Wednesday 31 March 2010


TEGAR
    "Mohon perhatian kepada nama-nama yang disebutkan berikut ini, diharapkan segera berkumpul di ruang kepala sekolah." Demikian awal bunyi panggilan yang menggema di seantero sekolah pagi itu. Kupingku langsung berdiri, menyimak. "Bapak Yosef Wahyono, Bapak Momon Salamon, Bapak Firman Sumpena, Bapak Oke Haryadi, Bapak Malik Sejahtera, Ibu Sinta, Ibu frita, Ibu …." Sembilan nama yang disebutkan, tak termasuk namaku. Namun sebuah pertanyaan menggantung di hati : Ada apa ya?
    Jawaban kudapat lewat sedikit bisikan dari teman di kantor guru : "TUFUNG…" Sambil matanya agak mendelik sebal, karena namanya pun tak termasuk daftar yang dipanggil tadi. "Oh…" Jawabku acuh. Tapi, Ups!!! Tunggu dulu. Kéheula. Sakedap!!! Kalo 'ga salah TUFUNG itu kan kependekan dari TUNJANGAN FUNGSIONAL? Itu loh, tunjangan financial yang dialirkan pemerintah pusat untuk guru-guru PNS maupun swasta. Oh NO, it's trouble atuh…. Kok namaku dan nama beberapa teman yang lebih sepuh ngga ada ya? Padahal tahun-tahun sebelumnya kita dapat tunjangan tersebut. Wah, ada apa nih. Aya naon yeuh… Yang pasti sih, ini bukan keinginan sekolah, apalagi keinginan kepala sekolah. Beliau pasti menginginkan kesejahteraan bagi seluruh staf-nya. Tapi mau gimana lagi? Mau teriak : "Oi… ini tidak adil!". Bukan karena iri pada teman-teman satu sekolah yang dapat loh, karena Insya Allah, di sekolah kita selalu diterapkan azas ADIL, PEDULI, dan KASIH SAYANG. Tapi ini lebih ditujukan pada orang di atas sana yang telah mengatur ini semua! Atau mau demo ke gedung DPRD yang letaknya tak jauh dari bangunan sekolah? Ini juga bukan kebiasaan kaum kita, yang menganut azas ISTIQOMAH, IKHLAS, QONAAH. Apalagi untuk urusan UANG, yang notabene urusan dunia full. Ngisinkeun ah!. Akhirnya ya sudahlah… Memang hanya orang-orang yang beriman saja yang berhak mendapat … (he…he..he… bercanda sedikit ini mah).
    Gambaran peristiwa di atas memang real, nyata terjadi baru-baru ini. Menambah helaan nafas berat yang memang sudah menjadi bagian dari kehidupan kami, guru-guru swasta yang ada di distrik kota. Bukan karena keTIDAK IKHLASAN kami dalam menjalankan tugas. Tapi lebih pada sebuah HAK, yang memang sudah sepantasnyalah kami dapatkan. Karena kalau mau dirunut dan didata, keTIDAKADILAN itu tidak hanya baru kali ini saja terjadi. Tapi sudah sering. Beberapa contohnya adalah sertifikasi guru dalam jabatan, baru SATU orang yang tembus sertifikasi. (jujur, saya pribadi bukan mengincar tunjangan yang nanti didapat, tapi lebih pada pengakuan institusi pemerintah bahwa guru-guru Thariq Bin Ziyad sudah LAYAK untuk itu, Insya Allah). Honor daerah yang tidak tahu khabar kelanjutannya. THR guru dari Pemda yang masih disunat sana-sini, padahal besarnya tidak lebih dari harga sekarung beras 20 Kg. Astaghfirullah…
    "Memang bikin pusing Bu, kita sih inginnya bermain bersih. Tapi kalau begini kondisinya, terpaksa kita masuk dalam permainan ini.", komentar seseorang yang saya hormati, tapi tak bisa saya tuliskan namanya, menunjukkan kepedulian yang besar terhadap anak-buah beliau dalam mendapatkan hak dan keadilan.
Terlepas dari gunjang-ganjing persoalan HAK guru di level institusi, adalah sebuah NURANI SEHAT yang masih bisa mengendalikan semua itu. Dalam ketidakpastian: hendak kemanakah, lalu bagaimanakah nasib kami selanjutnya?, dunia pengabdian tetaplah bergulir seperti sebuah roda. Jika pengabdian itu terhenti, maka bagaimanalah nasib anak-anak didik kita? Yang pada merekalah tercermin segala obsesi dan idealisme yang tertancap erat saat kita memilih GURU sebagai ladang amalan hidup. Obsesi dan idealisme bahwa suatu saat negeri ini akan berubah. Berubah menjadi lebih baik, dibawah pimpinan yang mungkin, salah satunya, atau bahkan semuanya, adalah murid-murid yang pernah kita bina dan didik. Subhanallah… alangkah indahnya! Sekarang kita mungkin memang BELUM mendapatkan KUE PEMBANGUNAN itu, tapi insya Allah, kita sudah menanamkan pondasi KEJUJURAN, KEADILAN, KESEJAHTERAAN dan KEBERKAHAN untuk generasi masa datang.
    Kisah menarik ini mungkin bisa kita jadikan sebuah renungan. Seorang guru sederhana, dengan pengabdian lebih dari 20 tahun, tak kunjung mendapatkan HAK seperti pada umumnya teman sejawatnya. Tatkala beliau ditanya, bagaimana perasaan bapak menghadapi hal ini, beliau dengan wajah ikhlas penuh senyum berkata: "Saya tak menginginkan apa-apa dalam hidup ini. Tapi kalau boleh saya meminta pada Allah, satu hal saja, yang bahkan saya rela gadaikan seluruh hidup dan pengabdian saya, yaitu semoga murid-murid saya, anak didik saya, berhasil dalam menghadapi hidupnya. Berhasil menjadi orang shaleh dan punya arti bagi kehidupan orang banyak…"
    Ya, tak ada yang lebih indah dari ungkapan cinta dan pengabdian yang mendalam dari seorang GURU, seperti gambaran peran yang diungkapkan seorang teman sejawat dalam facebooknya : "Puisi Aku Seorang Guru. Lihatlah… seharian aku telah diminta menjadi seorang actor, teman, penemu barang hilang, psikologi, pengganti orang tua, penasehat, hakim, pengarah, motivator, dan pembimbing ruhani murid-muridku…"
    Ungkapan cinta dan pengabdian yang tulus, akan berbuah ketulusan dan cinta yang sama dari murid-murid kita. Seperti diungkapkan beberapa di antara mereka kepada guru-gurunya di bawah ini:
"Bu guru, ibulah orang terakhir yang akan saya lupakan di dunia ini…"
"Bu guru, ibu seperti buku dyariku, selalu mau mendengarkan aku saat suka maupun sedih. Aku sayang sama ibu…"
"Pak guru, kalo aku jadi dokter nanti, Bapak berobat sama aku gratis!"
"Kalau aku jadi pilot nanti, aku mau ngajak bu guru dan Pak guru ke Mekkah, untuk ibadah haji…"
    Masih banyak lagi ungkapan cinta dan sayang mereka yang lain. Membuat hati kita menjadi haru, dan tak ingin rasanya melepas status dari seorang GURU. Membuat kita tetap bisa bertahan untuk TEGAR. Sampai kapan pun… Kita harus tetap TEGAR!!! Karena Tegar adalah bukti sebuah CINTA. Cinta pada pengabdian kepada Allah dan Rasul-NYA,
 
    "Bila engkau bekerja dengan cinta
     Itu berarti engkau menenun dengan sutra dari hatim
Seakan kekasihmu sendiri yang mengenakannya
    Itu berarti engkau menabur dalam kelembutan, memetik dengan     sukacita
Seakan kekasihmu sendiri yang menikmatinya di meja perjamuan.
    Kerja adalah cinta yang nyata, kasih yang tampak…" *)
   Bekasi, 6 Desember 2009

                                               


 


 

No comments:

Post a Comment