Ibu, Aku Ingin Pacaran.
(By : Bunda Zara, orang tua murid SMAIT Thariq
Bin Ziyad)
Sebuah
sore yang manis. Dengan secangkir teh
yang manis pula. Angin sejuk menerpa
lembut melalui pintu rumah yang terbuka.
Membawa semilir harum melati yang beberapa kuntumnya sudah mulai
bermekaran. Langit senja yang berwarna
jingga menambah rasa syukurku hari itu.
Rasa syukur karena masih bisa duduk manis menikmati istirahat sejenak dari
aktivitas rutin sebagai seorang ibu.
Saat
hatiku menyenandungkan rasa syukur padaNYA, sulungku mendekat dengan roman
sumringah. Lalu duduk bersimpuh di sisi
kakiku. Mata bulatnya terlihat ragu
menatapku.
“Kenapa
Teh, ada yang bisa Ibu bantu?” Sapaku
lembut. Aku sudah tahu betul gesture tubuh
anak-anakku. Saat kapan mereka marah,
sedih, gembira, atau butuh bantuan.
“Uhm,
boleh ngga aku nanya Bu?” Ragu tergambar
jelas dalam pertanyaannya.
“Boleh,
tentu saja boleh. Mau nanya apa?”
“Uhm…
aduh, gimana ya… tapi ibu jangan marah ya…” Rajuk sulungku, matanya bergantian
menatapku dan rumpun melati yang bergoyang di luar sana.
“Kenapa
mesti marah? Memang ada masalah apa sih…
Bicara saja. Selama ini jarang-jarang
kan Ibu marah?” Hatiku mulai
kebat-kebit. Wah, ada apa nih si
teteh. Tumben-tumbenan seperti ini. Biasanya dia cuek saja bicara tentang banyak
hal.
“Uhm…
Aku lagi galau nih Bu.” Katanya, semakin
membuat rasa penasaranku sebagai ibu!
“Galau,
memangnya kenapa, ada apa sih?” Tanyaku
penuh selidik.
“Itu Bu… Aku kok ingin pacaran ya…”
“Itu Bu… Aku kok ingin pacaran ya…”
Ups! Gubrak deh!
Akhirnya, tiba juga masa pertanyaan itu. Masa-masa pubertas anakku yang memang sudah
kuperkirakan jauh-jauh hari. Tapi,
pertanyaan itu mau tak mau membuatku kaget mendekati syok! Mau tak mau aku harus berfikir keras, cerdas
dan cermat dalam waktu sepersekian menit agar bisa menjawab pertanyaan anakku sebijak mungkin, tanpa membuat lubang
duka di hatinya.
Bisa dibayangkan,
tak ada kamus pacaran dalam Islam!
Karena kalau dilihat dari definisi pacaran, yaitu hubungan antara dua
lawan jenis dalam sebuah ikatan yang dibuat sendiri oleh mereka. Tak terikat secara hukum sebetulnya, dengan
berbagai contoh aktifitas para pelakunya, yang masya Allah… kadang membuat
orang yang beradab merasa risih melihatnya.
Dan yang paling mengerikan (Maaf, sengaja bahasanya dibuat dasyat), bisa
menyebabkan pelakunya terjerumus ke dalam jurang kenistaan. Naudzubillah…
Sebagai orang tua,
tentu saja aku tak ingin anakku, buah hatiku yang kukandung, kulahirkan dan
kurawat serta kudidik sampai sebesar dan setinggi sekarang ini, akan terjerumus
ke dalam dosa besar! Tapi, hari ini, dia
justru meminta hal yang musykil itu.
Tak.
“Apa anakku? Ingin pacaran? Kamu sudah mulai suka sama seseorang
ya…” Godaku dengan senyum bijak. Kutepis keinginan kuat untuk segera
mengatakan TIDAK, No Way!
“Nggak sih. Belum kok.
Aku belum suka sama seseorang.”
“Trus, kenapa kamu
tiba-tiba ingin pacaran? Atau… Uhm,
pasti ada cowok yang suka sama kamu ya?
Kamu sudah ditembak?” Tanyaku
kembali menggodanya. Sengaja kugunakan
istilah “menembak” yang sedang kondang di dunia remaja, agar anakku merasa
nyaman mengungkapkan isi hatinya. Padahal,
sungguh, dadaku semakin kebat kebit rasanya.
Full of khawatir. Tapi, tenanglah
duhai ibu…
“Iiih, Ibu! Belum ada yang suka sama aku kok!” Rajuknya.
Pipinya menyemburatkan rona merah yang kentara. Aha, Virus merah jambu sudah mulai merambah
hatinya!
“Trus kenapa dong,
apa alasan kamu tiba-tiba ingin pacaran kalo bukan karena ada seorang cowok
yang mulai kirimin kamu SMS.”
“Uhm, habisnya
teman-temanku banyak yang sudah punya pacar.
Jadi kadang ada perasaan ingin
nyobain seperti mereka.”
Ups yang kedua! Inilah resiko yang harus kami tanggung, saat
memutuskan mengembalikan sulungku dari pendidikan ala boarding school. Akan ada yang berubah dalam pola pergaulan
anakku dengan lawan jenis. Beda masa
saat ia bersekolah di asrama. Pemisahan
sekolah dan asrama antara putra dan putri berhasil meminimasir pergaulan
antara mereka.
“Teteh, kalau hanya
sekedar ingin seperti kebanyakan teman, itu bukan alasan yang harus kamu
turuti.” Jawabku sambil mencoba mengatur
nafas. Berfikir dan memilah sekaligus
mengenang kembali perjalanan hidup masa remajaku dulu. “Kamu tahu, dulu waktu Ibu remaja, Ibu paling tidak suka mengikuti trend yang
ada. Ibu selalu ingin menjadi orang yang
berbeda dengan teman-teman yang lain.
Makanya, ketika teman-teman menikmati masa remaja mereka yang kebanyakan
hura-huranya. Begadang di malam minggu,
jalan-jalan ke mall atau bahkan pacaran, ibu justru sebaliknya. Ibu ingin berbuat sesuatu yang berbeda. Yang positip tentunya. Saat teman-teman bersuka cita di luar rumah,
ibu lebih suka belajar atau membaca buku.
Memang sih kadang menyedihkan dan kesepian. Tapi itu yang bisa ibu lakukan untuk membuat
obsesi ibu menjadi nyata, membahagiakan kakek dan nenek lewat prestasi yang
membanggakan. Apalagi kalau harus
mencontoh teman-teman yang sudah mulai pacaran.
Nggak deh…” Panjang lebar aku
uraikan penolakan halusku.
“Iya juga sih…” Anakku menunduk sedih. Entah apa yang ada di benaknya saat itu.
“Kamu tahu arti
pacaran?”
“Uhm… ya gitu deh,
jadian sama cowo. Trus boleh SMS an
boleh ngobrol, jalan berdua…”
“Tuh, kan… memangnya
dibolehkan seperti itu dalam Islam? Lagi
pula Teh, usia kamu masih muda. Kalau sekarang kamu sudah mulai bergaul erat
sama cowok yang kamu suka, kamu akan hilang kesempatan untuk memilih cowok yang
lebih hebat, lebih keren dari cowok kamu.
Karena kalau kamu pacaran, pastinya ada komitmen untuk tidak bergaul
dengan teman cowok yang lain kan?
Padahal Waktu kamu masih panjang
untuk bisa memilih dan mendapatkan jodoh yang terbaik.”
“Benar juga
ya.” Rona sumringah mulai berpendar di
wajah anakku.
“Kalau kamu menyukai
seseorang, untuk saat ini keep silent sajalah.
Cukup sekedar simpan dulu dalam hatimu.
Cinta seperti itu justru lebih abadi.
Ibu juga dulu seperti itu. Tak
apa kok kamu menyukai seseorang. Karena
memang itu sudah fitrah (bawaan) manusia. “
“Hihi… Benar juga
kata Ibu.” Anakku mulai tertawa kecil
sekarang.
“Ibu tahu kok
rasanya jatuh cinta. Seru ya… Serasa di
sekeliling kita ada bunga-bunga warna warni, kupu-kupu beterbangan, ada pelangi
di atas kepala kita. Wah, pokoknya rasa
indah itu memang ada. Subhanallah,
harusnya kita bersyukur pada Allah, karena diberikan anugrah untuk mencintai
seseorang. Hanya saja, rassa syukur itu
harus kita tunjukkan dengan hal yang positip.”
“Haha… si Ibu. Bener banget.
Indah sekali rasa kalau lagi suka sama seseorang. Iya deh, aku nggak akan pacaran. Aku janji.
Aku akan bahagiakan ayah sama ibu.
Doain aku biar kuat berada di tengah-tengah duniaku sekarang ya Bu… Kalau dulu di asrama, aku kan jarang banget
ketemu teman cowok. Eh, sekarang…
sungguh menggoda!”
“Eits! Jaga pandangan. Jangan membuat ayah dan ibu khawatir melepasmu di luaran sana. Haha… Ibu yakin kamu mampu Teh. Pokoknya, jangan malu untuk menjadi seseorang
yang berbeda dari yang lain. Asal beda
itu karena keyakinan akan sebuah kebenaran….”
Kututup obrolan seru
itu dengan nafas lega. Kukecup lembut
kening anakku dengan kasih sayang usai kami shalat magrib berjamaah. Seraya kubisikan doa untuknya. Doa khusyu penuh harap pada Rabb, sang
pencipta dan pemberi amanah anak-anakku.
“Duhai Rabb,
lindungi anak-anak hamba dari mara bahaya dan godaan syetan yang
mengintai. Saat hamba dekat maupun jauh
dari mereka. Karena Engkaulah
sebaik-baik penjaga dan penolong…”
Selarik air mata jatuh di pipiku.
Menghantarkan doa dan harap yang amat tulus padaNYA, semoga aku
bisa menjadi ibu yang baik untuk mereka, anak-anakku….
No comments:
Post a Comment