Saturday 8 September 2012


Ibu, Aku Ingin Pacaran.

(By : Bunda Zara, orang tua murid SMAIT Thariq Bin Ziyad)
          
            Sebuah sore yang manis.  Dengan secangkir teh yang manis pula.  Angin sejuk menerpa lembut melalui pintu rumah yang terbuka.  Membawa semilir harum melati yang beberapa kuntumnya sudah mulai bermekaran.  Langit senja yang berwarna jingga menambah rasa syukurku hari itu.  Rasa syukur karena masih bisa duduk manis menikmati istirahat sejenak dari aktivitas rutin sebagai seorang ibu. 
            Saat hatiku menyenandungkan rasa syukur padaNYA, sulungku mendekat dengan roman sumringah.  Lalu duduk bersimpuh di sisi kakiku.  Mata bulatnya terlihat ragu menatapku.
            “Kenapa Teh, ada yang bisa Ibu bantu?”  Sapaku lembut.  Aku sudah tahu betul gesture tubuh anak-anakku.  Saat kapan mereka marah, sedih, gembira, atau butuh bantuan.
            “Uhm, boleh ngga aku nanya Bu?”  Ragu tergambar jelas dalam pertanyaannya.
            “Boleh, tentu saja boleh.  Mau nanya apa?”
            “Uhm… aduh, gimana ya… tapi ibu jangan marah ya…” Rajuk sulungku, matanya bergantian menatapku dan rumpun melati yang bergoyang di luar sana.
            “Kenapa mesti marah?  Memang ada masalah apa sih… Bicara saja.  Selama ini jarang-jarang kan Ibu marah?”  Hatiku mulai kebat-kebit.  Wah, ada apa nih si teteh.  Tumben-tumbenan seperti ini.  Biasanya dia cuek saja bicara tentang banyak hal.
            “Uhm… Aku lagi galau nih Bu.”  Katanya, semakin membuat rasa penasaranku sebagai ibu!
            “Galau, memangnya kenapa, ada apa sih?”  Tanyaku penuh selidik.
            “Itu Bu… Aku kok ingin pacaran ya…”
            Ups!  Gubrak deh!
 Akhirnya, tiba juga masa pertanyaan itu.  Masa-masa pubertas anakku yang memang sudah kuperkirakan jauh-jauh hari.  Tapi, pertanyaan itu mau tak mau membuatku kaget mendekati syok!  Mau tak mau aku harus berfikir keras, cerdas dan cermat dalam waktu sepersekian menit agar bisa menjawab pertanyaan  anakku sebijak mungkin, tanpa membuat lubang duka di hatinya.
Bisa dibayangkan, tak ada kamus pacaran dalam Islam!  Karena kalau dilihat dari definisi pacaran, yaitu hubungan antara dua lawan jenis dalam sebuah ikatan yang dibuat sendiri oleh mereka.  Tak terikat secara hukum sebetulnya, dengan berbagai contoh aktifitas para pelakunya, yang masya Allah… kadang membuat orang yang beradab merasa risih melihatnya.  Dan yang paling mengerikan (Maaf, sengaja bahasanya dibuat dasyat), bisa menyebabkan pelakunya terjerumus ke dalam jurang kenistaan.  Naudzubillah…
Sebagai orang tua, tentu saja aku tak ingin anakku, buah hatiku yang kukandung, kulahirkan dan kurawat serta kudidik sampai sebesar dan setinggi sekarang ini, akan terjerumus ke dalam dosa besar!  Tapi, hari ini, dia justru meminta hal yang musykil itu.  Tak. 
“Apa anakku?  Ingin pacaran?  Kamu sudah mulai suka sama seseorang ya…”  Godaku dengan senyum bijak.  Kutepis keinginan kuat untuk segera mengatakan TIDAK, No Way!
“Nggak sih.  Belum kok.  Aku belum suka sama seseorang.”
“Trus, kenapa kamu tiba-tiba ingin pacaran?  Atau… Uhm, pasti ada cowok yang suka sama kamu ya?  Kamu sudah ditembak?”  Tanyaku kembali menggodanya.  Sengaja kugunakan istilah “menembak” yang sedang kondang di dunia remaja, agar anakku merasa nyaman mengungkapkan isi hatinya.  Padahal, sungguh, dadaku semakin kebat kebit rasanya.  Full of khawatir.  Tapi, tenanglah  duhai ibu…
“Iiih, Ibu!  Belum ada yang suka sama aku kok!”  Rajuknya.  Pipinya menyemburatkan rona merah yang kentara.  Aha, Virus merah jambu sudah mulai merambah hatinya!
“Trus kenapa dong, apa alasan kamu tiba-tiba ingin pacaran kalo bukan karena ada seorang cowok yang mulai kirimin kamu SMS.”
“Uhm, habisnya teman-temanku banyak yang sudah punya pacar.  Jadi kadang ada  perasaan ingin nyobain seperti mereka.”
Ups yang kedua!  Inilah resiko yang harus kami tanggung, saat memutuskan mengembalikan sulungku dari pendidikan ala boarding school.  Akan ada yang berubah dalam pola pergaulan anakku dengan lawan jenis.  Beda masa saat ia bersekolah di asrama.  Pemisahan sekolah dan asrama antara putra dan putri berhasil meminimasir pergaulan antara mereka.
“Teteh, kalau hanya sekedar ingin seperti kebanyakan teman, itu bukan alasan yang harus kamu turuti.”  Jawabku sambil mencoba mengatur nafas.  Berfikir dan memilah sekaligus mengenang kembali perjalanan hidup masa remajaku dulu.    “Kamu tahu, dulu waktu Ibu remaja,  Ibu paling tidak suka mengikuti trend yang ada.  Ibu selalu ingin menjadi orang yang berbeda dengan teman-teman yang lain.  Makanya, ketika teman-teman menikmati masa remaja mereka yang kebanyakan hura-huranya.  Begadang di malam minggu, jalan-jalan ke mall atau bahkan pacaran, ibu justru sebaliknya.  Ibu ingin berbuat sesuatu yang berbeda.  Yang positip tentunya.  Saat teman-teman bersuka cita di luar rumah, ibu lebih suka belajar atau membaca buku.  Memang sih kadang menyedihkan dan kesepian.  Tapi itu yang bisa ibu lakukan untuk membuat obsesi ibu menjadi nyata, membahagiakan  kakek dan nenek lewat prestasi yang membanggakan.  Apalagi kalau harus mencontoh teman-teman yang sudah mulai pacaran.  Nggak deh…”  Panjang lebar aku uraikan penolakan halusku.
“Iya juga sih…”  Anakku menunduk sedih.  Entah apa yang ada di benaknya saat itu.
“Kamu tahu arti pacaran?”
“Uhm… ya gitu deh, jadian sama cowo.  Trus boleh SMS an boleh ngobrol, jalan berdua…”
“Tuh, kan… memangnya dibolehkan seperti itu dalam Islam?  Lagi pula Teh,  usia kamu masih muda.  Kalau sekarang kamu sudah mulai bergaul erat sama cowok yang kamu suka, kamu akan hilang kesempatan untuk memilih cowok yang lebih hebat, lebih keren dari cowok kamu.  Karena kalau kamu pacaran, pastinya ada komitmen untuk tidak bergaul dengan teman cowok yang lain kan?  Padahal Waktu kamu masih panjang  untuk bisa memilih dan mendapatkan jodoh yang terbaik.”
“Benar juga ya.”  Rona sumringah mulai berpendar di wajah anakku.
“Kalau kamu menyukai seseorang, untuk saat ini keep silent sajalah.  Cukup sekedar simpan dulu dalam hatimu.  Cinta seperti itu justru lebih abadi.  Ibu juga dulu seperti itu.  Tak apa kok kamu menyukai seseorang.  Karena memang itu sudah fitrah (bawaan) manusia. “
“Hihi… Benar juga kata Ibu.”  Anakku mulai tertawa kecil sekarang.
“Ibu tahu kok rasanya jatuh cinta.  Seru ya… Serasa di sekeliling kita ada bunga-bunga warna warni, kupu-kupu beterbangan, ada pelangi di atas kepala kita.  Wah, pokoknya rasa indah itu memang ada.  Subhanallah, harusnya kita bersyukur pada Allah, karena diberikan anugrah untuk mencintai seseorang.  Hanya saja, rassa syukur itu harus kita tunjukkan dengan hal yang positip.”
“Haha… si Ibu.  Bener banget.  Indah sekali rasa kalau lagi suka sama seseorang.  Iya deh, aku nggak akan pacaran.  Aku janji.  Aku akan bahagiakan ayah sama ibu.  Doain aku biar kuat berada di tengah-tengah duniaku sekarang ya Bu…  Kalau dulu di asrama, aku kan jarang banget ketemu teman cowok.  Eh, sekarang… sungguh menggoda!”
“Eits!  Jaga pandangan.  Jangan membuat ayah dan ibu khawatir melepasmu di luaran sana.  Haha… Ibu yakin kamu mampu Teh.  Pokoknya, jangan malu untuk menjadi seseorang yang berbeda dari yang lain.  Asal beda itu karena keyakinan akan sebuah kebenaran….”
Kututup obrolan seru itu dengan nafas lega.  Kukecup lembut kening anakku dengan kasih sayang usai kami shalat magrib berjamaah.  Seraya kubisikan doa untuknya.  Doa khusyu penuh harap pada Rabb, sang pencipta dan pemberi amanah anak-anakku.
“Duhai Rabb, lindungi anak-anak hamba dari mara bahaya dan godaan syetan yang mengintai.  Saat hamba dekat maupun jauh dari mereka.  Karena Engkaulah sebaik-baik penjaga dan penolong…”  Selarik air mata jatuh di pipiku.  Menghantarkan doa dan harap yang amat tulus padaNYA, semoga aku bisa menjadi ibu yang baik untuk mereka, anak-anakku…. 



No comments:

Post a Comment