungkin kondisiku saat itu ‘merasa tak enak’ jika menolak tawarannya, atau mungkin aku sudah putus asa tak ada bayangan yang terlintas mau apa aku setelah lulus kuliah? Karena cita-citaku saat itu sangat teramat sederhana, yaitu menjadi seorang istri dan ibu yang baik buat anak-anaknya. Atau mungkin aku sudah lelah menunggu dan mencarimu, yang entah ada di belahan bumi mana saat itu. Sungguh… Aku tak bisa memilih dan menawar, pada saat jodohku sudah ditetapkan olehNYA. Aku harus tunduk…
Maafkanlah aku. Karena mungkin telah menyakiti perasaanmu. Karena mungkin, aku telah membuatmu bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya rasa yang ada padaku, saat salammu terkirim lewat seorang karibku yang kebetulan menjadi temanmu di bimbingan belajar saat SMA. Saat kita berjalan bersisian dan bicara akrab di pertemuan tak terduga ‘Try out UMPTN’. Saat seseorang bertanya padaku, bagaimana hubunganku denganmu. Saat kumenolak ajakanmu untuk mengantarku pulang dari reuni itu. Saat … ah! Banyak saat-saat lain itu, yang lambat kusadari, bahwa itu adalah sinyal untukku…
Maafkanlah kembali aku. Andai kau tahu, saat aku merasa teramat kehilangan, aku berusaha mencarimu. Tapi tak pernah kutahu dimana kamu. Bahkan yang membuatku terhenyak, saat seseorang mengatakan, kau telah bertunangan dengan seseorang di Irian sana. Aku merasa luluh lantak… Pencarianku harus berakhir. Aku tak dapat memilih siapa lelaki yang berhak berjalan di sisi hari-hari masa depanku. Aku ikhlas… Karena cinta padaNYA, ternyata jauh lebih indah dari segala apa yang kuduga sebelumnya. 

Thursday 17 March 2011

KITA ADALAH SANG MOTIVATOR!
(Writted by: Titin Supriatin, S.P)

“Bu guru Ja’far nangis bu!” Seorang murid perempuanku mengadu.
“Menangis? Memangnya kenapa Git, tumben Ja’far menangis. Coba kamu ajak dia menemui bu guru di sini.” Segera kukemasi beberapa buku yang baru selesai kunilai. Kureka beberapa kemungkinan yang menyebabkan Ja’far menangis. Kulukis sosok muridku yang berbadan paling kecil itu dalam benakku. Ja’far, berkelahikah? Ah, rasanya tak mungkin, Ja’far anak yang baik, tak punya musuh. Terjatuhkah waktu main benteng di halaman? Tapi tadi dia sempat berkata mau ke perpustakaan mencari buku yang tadi kubacakan di kelas. Ja’far gemar sekali membaca. Atau…
“Nih bu Ja’farnya…” Gita datang menuntun muridku yang baru kelas satu itu.
“Kenapa Far, ada apa nak? Tumben kamu menangis. Baru kali ini ibu melihatmu menangis. Jagoan kok nangis…” Aku merangkul pundaknya. Ja’far semakin menunduk. Bahunya berguncang semakin keras, menahan tangis. Aku semakin mengeratkan rangkulanku. Aku merasa ada sebuah peristiwa yang pasti sangat melukai perasaannya.
“Kenapa sih… Coba cerita sama bu guru.”
“Ja’far malu bu… “ Bisik Ja’far. Kepalanya mendongak ke arahku, kemudian melirik Gita yang masih ada di sampingnya. Oh… yap! Aku paham,
“Ehm, Gita main di luar dulu ya nak. Biar bu guru menyelesaikan masalah ini hanya berdua dengan Ja’far. Trima kasih kamu sudah menolong.” Aku meminta Gita keluar kelas.
Meluncurlah cerita ikhwal menangisnya Ja’far. Walau dengan sedikit terbata, akhirnya aku mengerti. Rupanya kaos kaki Ja’far robek, bolong besar malah. Dan itu yang membuat teman-teman menertawakannya. Sementara ayah Ja’far belum bisa membelikan yang baru, karena uangnya terpakai untuk membeli kebutuhan yang lain. Aku mahfum benar, tidak semua muridku berasal dari keluarga yang mampu. Walau sebetulnya sekolah tempatku mengajar diperuntukkan untuk kalangan menengah-atas, tapi ada beberapa di antara mereka yang masuk karena mendapat keringanan biaya. Jadi, kaos kaki robek bisa menjadi sebuah bahan tertawaan untuk murid-muridku.
“Ja’far, bu guru ingin berbagi cerita sama kamu…maukah kamu mendengarnya?” Sambil menunggu jawaban Ja’far, kucoba mengumpulkan potongan-potongan kisah hidup yang pernah kualami sewaktu kecil dulu, ah ya… Ja’far mengangguk. Aku pun memulai ceritaku.
“Saat ibu seusiamu, ibu pergi ke sekolah tak pernah memakai sepatu. Ibu hanya memakai sandal jepit. Seragam pun tidak. Padahal teman-teman yang lain memakainya. Awalnya ibu malu sekali… hampir-hampir ibu minta berhenti bersekolah. Apalagi setiap ibu bertanya pada orang tua ibu kenapa aku ga dibelikan seragam dan sepatu, mereka bilang belum punya uang. Rasanya sedih sekali… tapi ibu sangat ingin bersekolah. Karena ibu ingin menjadi anak yang pintar. Akhirnya ibu bersama kakak ibu yang laki-laki punya ide berjualan es mambo sepulang sekolah. Kebetulan di belakang rumah ada lapangan bola yang sering dipakai untuk bertanding, jadi kami bisa berjualan di sana. Alhamdulillah… jualan kami selalu laku. Uang keuntungan dari berjualan kami kumpulkan. Akhirnya ibu bisa membeli sepatu dan seragam sendiri, tanpa meminta pada orang tua… yah, walaupun lama terkumpulnya tapi tidak apa-apa…. “
“Ibu tidak malu di sekolah diejek teman-teman ibu?” Ja’far bertanya antusias.
“Ehm… awalnya ibu malu juga kalau ketemu teman saat ibu berjualan es. Tapi lama-lama ibu tidak peduli, ibu mencari uang dengan halal kok, tidak mencuri… yang penting bisa terus bersekolah memakai seragam dan sepatu. Alhamdulillah… ibu selalu masuk 3 besar di sekolah dulu…”
Air mata Ja’far menyurut. Mata bulatnya menatapku penuh takjub. Entah apa yang ada dalam benaknya. Mungkin Ja’far membayangkan bu Titin kecil yang sedang berkeliling lapangan menjajakan es sambil berteriak : “Es… es…” atau membayangkan Bu Titin kecil yang sedang diejek teman-temannya karena ke sekolah tidak memakai seragam dan sepatu. Ah, entahlah. Yang jelas, Ja’far mulai tersenyum malu. Kemudian menyeka hidung dan pipinya yang basah.
“Terima kasih ya Bu Titin. Kalau Ibu bisa seperti itu, aku yakin aku juga bisa seperti itu. Boleh kan aku juga berjualan di sekolah?”
“Oh, tentu saja boleh…!”
Subhanallah… Tak sampai dalam hitungan menit, Ja’far sudah tertawa ceria bersama temannya yang lain. Melupakan kesedihan dan ejekan teman-temannya. Melupakan aku yang duduk termenung sendirian dalam senyum dikulum. Duhai Rabb Yang Maha Sempurna dalam penciptaan… Alangkah sederhananya pekerjaan “menyembuhkan” luka hati seorang anak kecil. Tak butuh energy yang banyak. Tak perlu teriakan amarah. Tak ada uang yang harus dikeluarkan. Yang diperlukan hanyalah telinga untuk mendengar dengan penuh kesabaran. Yang diperlukan hanyalah senyum tulus dan pengakuan. Yang diperlukan hanyalah kalimat-kalimat penuh motivasi dari lubuk hati kasih sayang. Karena kita adalah SANG MOTIVATOR. Motivator ulung bernama GURU. Wallahu ‘alam bissawab. (Bekasi, 10 Maret 2011)

Sunday 20 February 2011

Saat anakku berkata: Orang Tua Pintar VS Orang Tua Hebat
(oleh : Titin Supriatin, S.P)

“Sekarang aku tahu. Ternyata ada Orang tua PINTAR dan orang tua HEBAT di jaman sekarang ini.” Begitu kalimat yang diucapkan anakku Azzam pada suatu malam. Telingaku sejenak berdiri tegak. Aku tertarik mendengarnya. Wah, siap-siap aku dikritik nih, bisikku was-was.
“Oh ya? Apa tuh ciri-cirinya? Coba jelaskan dong pada ibu.” Aku semakin penasaran. Aku masuk kategori mana nih dalam pandangan si kritikus ini?
“Ciri orang tua pintar lebih banyak memberikan perhatian pada anaknya dengan cara memenuhi segala kebutuhan materinya saja. Uang, barang-barang, kemewahan. Pokoknya, apa yang diminta anak, pasti akan dipenuhi. Kalo orang tua hebat cirinya, lebih banyak membimbing dan mengarahkan kehidupan anaknya sesuai kebutuhan.”
“Kalo begitu, ibu sama ayah masuk golongan yang mana?” Kejarku makin antusias.
“Orang tua hebat.” Jawab anakku tanpa ekspresi, menandakan dia memang serius dan tak berniat untuk menyanjung atau ada keinginan di balik jawabannya itu.
Alhamdulillah, bisikku dalam hati sambil bernapas lega. Aku jadi penasaran, siapa atau dari mana anakku tahu tentang orang tua pintar dan hebat ini?
“Kamu tahu dari mana tentang itu?”
“Dari Pak guru.”
“Oh… begitu ya?”
Subhanallah! Aku jadi terharu. Bukan karena anakku mengatakan kami orang tua hebat. Tapi lebih pada begitu besarnya peran guru dalam menyampaikan informasi positif dan membangun karakter anak didiknya.
Aku jadi teringat bagaimana anak-anakku tumbuh dewasa setelah mendapat pendidikan, hatta mereka masih duduk di bangku TK. Terkadang aku surprise mendapati hal-hal baru yang mampu dilakukan anak-anakku, karena aku merasa ada beberapa bagian yang tidak kuajarkan pada mereka. Seperti bisa cebok sendiri, memakai sepatu atau baju sendiri, membaca do’a harian, menulis dan membaca, dan banyak hal lain lagi yang membuat aku selalu harus mengucap subhanallah dan Alhamdulillah.
Seperti yang kudapati pula di sebuah sore saat pulang dari tempat bekerja. Terdengar ramai dari sebuah TPA, suara anak-anak membaca do’a untuk orang tua “Rabbighfirli waliwalidayya, warhamhuma, kamaa robbayaani shoghiroo. Ya Allah, ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku, sayangilah mereka, sebagaimana mereka mengasihi dan menyayangiku di waktu kecil.”
Mendengar alunan do’a itu, ada air mata haru yang menetes di pipiku. Aku membayangkan wajah tulus para guru yang sedang mengajar dengan penuh semangat. Tak peduli anak didiknya ribut atau berperilaku menjengkelkan. Dengan sabar mereka menghadapinya. Semakin banyak masalah yang dihadapi, semakin semangat mereka menaklukannya. Terima kasih guru anak-anakku, telah kau ajarkan begitu banyak hal baru pada anak-anak kami. Telah kau ajarkan do’a yang begitu indah untuk kami para ayah dan ibu. Dari keikhlasan bapak dan ibu guru pulalah anak-anak bisa membaca do’a itu dengan lancar. Kami tahu, do’a anak yang shaleh akan terus mengalirkan pahala bagi kami hingga tiba di yaumil hisab nanti. Semoga pahala dan keberkahan senantiasa terus mengalir atas amal yang Bapak dan Ibu guru lakukan pada putra dan putri kami. Amin Ya Rabb… (Bekasi, 3 Februari 2011)

pengalaman spiritual

Siapa Bilang Nggak Mungkin?
(Oleh :Titin Supriatin, S.P)

Kalimat itu yang pertama terucap, saat rangkaian ibadah haji yang saya jalani usai. Kalimat yang terucap dengan penuh kebahagiaan dan kesyukuran atas terwujudnya mimpi yang sedari dulu tertanam di hati, yaitu mimpi untuk pergi ke baitullah di negeri para nabi. Bagaimana tidak bersyukur dan bahagia? Karena mendapati kenyataan, bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk pergi ke sana ternyata cukup besar untuk ukuran saya yang cuma seorang guru SD ini. Apalagi guru SD swasta di pinggiran kota Jakarta, gajinya kalau dihitung, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekunder saja. 35 juta! Bayangkan! Dari mana saya bisa mengumpulkan uang sebanyak itu? Kalaupun bisa dikalkulasikan, paling-paling kemungkinannya adalah harus menabung dalam jangka waktu yang cukup lama. Padahal trend ONH dari tahun ke tahun selalu mengalami kenaikan. Maka semakin lengkaplah pembenaran sebuah statemen yang mengatakan bahwa rukun Islam yang kelima itu kan NAIK HAJI JIKA MAMPU. Ah, Jika mampu ini kok… kalau nggak mampu? Ya sudahlah!
“Guru SD, bisa naik haji? Ah, mana mungkin…?” “Dapat warisan kali, atau dapat tunjangan sertifikasi?” “Barangkali ada yang ngehajiin.” Yang lebih santun mungkin “Subhanallah (dalam hati berbisik, masa iya sih)” adalah kalimat tak terucap yang saya tangkap dari sorot wajah teman-teman dan yang mereka ucapkan saat mendengar berita tentang akan pergi hajinya saya waktu itu. Dengan segala rasa hormat dan keyakinan, saya jawab: Siapa bilang nggak mungkin? Saya telah membuktikannya! Pergi haji dengan uang yang saya kumpulkan rupiah demi rupiah. Uang gaji saya sendiri. Gaji seorang guru SD! Maka dalam kesempatan ini, saya ingin berbagi kiat dan pengalaman bagaimana akhirnya bisa menunaikan rukun Islam yang kelima itu.
Pertama sekali yang harus ditanamkan adalah niat yang ikhlas. Kerinduan yang terus menerus. Azzam yang kuat bahwasannya ibadah haji ini adalah salah satu rukun Islam yang jika kita belum memenuhinya, maka belum sempurna ke-Islaman kita. Mohon maaf apabila pandangan ini keliru, tapi begitulah pandangan pribadi saya. Pandangan seperti itu pula lah yang memacu tekad agar saya harus bisa melaksanakan perintah Allah ini dengan segera, karena kita tak tahu, apakah besok Allah masih memberikan kita waktu untuk hidup. Saya ingin menghadap Allah, dalam keadaan sempurna rukun Islam saya.
Setelah menanamkan keyakinan itu, mulailah untuk melakukan aksi. Aksi pertama adalah MENABUNG. Masih ingat lagu jaman kita kecil dulu? Bang bing bung yok, kita nabung. Tang ting tung yok, jangan dihitung. Tahu tahu nanti kita dapat untung. Berapa pun uang yang kita punya, setelah setoran awal tabungan tentunya, kita bisa menyisihkannya untuk pergi haji. Jangan pernah dihitung atau dipikirkan. Biarkan saja mengalir apa adanya. Bolehlah sesekali dihitung dan diterawang, duh… kok lama banget ya nggak ngumpul-ngumpul uangnya. Tapi itu bisa jadi menambah semangat kita untuk terus menabung dan berusaha.
Putuskan mengumpulkan biaya untuk naik haji sebagai prioritas utama. So, kebutuhan-kebutuhan lain yang sekiranya tidak penting-penting amat tundalah terlebih dahulu. Semisal ingin beli mobil, pasang AC, beli baju baru, HP baru, de-el-el. Fokuskan untuk satu tujuan itu: Naik haji! Terkadang memang sedih ketika dihadapkan pada pilihan sulit antara memenuhi kebutuhan sesuai keinginan hati yang memang penting juga, atau menabung agar cepat terkumpul biaya untuk pergi ibadah haji. Maka, hiburlah hati dengan kalimat : “Ya Allah, hanya ini yang bisa aku lakukan untuk memenuhi kewajibanku atas syariatMU. Kurelakan menepikan hasrat dan inginku yang lain demi mendapat cinta dan ridho MU. Maka mudahkanlah ya Rabb…”
Terakhir adalah perbanyak doa dan rendahkan hati. Karena banyak cerita yang membuktikan bahwa pergi ke tanah suci memang benar-benar panggilan dan undangan dari Allah. Banyak orang kaya dan mampu pergi, tapi hatinya belum tergerak untuk ke sana. Ada orang yang sudah siap berangkat, tak jadi pergi karena satu dua alasan atau peristiwa yang membuatnya batal pergi. Tapi bukanlah pula dijadikan alasan belum pergi haji karena belum dapat panggilan dari Allah. Bukankah sudah jelas dikatakan dalam Al Qur’an QS Ali Imran : 97 “.…mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah… “ Wahyu Allah itu lah adanya sebuah bukti, bahwa Allah sebetulnya telah memberi perintah dan memanggil kita untuk segera memenuhinya. Selagi kita bisa untuk penuhi panggilan NYA, maka segeralah penuhi panggilan itu dengan berlari!
Tunggu apa lagi? JUST DO IT! Segera lakukan langkah awal untuk membuktikan kesungguhan bahwa kita benar-benar ingin menunaikan rukun Islam yang kelima ini. Karena saya yakin, setiap kita pasti sangat ingin pergi haji. Mulailah menabung. Buktikan bahwa jika kita bersungguh-sungguh, maka tak ada lagi kalimat Mana mungkin? Man jadda wa jadda! Keajaiban itu akan datang tanpa diduga. Allah berikan Kemudahan pada kita dalam proses awal maupun akhir perjalanan ibadah haji kita. Di sana pun banyak kebahagiaan dan kedamaian yang kita temui. Kita dapat berdiri tepat di hadapan kiblat shalat kita : Ka’bah. Serasa tak ada hijab antara kita dengan Sang Pencipta. Kita bisa rasakan kehadiran Rasulullah, karena di sanalah jejak-jejak kehidupan Beliau pernah ada. Kita bisa melipatgandakan pahala sampai ratusan ribu pahala ibadah di sana. Kita bisa bertemu, mengenal dan merasakan indahnya persaudaraan Islam dengan umat muslim dari berbagai negara di seluruh penjuru dunia. Tak pandang warna kulit dan bahasa. Subhanallah… sungguh, pergi haji adalah hadiah terindah yang Allah berikan pada saya di sepanjang usia kehidupan saya. Wallahu ‘alam bi sawwab. (Bekasi, 28 Januari 2011: Jazakillah pada keluarga besar Thariq Bin Ziyad atas do’a dan dukungannya)

Wednesday 9 February 2011